Tiga Puisi Amin Bashiri: Wijaya 28, Bidak Catur, dan Karena Hujan
SASTRA, DIMADURA – Amin Bashiri adalah penyair yang hingga saat ini cukup produktif menulis dan sesekali mengukir sketsa gambar digital dan batik. Lahir di Sumenep, 29 Januari 1987.
Tiga puisinya berikut merupakan karya yang paling ia suka dan dikirimkan ke redaksi dimadura.id, Selasa tanggal 1 Oktober 2025.
Masing-masing puisi hadir dengan nuansa yang berbeda: “Wijaya 28: Sebuah Catatan” menyingkap ingatan personal yang berlapis antara asmara, rindu, dan waktu.
“Bidak Catur Orange” merefleksikan pergulatan sejarah dan absurditas hidup dengan metafora permainan catur.
Sementara “Karena Hujan” menawarkan kesederhanaan sekaligus kedalaman dalam memaknai hadirnya hujan sebagai tanda, suara, dan kenangan.
Tiga puisinya ini seolah menegaskan sikap Amin Bashiri bahwa puisi adalah ruang perjumpaan antara tubuh, sejarah, dan alam.
WIJAYA 28: SEBUAH CATATAN
Lekaslah bergegas,
Malam ganas menyentuh panas api tubuh kita bertindih di sepanjang
reka adegan yang sama, beberapa hari silam. Hasrat pada setiap jeda
detik ke menit menuju jam yang akhirnya berpulang pada gerai
rambutmu terurai. napas tersengal memburu lekuk jemari dan
erangan kecil di telingaku ketika sepotong lagu tercipta dari
sajak-sajak ungu
Menarilah pada ujung pena
mencatat langkah gemulai musim yang sempat terencana sebagai
hari perkawinan subuh dan tahajud tubuh. Menelantarkan pasrah
saat itu seperti menitip maut di sekujur darah. Dan desir menjadi
saksi ketika rintih percobaan pada mula pertama kita membaca: malam sebagai laknat yang nikmat
Dan kamar itu, kuresahkan rebah ingatan tentang sekumpulan anak
riang berwajah rembulan, semburat yang menitik di sela remang
kelambu jendela kecoklatan dan derit-derit irama ranjang tengah
menangis memperjuangkan nasibnya kepada masa, lajang
yang jalang
Sumenep, Februari 2011
(Sumber: Bunga Rampai Cerpen dan Puisi Temu Sastrawan Indonesia Ke-4)
BIDAK CATUR ORANGE
dinding buta, dicungkil matanya. jam tak berdetak,
ditikam jantungnya. jutaan kolimeter tak terhingga dalam
hitungan jari menembus ruang. ia memperkenalkan
dirinya sebagai waktu
hidup ditikam atau menikam
bukankah jalan itu hanya satu?
sekalipun banyak simpang
jauh dekat tak ada beda
karena jarak bukan masalah
seekor kuda meringkik. gemeretak kakinya sampai ke
langit-langit. jadwal perdamaian dan serangakaian pidato
bualan. dikotak warna merah. sejarah menjadi yatim
piatu. tangannya dipotong. rahimnya dimusnahkan. para
abdi didatangkan. menulis ulang jawaban dalam ujian.
menyusun kotak-kotak dan garis pertahanan. lalu siapa
yang mengemudi?
dan kita akan berhenti dan duduk sampai disini
suara terbang dengan sendirinya. pion-pion berlarian.
garis-garis pijakannya menjadi hidup. membuat bidak
dengan warna lain.
2013
(Sumber: “Anomali”, 2013)
KARENA HUJAN
Karena hujan, posisi langit memiring, Sedikit lebih ke kanan dan agak condong dekat dadaku. Baunya seperti tanah basah. Dan aku mulai memaknainya sebagai pertanda. Ada yang menengadahkan botol plastik kecil dan besar, ada juga yang menaruh gelas-gelas di halaman, begitulah cara mereka saat ini.
Karena hujan, kuping-kuping jadi lelah. Berbunyi di antara suara genting. Orang-orang masih sibuk di halaman, hujan, dan karenanya aku tak bisa pulas lagi
2012
(Sumber: Antologi Puisi “Menunggu Kabar Buruk” | hal. 85)
Amin Bashiri | Ilustrator, dan penyair kelahiran Desa Kebunan, Sumenep, Madura. Salah satu penggagas Masyarakat Santri Pesisiran (MSP). Buku kumpulan puisinya: “Naluri Pejantan” (2010), “Anomali” (2013). Karya-karyanya juga tersebar di Media Indonesia, Harian Pagi Surya, Jurnal Sastra Filokalia Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang, dan sejumlah antologi bersama penyair lokal dan nasional.
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow






