Di era digital, kecerdasan buatan (AI) menawarkan revolusi pembelajaran. Esai ini mengupas bagaimana AI dapat menjadi alat cerdas untuk mendukung literasi, kreativitas, dan HOTS siswa dengan peran guru sebagai pendamping utama.
Penulis: Dimas Danar Septiadi *)
ESSAI, DIMADURA – Pembelajaran merupakan aspek penting dalam mengubah kemampuan berpikir dan perilaku seseorang. Ia tidak hanya bisa diperoleh di dalam ruang kelas saja, namun bisa di mana dan kapan pun siswa berada.
Di era Society 5.0 yang serba digital ini, siswa bahkan dapat mengakses berbagai sumber belajar tanpa harus bergantung pada guru. Oleh sebab itu, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan peran serta kedudukan guru, cara mengajarpun harus mengalami perubahan dan perbaikan.
Guru dituntut memperhatikan aspek kekinian dan modernitas sebagai titik tolak dan sarana pembelajaran, termasuk penggunaan artificial intelligence (kecerdasan buatan) sebagai bahan sekaligus medium pembelajaran.
Sebuah Keniscayaan
Keberadaan AI, sapaan akrab kecerdasan buatan, kini menjadi menarik diperbincangkan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.
Keberadaan AI menjadi keniscayaan menyusul pesatnya perkembangan teknologi dan semakin beragamnya kecerdasan buatan yang seolah berlomba menawarkan bantuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan.
Bersama itu, semakin banyak sektor di seluruh dunia yang telah memanfaatkan kecerdasan buatan dalam menjalankan roda kehidupan.
Anderson dan Lee (2018) menemukan ada banyak negara yang saat ini melakukan penelitian secara massif tentang efektivitas penggunaan AI dalam mendukung perputaran kehidupan di berbagai sektor, termasuk dalam bidang pendidikan.
Di Indonesia, utamanya di kalangan pemilik opini-opini klasik, AI cenderung masih dianggap
tidak bisa membuat siswa berpikir tingkat tinggi (HOTS; Higher Order Thinking Skill) karena AI-lah yang menggantikan peran tersebut.
Alih-alih mengembangkan kemampuan berpikir, siswa lebih suka menggunakan AI sebagai pengganti untuk mengerjakan tugas sekolah atau pekerjaan lain.
Stereotype dan pandangan semacam ini sebenarnya disayangkan sebab AI sejatinya merupakan tools atau alat yang bisa digunakan untuk membantu siswa belajar, bukan menggantikan.
Ia ibarat susu formula (sufor) yang tidak bisa menggantikan Air Susu Ibu (ASI). Secanggih apa pun manusia memperbaiki kandungan sufor, peran dan kandungannya tidak akan pernah bisa menggantikan Air Susu Ibu.
Artificial Intelligence sebagai Learning Tools
Saat dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan keberadaan PISA (Program for International Students Assesment) dan kecerdasan buatan, OECD, penyelenggara PISA, justru memberi tanggapan positif atas keberadaan dan perkembangan kecerdasan buatan.
Dalam laman resminya, OECD menyebut akan menggunakan tema dan mengimplementasikan AI sebagai bagian dari pemahaman seseorang tentang literasi (OECD, 2024).
Dalam komponen kompetensi yang diukur dalam PISA, OECD memasukkan kompetensi penggunaan learning tools sebagai bentuk capaian dalam kemampuan literasi.
Ini menunjukkan bahwa kemampuan literasi seseorang menggunakan learning tools utamanya tampak saat memecahkan masalah. Ia menjadi indicator utama kreativitas yang menjadi titik pangkal seseorang memiliki HOTS.
Literasi digambarkan bukan hanya tentang membaca atau memahami teks, namun juga memanfaatkan segala daya yang ada, termasuk teks dan informasi, untuk memecahkan masalah tertentu.
Pendapat OECD ini juga didukung oleh beberapa peneliti seperti Xia (2023) dan Butler and Starkey (2024) yang menemukan bahwa AI dapat digunakan siswa untuk belajar mandiri selama ia sudah memahami kedudukan, peranan, dan kelemahan dari kecerdasan buatan.
Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Buatan
Penggunaan AI untuk memecahkan berbagai masalah dan memenuhi sekian kebutuhan pembelajaran merupakan keniscayaan.
Ia juga sesuai dengan tujuan dan prinsip teknologi Pendidikan untuk mengatasi masalah belajar dan meningkatkan kinerja dengan cara mencipta, mengelola, atau pun menggunakan segala sumber teknologi dan mengelola proses secara tepat. Untuk itu, AI harus mulai dikenalkan kepada siswa mulai dari peran dan kedudukannya.
Ini akan mengarahkan siswa untuk menggunakan AI secara cerdas dan bijak, bukan melalui eksplorasi mandiri tanpa batasan dan bimbingan guru sebagai transformator pendidikan.
Oleh sebab itu, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran berbasis teknologi sambil tetap berorientasi pada materi (Technological-Pedagogical-Content Knowldge) menjadi sangat penting.
Pengetahuan Technological-Pedagogical-Content atau TPACK guru harus semakin ditingkatkan sehingga keseimbangan dalam pengelolaan kelas, konten materi, dan teknologi, khsususnya penggunaan AI, tetap terjaga.
Karena itu pulalah, penolakan sepenuhnya terhadap penggunaan AI sesungguhnya menyajikan argumen kontra produktif yang mengabaikan perkembangan zaman.
Sebagai seorang pendidik, guru harus terus berkembang dan mengembangkan skills yang dimiliki untuk mengatasi masalah belajar. Ini bukan lagi berbicara tentang dampak negatif AI, tetapi bagaimana meminimalisir dampak negatif AI dalam upaya meneguhkan peran sebagai inovator dan pemecah persoalan-persoalan pembelajaran.
Meski pun tidak semudah membalikkan telapak tangan, kebiasaan bersembunyi di balik berbagai excuse harus diminimalisir. Peran ini merupakan wujud nyata guru sebagai pengembang dan pelaksana pendidikan untuk ikut serta menciptakan generasi emas 2045 yang adaptif dan terbuka terhadap perkembangan zaman. (dds, red)
Penyelaras Bahasa: Masyithah Mardhatillah
*) Dimas Danar Septiadi, Mahasiswa Doktoral Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya