PANGKÈNG DIMADURA, KOSAKATA – Bahasa tidak sekadar alat komunikasi, melainkan jendela yang membuka cara berpikir, memahami dunia, dan berinteraksi bagi masyarakat penuturnya. Dalam konteks ini, setiap bahasa memiliki kosakata unik yang merefleksikan budaya, nilai, dan pengalaman hidup penuturnya. Salah satu kosakata menarik dari bahasa Madura yang mencerminkan hal ini adalah “ta’ ro-karowan.”
Dalam kajian linguistik, istilah ini bukan hanya sekadar frasa atau ungkapan, melainkan cerminan filosofi dan cara berpikir masyarakat Madura yang kaya dengan peribahasa serta nilai-nilai lokal.
Secara harfiah, “ta’ ro-karowan” dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak karuan, atau dalam bahasa Indonesia berarti sebuah tindakan atau perkataan yang dilakukan tanpa pemikiran matang, tanpa teori atau dasar yang jelas, dan sering kali berakhir dengan hasil yang tidak memuaskan.
Meski tampaknya mirip dengan frasa “tidak karuan” dalam bahasa Indonesia, “ta’ ro-karowan” memiliki dimensi semantik dan konotasi budaya yang lebih mendalam. Istilah ini lebih dari sekadar mengacu pada ketidakberaturan atau ketidakjelasan, melainkan juga menggambarkan keacakan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang dalam memahami atau menguasai suatu pekerjaan atau konsep yang sedang dihadapinya.
Semantik dan Pragmatik
Dari sudut pandang semantik, “ta’ ro-karowan” terdiri dari dua elemen kunci: “ta’” yang berarti “tidak” atau “tanpa”, dan “ro-karowan” yang dapat dipahami sebagai “aturan yang jelas” atau “petunjuk yang terarah”. Dalam hal ini, frasa ini dapat dipahami sebagai “tanpa aturan” atau “tanpa arah.”
Namun, dalam penggunaannya di kalangan masyarakat Madura, frasa ini tidak hanya sekadar berarti “tanpa aturan” dalam pengertian formal, tetapi lebih mengacu pada tindakan yang kacau atau dilakukan secara serampangan.
Dalam kajian pragmatik, penggunaan “ta’ ro-karowan” juga sering kali mengandung unsur sindiran atau kritik sosial. Misalnya, ketika seseorang berkomentar tentang sebuah tindakan yang tidak jelas tujuannya, mereka mungkin akan mengatakan, “Duh! La ta’ ro-karowan ongghu,” yang berarti “Duh! Nggak karuan banget”.
Dalam hal ini, ungkapan tersebut tidak hanya menyatakan ketidakpuasan terhadap hasil dari sebuah tindakan, tetapi juga merujuk pada kurangnya perencanaan, keterampilan, atau pemahaman yang mendasari tindakan dan keadaan yang ditimbulkannya.
Hubungan dengan Budaya dan Nilai Lokal
Penggunaan istilah “ta’ ro-karowan” juga berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya Madura yang sangat menjunjung tinggi kearifan lokal, keteraturan, dan kesederhanaan yang teratur dalam segala aspek kehidupan. Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya kerja keras dan kehati-hatian dalam melakukan sesuatu, serta menghormati ilmu pengetahuan dan kearifan yang didapat dari generasi sebelumnya. Dalam konteks ini, melakukan sesuatu tanpa perencanaan matang atau tanpa pemahaman yang jelas, yang kemudian disebut “ta’ ro-karowan,” merupakan sesuatu yang dipandang rendah.
Hal ini terlihat dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam tradisi bertani, membangun rumah, atau bahkan dalam keputusan-keputusan terkait kehidupan keluarga, masyarakat Madura cenderung mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil langkah. Mereka percaya bahwa tindakan yang dilakukan dengan perencanaan yang baik dan didasarkan pada pengetahuan akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan berkah. Sebaliknya, tindakan yang dilakukan tanpa pertimbangan atau tanpa pengetahuan yang cukup akan berujung pada kegagalan atau ketidakberkahan—sesuatu yang ditandai dengan istilah “ta’ ro-karowan.”
Bahasa Konotatif dan Nuansa Emosional
Nuansa emosional yang terkait dengan “ta’ ro-karowan” pun lebih kompleks daripada sekadar “tidak karuan.” Dalam bahasa Indonesia, kata “tidak karuan” dapat mengacu pada kondisi atau situasi yang tidak teratur atau berantakan.
