CongkopGarduObituariSejarah

Kyai Abdullah Sajjad, Pemimpin Barisan Sabilillah di Guluk-guluk

Avatar Of Dimadura
664
×

Kyai Abdullah Sajjad, Pemimpin Barisan Sabilillah di Guluk-guluk

Sebarkan artikel ini

Serial Pahlawan Nasional oleh Tadjul Arifien R, Sejarawan/Budayawan Madura

Lokasi Penembakan Kyai Abdullah Sajjad Oleh Belanda, Di Alun-Alun Bagian Timur, Atau Di Utaranya Tugu Kemerdekaan Guluk-Guluk, Sumenep. Sekarang Dikenal Lapangan Kemisan (Foto: Tadjul Arifien R/Doc. Dimadura)
Lokasi Penembakan Kyai Abdullah Sajjad oleh Belanda, di alun-alun bagian timur, atau di utaranya Tugu Kemerdekaan Guluk-guluk, Sumenep. Sekarang dikenal Lapangan Kemisan (Foto: Tadjul Arifien R/Doc. Dimadura)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1OBITUARI, DIMADURA – Ketika Jepang mendarat di Pulau Madura, keadaan masyarakat miskin semakin memprihatinkan. Jepang merampas hasil pertanian sehingga masyarakat banyak yang kelaparan.

Keadaan ini berpengaruh terhadap keadaan pondok pesantren sehingga banyak santri yang pulang kampung. Namun demikian, keadaan pengajian maupun kegiatan ritual lainnya di pondok tetap berlangsung.

Kegiatan semacam ini terus berlanjut hingga ketika tentara Belanda kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1947. Selanjutnya semua kegiatan pengajian kitab kuning terhenti sementara ketika tentara Belanda datang lagi.

Sebagai seorang tokoh masyarakat dan ulama, Kyai Abdullah Sajjad yang dikenal dengan “Kiai Latèè” dari Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, merasa memiliki tanggung jawab untuk membantu meringankan beban yang diderita masyarakat.

Beliau tidak bisa berpangku tangan melihat masyarakat yang sedang berada dalam keadaan sengsara.

Karena tuntutan situasi itulah, Kyai Abdullah Sajjad kemudian memfokuskan kegiatannya pada perjuangan melawan tentara Belanda dengan cara bergerilya.

Beliau beranggapan bahwa penjajahlah yang menyebabkan bangsa ini sengsara, merekalah sumber malapetaka di mana-mana.

Pendidikan untuk sementara ditinggalkan dan pesantren berubah fungsi menjadi markas tentara dan tempat menyusun strategi perang, sedangkan para santri (terutama yang masih kecil) dianjurkan untuk pulang.

Kemudian mengkoordinir kelompok pejuang yang dikenal dengan sebutan Barisan Sabilillah.

Begitu tentara Belanda menguasai wilayah Guluk-guluk, maka Kyai Abdullah Sajjad mengungsi ke Dusun Brumbung, Pragaan.

Bahkan ketika tentara Belanda tidak bisa dibendung lagi dan mulai memasuki wilayah Sumenep, dan pesantren sempat ditinggal selama kurang lebih 4 bulan.

Pada suatu ketika di tempat pengungsian, ada utusan Belanda menyampaikan surat dari IVG (Inlichtingen Velligheids Groep) yang isinya:

“Saudara Sajjad, silahkan pulang kampung kami tidak akan menahan saudara”.

Karena ada jaminan surat dan setelah situasi dianggap aman, maka K. Abdullah Sajjad beserta rombongan kembali ke Guluk-guluk.

Pada sore itu, ketika baru saja pulang dari pengungsiannya, beliau melaksanakan salat ashar di mushalla Latee bersama-sama dengan para jamaah.

Sebagian masyarakat yang tahu atas kembalinya beliau dari pengungsian, datang berduyun-duyun untuk sowan.

Saat itu, tidak ada tanda-tanda bakal terjadi sesuatu. Setelah selesai menunaikan Shalat ‘Ashar’, suasana tetap tenang sebagaimana biasa.

Tapi ketika usai shalat maghrib, sekitar tujuh orang Cakra dengan tentara Belanda datang menghadap beliau seraya meminta kepada K. Abdullah Sajjad agar bersedia untuk ikut serta ke markas Belanda di Kemisan.

Secara spontanitas H. Abd. Hamid berdiri dan mengatakan bahwa dirinya yang dimaksud oleh Belanda.

Namun Kyai Abdullah Sajjad langsung berdiri dan mengakui bahwa yang dicari adalah dirinya.

Waktu itu para anggota Sabilillah beserta para santri menyampaikan keinginan mereka untuk ikut bersama-sama mendampinginya, karena mereka khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Akan tetapi, permintaan mereka tidak dikabulkan oleh beliau, dan mengatakan bahwa semua urusan dengan pihak Belanda akan diselesaikannya sendiri, dan berharap kepada santri beserta yang lainnya untuk tetap tenang.

Berangkatlah Kyai Abdullah Sajjad dengan diiring oleh tentara Cakra dan Belanda menuju ke markasnya di Kemisan untuk memenuhi permintaan Belanda.

Beliau tidak ingin menjadikan santri dan masyarakat sebagai korban kekejaman Belanda.

Walaupun firasatnya mengatakan bahwa Belanda akan berbuat curang, namun beliau tetap bersikukuh untuk bersikap jantan.

Setelah keberangkatan beliau, suasana pondok pesantren tetap berada dalam keadaan tenang sekalipun dalam perasaan mereka diliputi kecemasan.

