MADURA.ID – Judul di atas merupakan pengantar dari D Zawawi Imron untuk buku kumpulan “Parèbhâsan bân Saloka Madhurâ” karya Oemar Sastrodiwirjo.
Ribuan peribahasa dan seloka Madura dalam buku terbitan PT Kencana Utama ini telah ditashih oleh sejumlah pakar bahasa Madura dari Tim Pakem Maddu, Pamekasan.
Mereka antara lain, Drs H Kutwa Fath, Drs Chairil Basar, M Dradjid BA, Drs H Muakmam, Sjamsuni, Sulaiman Sadik, Drs Bambang Hartono Hs, dan H Sastro. Desain sampul Drs H Musthafa ZM.
Pengantar Penyusun
Dalam pengantarnya, Oemar Sastrodiwirjo mengungkapkan latar belakang mengapa dirinya tergugah untuk mengumpulkan parèbhâsan dan saloka Madhurâ.
Salah satunya, karena rasa prihatin dan khawatir, bahwa seiring perkembangan zaman, keberadaannya akan hilang dan musnah secara perlahan.
Jika itu terjadi, maka sayanglah seribu sayang. Sebab, menurut Oemar Sastro, salah satu keindahan bahasa Madura itu ada pada dua jenis lalonget tersebut.
Kita tahu, ada banyak jenis sastra (lalonget) lain yang juga perlu dilestarikan bahkan dikembangkan seperti kèrata bhâsa, rora bhâsa, bhângsalan, paleggirân dan tembhâng-tembhâng Madura.
Hal tersebut tentu butuh perhatian dari para penulis atau pegiat literasi, terutama generasi muda Madura.
Sesepuh banyak menaruh harapan di pundak mereka agar dapat meramaikan literasi bahasa Madura, baik berupa buku, bunga rampai esai, antologi maupun postingan artikel di wadah maya.
Pengantar Tim Tashih
Ketua Pakem Maddu Pamekasan, Drs H Kutwa Fath (alm) tidak banyak menjelaskan tujuan hadirnya buku ini di tengah-tengah kita.
Dalam pengantarnya, ia hanya berharap buku ini dapat menjadi salah satu rujukan penulisan atau pengembangan literasi sastra Madura.
Ia juga berharap agar buku ini bisa tersebar luas, terutama bagi dan oleh para guru supaya dapat mengajarkannya kepada para murid generasi muda Madura.
Bâdâna buku ka’dinto tanto bisaos sakalangkong rajâ manfaattèpon mongghu dâ’ maghârsarè Madhurâ, kong-langkong para ngangodâdhân. Amargh â èssèèpon aropa bâburughân, nasèhat beccè’ sè patot èlampaaghi, jhughân larangan sè kodhu èjhâuwi.
Dhâddhi sakalangkong akor manabi para ghuru otabâ ustadz neng è SD/MI otabâ SLTP molangngaghi èssèna bughu ka’dinto dâ’ para morèt, sopajâ mertè tatakrama adhât parnata kona.
Demikian cuplikan pengantar dari almarhum ketua Pakem Maddhu Pamekasan, Drs H Kutwa Fath. Nawwarallahu qabrahu. Amiin
Daftar Isi Buku
Ada sekitar 1.644 parèbhâsan dan saloka kona Madhurâ dalam buku ini. Tidak terpisah antara peribahasa maupun saloka. Daftar keseluruhan isi runut berdasarkan abjad atau alphabet.

Gambar di atas adalah contoh daftar perunutan isi buku, lengkap dengan terjemah satu per satu peribahasa dan seloka di dalamnya.
Terkaan redaksi, penyajian poin bahasan yang cukup simpel tersebut adalah agar pembaca dapat memperoleh maknanya secara mandiri.
Sebut saja satu contoh: Abâ’ sampayan, ngangghuy apa bhâi pantes. Terjemah bahasa Indonesia: Saya (ini seumpama) tali jemuran, memakai apa saja pantas.
Ungkapan di atas lebih dekat pada contoh arti saloka kona daripada parèbhâsan Madhurâ. Sebab, rerata peribahasa Madura biasanya diawali dengan afektif seperti: padâna, èbhârât, akanthâ atau mara.
Semua kata tersebut dalam bahasa Madura memiliki arti yang sama, yakni: seperti, bagai, laksana, seumpama dan lain semacamnya.
Sebut lagi contoh: Mara mothak kaojhânan, mandâis ta’ sabbhâr, bâdâ sè èkarentek. Artinya, “Bagai kera kehujanan, raut wajahnya muram karena tertimpa kesusahan”.
Kesan D Zawawi Imron kepada Oemar Sastrodiwirjo
Salah satu sastrawan Madura, D Zawawi Imron, menyampaikan kesan akan perjuangan Oemar Sastrodiwirjo dalam prolog buku ini.
Penyair asal Batang-Batang, Sumenep itu mengungkapkan, walaupun tidak pernah bertemu dengan Oemar Sastrodiwirjo, dirinya merasa telah menjadi murid karena sempat membaca karangannya yang lain, cerita berjudul Siman ban Simin.
“Meskipun saya tidak pernah bertemu selama hidup, tapi karena pada masa kecil saya pernah membaca buku karangannya dengan hati yang asyik, maka saya merasa menjadi murid dari beliau,” ucap D Zawawi Imron dalam pengantarnya.
Baginya sosok Oemar Sastrodiwirjo adalah pahlawan kebudayaan. Menurut Pak De, menyusun buku ini justru saat umurnya telah menginjak usia 80 tahun.
— Hal itu menunjukkan bahwa beliau sebagai sastrawan dan budayawan masih tetap produktif pada usia senja. Bagi orang yang benar-benar menghayati kearifan, usia tua bukan rintangan untuk tetap produktif.
Usia lanjut tetap terbuka untuk melanjutkan perjuangan kebudayaan. Dengan demikian, beliau tidak hanya pandai menyusun kata-kata, tetapi, beliaulah pelaksana dari kearifan itu sendiri.
Pada usia menjelang 80 tahun, secara fisik memang beliau agak lemah, tetapi secara rohani, spirit kebudayaan yang ada di dalam kalbunya tetap bergelora. Ketekunannya tidaklah pupus, sehingga selesailah buku peribahasa dan seloka Madura ini.
Inilah sangkolan atau pusaka berharga dari para leluhur yang perna h hidup di Madura pada zaman yang telah silam.
Demikian, sebagaimana idiom kearifan lokal orang Madura, “abhântal ombâ’, asapo’ angèn”, pandangan hidup Oemar Sastro menurut Pak De penuh dengan vitalitas serta denyut etos yang tak kenal aral rintangan demi menuju Pantai Idaman.
Lebih jelas tentang isi buku ini, silakan pembaca lihat langsung naskah atau manuskripnya di Perpustakaan Umum Sumenep.
Lebih dekat dan lebih akrab dengan Parèbhâsan dan Saloka Madhurâ. Jayalah terus bangsa dengan menjunjung tinggi warisan leluhur.
Mari jaga dan lestarikan kekayaan bahasa daerah masing-masing! Salam dimadura.id