OKARA, DIMADURA – Ada satu pertanyaan yang sepatutnya kita renungkan di setiap peringatan Hari Kebangkitan Nasional: apa yang sesungguhnya ingin kita bangkitkan?
Bila jawabannya hanya sebatas mengenang sejarah lahirnya Budi Utomo pada 20 Mei 1908, maka kita kehilangan sebagian makna terdalamnya. Sebab, bagi saya, Kebangkitan Nasional bukan sekadar kebangkitan politik menuju kemerdekaan, melainkan tonggak awal dari kebangkitan kebudayaan bangsa.
Mari kita kembali sejenak ke awal abad ke-20. Di tengah cengkeraman kolonialisme, Budi Utomo hadir membawa kesadaran baru: kita adalah bangsa yang satu, yang punya jati diri, punya bahasa, dan tentu saja: punya budaya.
Inilah momen ketika rakyat mulai sadar, bahwa untuk menjadi bangsa merdeka, mereka harus terlebih dahulu mencintai dirinya—dan budayanya.
Mengapa kebudayaan menjadi penting dalam konteks ini? Karena di sanalah ruh kebangsaan tumbuh. Di dalam budaya—baik lewat seni, musik, tari, tradisi lisan, hingga gotong royong—terkandung nilai-nilai yang menyatukan kita sebagai bangsa: cinta tanah air, persatuan, dan semangat kebersamaan.
Saat ini, ketika kita menghadapi tantangan disintegrasi, polarisasi sosial, dan krisis identitas, saya percaya jawabannya tetap sama: mari kembali kepada kebudayaan.
Mari kita ibda’ bi nafsik—mulai dari diri sendiri—untuk mencintai warisan leluhur, menjaga kearifan lokal, dan menghidupkan kembali semangat nasionalisme melalui seni dan budaya.
Ingat, sejak kebangkitan 1908 hingga Sumpah Pemuda 1928, denyut pergerakan selalu dibarengi oleh denyut kebudayaan. Dan kini, saat kita berada di era digital yang menggerus banyak nilai, tugas kita adalah menjaga fondasi itu agar tak retak.
Indonesia pernah besar melalui Sriwijaya dan Majapahit. Tapi lebih dari kekuatan politik, kejayaan mereka dibangun dari kokohnya budaya yang menyatukan rakyat.
Maka, mari kita jadikan momentum Hari Kebangkitan Nasional ini untuk membangkitkan kembali budaya sebagai fondasi nasionalisme.
Jangan tunggu waktu. Kebangkitan itu, dimulai dari kita sendiri!
Budayawan Sumenep | Ibnu Hajar | Wartawan Senior PWI Sumenep