NEWS DIMADURA, SUMENEP – Polemik kasus pengrusakan lahan pertanian di Desa Badur, Kecamatan Batuputih, Sumenep, yang melibatkan lima oknum perangkat desa, semakin memanas. Langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Sumenep yang mengembalikan berkas perkara ke Polres menuai kritik tajam dari warga, memunculkan dugaan adanya upaya pelepasan tersangka melalui celah hukum.
Puluhan warga yang mengatasnamakan diri sebagai masyarakat Batuputih, Jumat (6/12/2024), menggelar aksi protes di depan kantor Kejaksaan Negeri Sumenep.
Mereka mempertanyakan alasan pengembalian berkas kasus (P19) yang diajukan penyidik Polres ke pihak Kejaksaan.
“Kenapa berkas ini dikembalikan? Padahal kelima tersangka sudah ditetapkan sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan Pasal 406 jo 170 KUHP,” tanya koordinator aksi, Mahmudi.
“Bahkan, pra peradilan yang diajukan tersangka sudah dimenangkan polisi. Ini jelas mencurigakan,” tambahnya.
Mahmudi lanjut menyoroti tenggat waktu yang semakin mendesak. Jika hingga 14 Desember 2024 kasus ini tidak dinyatakan lengkap (P21), masa penahanan para tersangka otomatis habis, dan mereka harus dibebaskan.
Keadilan yang Dipertaruhkan
Massa aksi berencana mendirikan tenda di depan Kejaksaan Negeri Sumenep hingga ada kejelasan status perkara. Sebab, hampir satu jam melakukan demonstrasi, mereka hanya ditemui oleh seorang Jaksa yang menangani perkara ini, R Teddy Romius.
Sementara massa aksi menginginkan agar ditemui langsung oleh Kasi Pidum Hanish Hermawan, Kasi Intel Moch. Indra Subrata atau Kajari Sigit Waseso.
“Kejaksaan seolah sengaja mengulur waktu untuk meloloskan para tersangka dari jerat hukum,” ungkap orator aksi lain yang juga hadir di lokasi, Maksum Alwi.
Salah satu peserta aksi lainnya, Zainal Arifin, bahkan menyerukan perhatian pemerintah pusat terhadap penanganan kasus ini.
“Kami mohon Presiden Prabowo Subianto melihat langsung kelicikan hukum di tingkat daerah ini,” teriaknya di hadapan massa.
Konfirmasi Pihak Kejari
Jaksa R Teddy Romius, yang menemui massa aksi mengatakan hampir semua petinggi Kejari Sumenep tidak ngantor hari ini.
“Jadi sudah kami sampaikan, Pak Kajari sama Kasi Pidum dan teman-teman yang lain, sebagian, sedang menghadiri resepsi teman kita yang melangsungkan pernikahan di Sidoarjo,” ungkapnya.
“Kemudian para saksi juga ada sidang tipikor sekarang. Jadi hanya tinggal saya sendiri seorang yang ada di sini,” imbuhnya.
Dimintai tanggapan seperti apa tindakan pihak Kejaksaan atas tuntutan yng dibawa oleh massa aksi, Jaksa Teddy menjawab, sementara pihaknya tidak berani memberikan pernyataan.
“Kalau kami memberikan pendapat belum bisa karena yang berkompeten memberikan keterangan atas perkara ini, itu bisa pak Kasi Intel, bisa pak Kasi Pidum,” katanya.
Ia meminta kepada massa aksi agar mereka sedia kembali ke Kejari Sumenep, Senin tanggal 9 Desember mendatang. “Jadi sudah kami tawarkan kepada mereka, kalau bisa kembali ke sini hari Senin aja,” pungkasnya.
Kronologi Kasus Pengrusakan Lahan yang Kontroversial
Kasus ini bermula dari laporan H. Nawawi, seorang petani Desa Badur, yang melaporkan pengrusakan lahan miliknya seluas 1.249 m² ke Polres Sumenep. Ia menuduh lima oknum perangkat desa berinisial Y, H, S, SH, dan M merusak lahan pertaniannya dengan menumpuk bata putih di atas bibit tanaman padi yang baru ditanam.
Menurut Nawawi, insiden itu terjadi pada 27 April 2024 pukul 09.00 WIB. “Saya melihat mereka menurunkan bata putih di atas lahan saya. Saat saya tanyakan siapa yang menyuruh, mereka mengaku diperintah oleh ketua, tapi tidak menyebut nama,” jelas Nawawi, sebagaimana dilansir sejumlah media.
Kelima tersangka kemudian ditahan oleh Polres Sumenep pada 16 Oktober 2024 setelah dua kali panggilan pemeriksaan. Mereka dijerat Pasal 406 jo 170 KUHP yang mengatur ancaman pidana.
Sekadar diketahui, Pasal 406 KUHP mengatur tentang perusakan barang yang dilakukan secara sengaja dan melawan hukum. Pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Sementara Pasal 170 KUHP mengatur tentang pengeroyokan yang dilakukan secara bersama-sama dan terang-terangan. Pelaku dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan.
Manuver Hukum Kejaksaan
Namun, langkah Kejaksaan Negeri Sumenep mengembalikan berkas perkara ke Polres memicu spekulasi. Kejaksaan beralasan masih terdapat kekurangan dalam pemberkasan. Langkah ini menjadi celah yang berpotensi menggagalkan upaya hukum terhadap para tersangka.
Jika hingga batas waktu penahanan berkas tidak dinyatakan lengkap, para tersangka harus dilepaskan demi hukum. Situasi ini memunculkan kecurigaan adanya praktik manipulasi hukum untuk melindungi oknum tertentu.
“Kami hanya ingin keadilan ditegakkan. Jika kejaksaan bermain mata, ini bukan hanya soal Nawawi, tetapi kredibilitas hukum di Sumenep yang dipertaruhkan,” tegas Mahmudi.
Kasus ini menjadi ujian bagi integritas institusi penegak hukum di Kabupaten Sumenep. Jika keadilan tidak ditegakkan, bukan hanya Nawawi, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum akan terancam runtuh.***