Namun, “ta’ ro-karowan” membawa makna yang lebih dalam terkait dengan ketidakmampuan, ketidakcerdasan, atau ketidaksiapan seseorang dalam menghadapi sesuatu. Di sini, ungkapan tersebut tidak hanya merujuk pada keadaan yang tidak teratur, tetapi juga mengisyaratkan adanya kritik terhadap individu yang melakukannya.
Penggunaan istilah ini sering kali dipadukan dengan nada kecewa atau bahkan rasa malu. Sebagai contoh, jika seorang anak muda di Madura melakukan tindakan yang dianggap tidak sesuai norma atau tidak dipikirkan matang-matang, orang tua atau sesepuh bisa mengatakan, “Ella ongghu mon bâ’na, la ta’ ro-karowan bhâ…” yang kurang lebih berarti “Tindakanmu sungguh tak jelas.”
Ada sentuhan emosi di balik ungkapan ini—suatu kekecewaan terhadap tindakan yang serampangan dan kritik terhadap kurangnya penguasaan atau pengetahuan yang seharusnya mendasari tindakan tersebut.
Variasi Dialektal: Penggunaan “Ta’ Ro-Karowan” di Madura Timur
Kosakata “ta’ ro-karowan” merupakan salah satu istilah yang secara khusus sering diucapkan oleh masyarakat Madura di wilayah bagian timur, terutama di daerah Sumenep dan sekitarnya. Dalam keseharian, istilah ini umum terdengar sebagai bentuk ekspresi untuk mengkritik atau menegur tindakan yang dilakukan tanpa perencanaan atau pemikiran matang. Dialek Sumenep sendiri dikenal lebih halus dalam pengucapannya dibandingkan dengan dialek Madura dari wilayah barat, yang mencerminkan perbedaan budaya dan lingkungan.
Secara linguistik, masyarakat Sumenep memiliki gaya tutur yang cenderung lebih lembut dan teratur dibandingkan wilayah lain di Madura, termasuk dalam penggunaan frasa “ta’ ro-karowan.” Hal ini menunjukkan bagaimana variasi linguistik tidak hanya memengaruhi cara pengucapan, tetapi juga berhubungan dengan konteks budaya serta cara masyarakat mengekspresikan dirinya. Bagi orang Sumenep, “ta’ ro-karowan” mengandung nuansa sindiran yang sopan dan tetap tegas dalam menunjukkan ketidakpuasan terhadap sesuatu yang dianggap tidak beraturan.
Perbedaan Dialektal di Wilayah Lain: Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan
Meskipun makna dasar dari “ta’ ro-karowan” relatif sama di seluruh Madura, variasi dialektal tetap ada di setiap daerah. Di Pamekasan dan Sampang, misalnya, istilah yang digunakan memiliki pengucapan serupa tetapi dengan logat yang berbeda, yakni “ta’ ron-karon.” Kata “ron” dan “karon” di sini merupakan bentuk variasi dari “ro-karowan” yang lebih halus diucapkan oleh masyarakat Sumenep. Logat Pamekasan dan Sampang ini terdengar sedikit lebih keras dan langsung, sesuai dengan karakter tutur masyarakat di kedua daerah tersebut.
Di sisi lain, masyarakat Bangkalan di ujung barat Madura menggunakan istilah yang lebih singkat dan sederhana, yaitu “lo’ karowan.” Berbeda dengan “ta’ ro-karowan” atau “ta’ ron-karon,” frasa “lo’ karowan” lebih ringkas dan terdengar lebih lugas. “Lo’” di sini merupakan pengganti dari “ta’,” yang dalam dialek Bangkalan berarti “tidak.” Dengan pengucapan yang lebih cepat dan singkat, istilah ini mencerminkan karakter masyarakat Bangkalan yang dikenal lebih keras dalam berbicara, namun tetap memiliki makna yang serupa dengan versi dari Madura bagian timur.
Lebih dari Sekadar Kata
Dalam kajian linguistik, “ta’ ro-karowan” menjadi salah satu contoh bagaimana bahasa mampu merefleksikan nilai budaya dan sikap masyarakat penuturnya. Kosakata ini tidak hanya menyampaikan gagasan tentang sesuatu yang “tidak karuan,” tetapi juga memuat pesan-pesan yang lebih dalam tentang pentingnya pemikiran matang, pengetahuan, dan perencanaan dalam setiap tindakan.