Oleh: Sang Pemuja
GHÂNCARAN, DIMADURA – Pertemuan 3 jam itu begitu singkat; gemerliap hiburan yang menghipnotis mata dan pikiranku. Ada sesuatu yang kudapatkan pada malam itu. Oktober 2024 menjadi perjalanan pahit sekaligus pelajaran luar biasa bagiku. Mengapa tidak! Dosa besar yang begitu gampang aku lakukan.
Mahal sekali neraka di dunia terbentuk. Namun begitu gampangnya semua terbayarkan. Tapi ini bukan soal uang, jasa dan kekhilafan yang aku lakukan dengan sadar. Ini soal Wanita yang aku temui di malam itu. Sebenarnya aku tidak ingin melakukannya, namun jika tidak aku lakukan, mungkin tulisan ini tidak akan pernah ada.
Aku sudah banyak menghabiskan uangku demi seorang wanita penghibur atau kupu-kupu malam, demi kesenanganku, demi menyalurkan semua hasratku. Lalu, aku menemukan sosok wanita penghibur yang lain dari biasanya. Dia unik, lugu dan muda. Usianya pun masih terbilang remaja, 19 tahun.
Kepuasan ini bukan soal hasrat yang menggebu, bukan pula tentang keinginan biologis yang harus senantiasa terpenuhi utuh. Lagi-lagi ingin aku tegaskan bahwa dari banyaknya wanita penghibur, dia adalah sosok yang dapat membuatku terpikat lebih dari biasanya.
Entah apa yang terjadi, semuanya begitu membingungkan hati dan fikiranku. Meski aku sangat begitu gampang menaruh hati, namun ini seolah menjadi narkoba utuh yang membuatku candu. Keinginan memilikinya seperti tumbuh sangat cepat. Aku sadar bahwa ini pekerjaan salah, langkah yang penuh risiko. Sebab, aku telat mengenalnya. Dia hadir dan terpaut 9 tahun dengan usiaku saat ini.
Aneh rasanya, biasanya jika aku selesai memakai jasa wanita penghibur, maka tidak ada kata lebih dari sekedar kepuasan. Tapi hal ini malah membuatku merasa nyaman, di samping kenikmatan pada malam itu. Dia memperlakukanku lebih dari pada wanita penghibur lainnya. Ingin kusederhanakan bahwa dia telah behasil menjebakku pada situasi yang rumit.
Dia berhasil menembus semua tameng-tameng yang telah kujaga begitu baik. Dia berhasil memainkan peran dan tugasnya dengan sempurna. Layaknya karya fiksi, karangan imajinasinya menembus palung hatiku yang terdalam. Parah! Dan, baik, akan kuceritakan bagaimana semua ini bisa terjadi.
Bulan Oktober menjadi kekeliruan fatal yang aku lakukan, lagi dan lagi. Nama palsu yang ia gunakan adalah Octa, wanita unik yang melayani para tamunya setiap saat. Namun dia juga memiliki keputusan tertinggi jika ingin menolaknya. Pertama, tidak pada laki-laki yang sudah berusia renta, tamu resek dan tamu yang tidak menghargai profesinya, meski disadari atau tidak itulah pekerjaannya. Seperti biasa, usai melantunkan lagu-lagu karaoke dan alunan DJ berkepenjangan yang membuat otakku tak berfungsi sebagaimana mestinya. Bagiku, Octa begitu istimewa.
Bukan gampang bagiku untuk menemukan wanita semacam ini, aku pun mendapatkan rekomendasi dari sahabat karibku juga. Namun entah, aku pun dibuat bingung, terngiang-ngiang dan sangat lambat untuk melupakannya. Padahal aku sudah tidak berada di lokasi ia berada. Biasanya, Ketika aku sudah jauh melangkah dari lautan seberang, perasaan dan keinginan kuat untuk memiliki seorang wanita malam hilang dan sirna dengan sendirinya.
Anehnya, ini tidak terjadi pada Octa. Dia masih membekas, sulit bagiku meghilangkannya dalam waktu dekat. Padahal sahabat karibku telah menasehatiku berulang-ulang.
“Sudahi semuanya, sebelum terlambat. Karena hal ini hanyalah sementara, semuanya ilusi. Trik semaacam ini memang sudah dilakukan para wanita malam untuk mengait para tamu yang datang kepada mereka.”
Begitu kata sahabat karibku. Tidak lagi berbicara tentang atas nama rasa, semunya sama, lagi dan lagi tidak untuk Octa, perempuan yang aku temui pada malam itu.
Para pembaca tulisanku ini mungkin menganggapku gila dan terlalu memasukkan dalam ruang perasaan. Ku akui iya! tapi aku hanya ingin menyederhanakan apa yang telah terjadi sebagai formula isi tulisanku ini.
Jika ini adalah sebuah kesalahan besar, aku mengakuinya. Semua konsekuensi ini adalah tanggungjawab yang harus aku pegang seumur hidup, meskipun dampaknya akan terjadi pada keluargaku hingga pertanggungjawabanku kepada Tuhanku. Meski demikian, ini karya luar biasa yang telah menjadi garis tanganku sendiri. Entahlah bagaimana rasa candu ini harus kuhilangkan secepat mungkin sebelum semuanya terlambat.
Namun yang perlu digarisbawahi, tidak mudah seperti nasi yang tertelan oleh enaknya lauk pauk. Ini seperti pil pahit yang harus kutelan secara perlahan. Ada kalimat yang membuatku tidak bisa melupakannya dan menjadi sebuah permintaan tak masuk akal yang merusak hidupku, mungkin!
