KOSAKATA, DIMADURA – “O… Badenggung reh!” Demikian istilah serupa mantra yang dulu sering penulis dengar dari mulut-mulut warga kampung Desa Bangkal, Sumenep, Madura, terutama di era 1990-an.
Kalimat itu bukan umpatan, bukan pula nyanyian semata. Ia lebih mirip suluk spontan: separuh geram, separuh geli, dan sisanya adalah kebijaksanaan rakyat yang sedang menyamar jadi banyolan.
Ya. Dulu, kata “badenggung” bisa mampir di bibir siapa saja—mulai dari anak sekolah yang main bentengan sampai nelayan yang gagal narik jaring. Tapi sekarang? Sejak dunia digulung era “santuy” dan “lol”, kata itu seperti jimat yang disembunyikan: tak hilang, tapi juga tak dipanggil.
Jika ditarik ke belakang, “Badenggung” sepertinya bukan cuma diucapkan sebagai sebutan atau umpatan untuk orang bego, bukan juga hanya buat hal konyol. Kosakata ini ibarat sambal terasi: nggak bisa dijelaskan, tapi bisa bikin keringat netes dan kepala ngangguk-ngangguk.
Yang disebut “badenggung” biasanya bukan polos, tapi tahu-tahu sudah bikin satu kampung geleng-geleng kepala—kayak Bagong. Iya Bagong, anak Semar itu. Tokoh wayang yang kelihatannya o’on, tapi kalau sudah ngomong bisa bikin raja kepanasan.
Pernah satu kali, di kampung penulis, ada anak nyungsep ke got gara-gara pamer salto depan gebetan. Temannya nyeletuk: “Hârrâ.. badenggung! Agâyâ’â ta’ ngennèng, ghâgghâr ngyongsep ka selloghân!”
Teman-teman pun ketawa. Yang jatuh juga ketawa, meski sambil ngelus dengkul. Begitulah “badenggung”—menertawakan yang nggak pantas ditertawakan, tapi tanpa menyakiti.

Dalam dunia pewayangan, Semar itu bapak bijaksana, tempat para ksatria nanya arah. Tapi Bagong? Wah, itu anak yang suka ngawur, ngomong seenaknya, gerakannya suka aneh-aneh.
Tapi justru, dari kelugasan dan tampangnya yang kayak nggak niat hidup itu, keluar sindiran yang nyelekit. Ben Anderson pernah bilang, Bagong itu suara yang bisa ngomong jujur ketika para bangsawan pura-pura budiman.
Badenggung bukan hanya berarti “bodoh” atau “konyol”. Ia adalah bentuk puncak dari keabsurdan yang disengaja. Ia bukan lugu, tapi tahu bahwa keluguan itu bisa membuat orang lain jengkel.
Kalau orang Madura menyebut kawannya “badenggung”, maka yang ditunjuk bukan sekadar tolol, melainkan seperti Bagong—tokoh pewayangan anak Semar—yang licik, jenaka, tapi penuh tipu muslihat.
Dalam dunia wayang, Semar adalah punakawan yang sarat kebijaksanaan, sering menjadi penasihat para ksatria, berwajah lucu namun hatinya luhur. Tapi Bagong? Ah, ia adalah putra yang keblinger. Gaya bicaranya blak-blakan, sikapnya seperti badut istana yang tak tahu tempat.
Tapi, jangan remehkan—sebagaimana dicatat oleh Ben Anderson dalam Wayang and Power, tokoh seperti Bagong justru digunakan untuk menyampaikan kebenaran yang tak sanggup diucapkan oleh para ksatria. Di situlah keluguan menjadi senjata.
Jadi saat orang Madura berkata “O… Badenggung reh!”, itu adalah peringatan. Bahwa yang kau lakukan sudah kelewat Bagong. Sudah cukup menjadi cermin retak yang memantulkan kegilaan dunia dengan tawa palsu. Seperti Bagong yang bisa membuat Batara Guru kehabisan akal, orang “badenggung” kadang justru mengacaukan tatanan karena mengabaikan nalar dan tata.
Ya, “badenggung” jangan dimaknai makian. Ia adalah sapaan budaya. Sebuah kritik sosial yang dikemas dalam kelakar.
Sayangnya, di zaman ketika kata-kata kian sopan tapi niat kian busuk, kosakata seperti ini dianggap usang. Kita lebih suka emoji marah daripada menyebut kawan kita “badenggung” dengan nada geli.
Seharusnya, “badenggung” kita pertahankan. Biar generasi TikTok tahu bahwa Madura punya caranya sendiri dalam menyampaikan sindiran. Dan siapa tahu, suatu hari, ketika kita kehabisan kata untuk menertawakan dunia yang kian absurd ini, kata itu pun kembali: “O… Badenggung reh!” — dan kita pun tahu bahwa Bagong belum pensiun. ***