“Setiap perjuangan menguji kesabaran. Setiap langkah menuntut keteguhan. Ach. Zainuddin menuliskan perjalanan itu penuh dinamika—dari pencarian makna hingga keteguhan batin. Berikut ini kisah tentang pilihan, pengorbanan, dan kemenangan.”
GHÂNCARAN PARAMAOS, DIMADURA – Saya masuk kampus bertajuk Tanèyan Lanjhâng pada 2021, berangkat dari niat sederhana: ingin mendapatkan beasiswa KIP Kuliah. Saat itu, kabarnya mahasiswa angkatan 2020 banyak yang mendapatkannya, dan saya pikir ini peluang. Maka, saya kuliah.
Sejak semester satu, saya memilih bergabung dengan organisasi internal kampus untuk mengasah kompetensi, terutama di bidang literasi.
Di pondok pesantren dulu, saya menyukai literasi, terutama dalam dunia fiksi. Bergabunglah saya dengan LPM Retorika. Namun, realitas kadang berbeda dari ekspektasi.
LPM adalah rumah bagi jurnalisme, bukan sekadar wadah bagi penulis fiksi. Pengurus menuntut saya menulis berita, sesuatu yang awalnya terasa asing dan berat.
Seiring waktu, dinamika organisasi menguji saya. Saat menginjak semester tiga, saya dihadapkan pada dilema: tetap aktif atau memilih bekerja demi mencukupi kebutuhan kuliah. Sebab, orangtua hanya mampu membiayai secukupnya, dan saya harus bertahan. Saya memilih bekerja.
Setelah satu semester, banyak yang menanyakan keberadaan saya di LPM Retorika. Beberapa senior, yang masih peduli terhadap kadernya, mencari saya.
Atensi itu membuat saya kembali ke “rumah” tempat saya berproses. Banyak hal yang sudah saya tinggalkan, dan saya sadar bahwa perjuangan ini belum selesai. Maka, saya kembali, merawat rumah itu, menghidupkan kembali kegiatan produktif yang pernah saya mulai.
Menjadi Pimpinan Umum di sebuah organisasi bukanlah ambisi saya. Saya tahu, menjadi anggota saja sudah berat, apalagi menjadi pemimpin.
Namun, perjalanan di LPM Retorika mengajarkan banyak hal: dari ilmu jurnalistik hingga menemukan keluarga di sana.
Semangat militansi, jiwa kepemimpinan, dan keberanian menghadapi tantangan tumbuh dalam diri saya. Seperti kata Sun Tzu, “Penguasa yang mulia adalah pemimpin yang peka, dan jenderal yang baik adalah dia yang berhati-hati.“
Dari perjalanan ini, saya memahami sebuah prinsip: Pemenang adalah mereka yang bertahan. Mereka yang terburu-buru pergi, yang menyerah di tengah jalan, hanyalah pecundang dalam proses.
Ada satu azimat yang selalu saya pegang: “Pantang pulang sebelum menang”. Artinya, setiap pekerjaan yang dimulai harus diselesaikan. Itulah yang membuat saya bertahan hingga detik ini.
Dan satu pesan yang ingin saya sampaikan: “Jangan pernah menjadi manusia munafik yang datang hanya karena ada kepentingan pribadi atau kelompok. Jadilah manusia yang berkomitmen pada prinsip yang dipegang teguh.”
Salam akal sehat.
*) Ach. Zainuddin, saat ini tengah menempuh pendidikan di kampus STKIP PGRI Sumenep, prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester VII.