“Mas, boleh-kah aku mencintaimu 3 setengah jam dari sekarang?” ucap Octa di malam itu.
Keanehan ini yang membutku ambigu, bahkan sempat membuat aku tak bergeming di atas tubuh setannya itu. Sedikit kasar aku menyebutnya, sebab aku pun juga tak lebih kotor dari sifat setan. Dengan lirih kukatakan hal yang sama.
“Malam ini aku milikmu, dan izin, boleh-kah aku juga mencintaimu sebentar?” ujarku.
Dengan anggukan kepala dan senyuman pengundang maksiat neraka dunia semuanya kemudian terjadi begitu singkat. Lekukan demi lekukan tubuhnya aku jejali, tidak ingin rasanya kutinggalkan sisa-sisa bekas bibirnya di bibirku malam itu. Jika ada kamera tersembunyi malam itu, ingin rasanya aku memutarnya kembali. Sayang memori otakku tidak bisa mengingat semuanya, sampai aku lupa untuk meminta foto kita bersama.
Intinya ini adalah sebuah hasrat yang tak berkesudahan. Hingga saat aku berpamitan dengannya, kucoba menenangkan fikiranku dengan cara meminum banyak bir. Ya, ini adalah caraku untuk melupakan semuanya. Ingin rasanya kulampiaskan pada sebotol minuman setiap malam, bahkan setiap saat. Inilah caraku!
Terdengar sedikit tidak masuk akal, aku pun demikian. Logikanya, bagaimana mungkin cinta satu malam itu bisa mengobrak-abrik pikiran dan ketenanganku saat ini. Apalagi saat aku mengabarkan bahwa telah sampai ke tempatku berasal. Hal ini ujian yang harus aku lawan ke depan. Tapi bagaimana dengan dirinya? Benarkah ini menjadi jebakan dan aku telah terjerumus di dalamnya.
Jika demikian, lantas bagaimana malam itu bisa menghipnotis semuanya. Akalku pun seolah rusak, bahkan aku lupa jika kehidupan nyata tengah aku jalani saat ini. Kesementaraan ini telah menjadi labirin dalam rasaku padanya. Meski sejatinya, wanita adalah makhluk nyata yang berbahaya, ter-untuk bagi mereka si kupu-kupu malam.
Sementara ini, kucoba perlahan untuk melawan ketidakwarasan yang telah terjadi. Karena dia (Octa), aku dibuat bertengkar dengan waktu, keadaan dan asa yang masih membekas. Aku terus mengingat semuanya bahkan segalanya. Dengan dia, dengan cubitannya, gigitannya, pelukannya, desahannya, tiupannya. Semua definisi ini tak bisa aku jabarkan terlalu panjang, karena apa?
Karena aku tidak akan bisa bersua kembali, kuyakini itu. Meski demikian, di relung hatiku yang terdalam, ada niatan kecil sesekali terbesit untuk menemuinya. Kisah satu malam itu memang telah mengubah cara pandangku kepada wanita penghibur, aku tidak menemukannya di banyak wanita. Hanya Octa!
Terakhir, ia berasal dari Bandung. Jauh dari mataku namun telah bisa membuatku menciptakan imajinasi liar dalam perjalanan pulangku ke tanah kelahiran. Omong kosong dari dalam mobil terus merangkai bait-bait tak berkesudahan. Tak henti-hentinya aku merilis raut wajah seburuk mungkin untuknya. Cara ini kulakukan agar semuanya dapat berjalan normal.
Sempat, pikiran anehku muncul tiba-tiba. Pertemuan di malam itu akan aku ulang lagi demi menghapus semuanya dan kusudahi setelah itu. Aku akan datang lalu pergi, tapi aku fikirkan lagi dampak psikologis yang akan didapatkan nanti. Bagaimana posisi ini sudah menjebakku dengan sendirinya, tanpa aku mau.
Sebuah kekeliruan yang aku lakukan begitu cepat merusak tatanan kepercayaanku sendiri. Begitu naifnya diri ini untuk menolak meski secara sadar aku yang membelinya untuk kepuasan sementara itu. Octa, dia tidak akan pernah bisa menjelaskan mengapa membuat semua seolah begitu rumit. Tinggal aku sendiri yang akan menyudahi semua kebohongan-kebohongan semata ini.
Lalu bagaimana dengan dirinya? Tidakkah sedikit saja merasakan hal yang sama. Apa hanya aku? Apa hanya ini menjadi bayangan kosong atas kesalahanku itu? Bila ini yang tertulis hanyalah ilusi, bisakah nanti kita bertemu lagi untuk menjadi kenangan setan yang terindah? Bukankah keindahan itu bersifat sementara, semu dan palsu.
Jejak-jejak dilematis antar waktu telah mengalir lembut. Aku pun mulai takut untuk menghirup suasana yang menyesakkan dada ini. Saat kau pegang erat tubuhku malam itu seakan telah menghalangi waktuku pulang. Untukmu gampang saja untuk datang dan pergi, tapi tidak denganku. Mata terpejam tapi hati tetap menggumam hingga kacau balau. Kehaluan ini kuharapkan tidak berkepanjangan! Octa, jaga dirimu, tanpa aku suruh dan aku mau.
Bersambung…!
Sumenep, 14 Oktober 2024