Setelah K. Abdullah Sajjad berada di markas Belanda, ternyata disodori surat “Menyerahkan Diri kepada Belanda” untuk ditanda-tanganinya, tapi ditolaknya sehingga menimbulkan kemarahan Belanda.

Bahkan beliau rela menebusnya dengan nyawanya sendiri dari pada menuruti kemauan penjajah.

Makam Kyai Abdullah Sajjad Di Komplek Pemakaman Keluarga Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Di Sebelahnya Ada Monumen Bendera Merah Putih Dari Besi, Pertanda Sebagai Pahlawan Nasional (Foto: Tadjul Arifien R/Doc. Dimadura)
makam kyai abdullah sajjad di komplek pemakaman keluarga annuqayah, guluk-guluk, sumenep. Di sebelahnya ada monumen bendera merah putih dari besi, pertanda sebagai pahlawan nasional (foto: tadjul arifien r/doc. Dimadura)

Ketika itu beliau ditembak hingga dua kali tapi tidak mempan, dan kebetulan di sana ada beberapa orang mata-mata Belanda (orang pribumi) yang mengetahui kelemahannya, dan memberitahukan bahwa beliau akan tembus peluru bila ditembak dari lidahnya.

Setelah merasa bahwa dirinya akan menemuhi ajal, maka K. Abdullah Sajjad meminta idzin kepada Belanda agar diberi kesempatan melaksanakan salat sunnah.

Permintaannya dituruti oleh Belanda. Dini hari, dikala beliau sedang khusyu’ dalam shalatnya, lalu letusan peluru senapan serdadu Belanda menerjangnya.

Seketika itu tubuh beliau tersungkur dalam posisi sujud, beliau menghadap ke Hadirat Dzat Yang Maha Kuasa dalam keadaan sahid.

Suasana di pondok pesantren sekitar waktu Shalat ‘Isya mendengar letupan senjata beberapa kali (ada yang mengatakan tiga kali).

Tapi semua pejuang dan para santri masih belum berprasangka apapun, karena mereka mengira bahwa letupan itu adalah sebagai tembakan peringatan saja.

Pada pukul 03.00 WIB (dini hari) terdengar berita yang tidak disangka-sangka dan begitu mengejutkannya.

Dikabarkan bahwa ada sesosok tubuh manusia yang tergeletak tak bernyawa di lapangan Kemisan.

Demi mendengar berita itu, semua santri/pengikutnya merasa penasaran dan khawatir.

Mereka dihantui oleh prasangka buruk dan rasa takut serta curiga karena K. Abdullah Sajjad tidak kembali lagi ke tengah mereka sejak bersama Belanda.

Tak ada seorangpun yang berani mendekat ke lapangan, karena tentara Cakra dan Belanda dalam keadaan siaga penuh.

Pada akhirnya, ada seorang santri yang juga sahabat dan tetangganya memberanikan diri untuk melihat keberadaan sosok tak bernyawa tersebut.

Setelah diteliti, ternyata benar bahwa sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa itu adalah Kyai Abdullah Sajjad.

Mereka masih belum berani mengambil jasadnya karena dijaga ketat dan menunggu kesempatan yang aman.

Pada kesempatan baru datang setelah hampir adzan subuh, akhirnya mereka memberanikan diri untuk mengambil jasad Kyai Abdullah Sajjad yang pada saat itu pengawasan dari tentara Belanda agak mulai mengendor.

Selanjutnya, jasad beliau dibawa ke Sawajarin, atas saran KH. Mahfudz Husaini kemudian dibawa ke Latee.

Suasana di Latèè meskipun dalam suasana berkabung, namun tetap tenang seakan tidak terjadi sesuatu.

Hal itu memang sengaja dilakukan dengan tujuan ingin mengelabuhi pihak tentara Belanda, dan agar mereka tidak curiga dan tak mengira bahwa jasad K. Abdullah Sajjad telah diambil.

Keesokan harinya, tentara Belanda meninggalkan daerah Guluk-guluk dan bergerak ke arah timur, menuju Sumenep.

Rupanya mereka khawatir akan adanya perlawanan dari pihak Barisan Sabilillah, santri, dan masyarakat simpatisan.

Beliau dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Ponpes Annuqayah Guluk-guluk.

Di dekat pusaranya diberi tanda bendera merah putih dari besi oleh Pemerintah, karena mendapatkan anugerah Bintang Gerilya sebagai Pahlawan Nasional.

Demikianlah akhir perjalanan “Kiai Latèè”  yang telah berhasil mengukir sejarah kepahlawanan yang begitu tinggi dan berarti.

Nilai heroik-patriotik beliau patut dihargai dan sebagai modal perjuangan bagi para santrinya untuk senantiasa rela berkorban demi agama, bangsa dan negara.

Perjuangan bukan semata mengangkat senjata, tapi lebih dari itu, membangun negeri ini menjadi “Baldatun thayyibatun wa robbun ghafur”.

Kiai Abdullah Sajjad telah membuktikannya, dan beliau gugur sebagai Kusuma Bangsa.

Beliau dimakamkan di komplek pemakaman keluarga Annuqayah, dengan dipancang bendera merah putih dari besi oleh Pemerintah merupakan tanda Pahlawan Nasional.


Sumber / Referensi:

H Mustaji, BA. & Didik Hadijah HS, 1988, Perjuangan Rakyat Madura, Agung Karya Perkasa
Annuqayah Latèè, 2003, Jejak Masyaikh An Nuqayah Kado Reuni Alumni PP Annuqayah Latèè, Sumenep
Sulaiman, 1993, Masalah Pokok Sarasehan, Dewan Harian Cabang Angkatan 1945.
Tadjul Arifien R, 2022, Perjuangan Rakyat Sumenep, Pustaka INDIS