Dari optimisme era Jokowi hingga tantangan awal kepemimpinan Prabowo, esai ini menyingkap dinamika politik Indonesia. Intrik kekuasaan dan perjalanan demokrasi terkuak, menghadirkan ironi dan pelajaran mendalam.
LONGLONGAN DIMADURA – Indonesia, dengan segala dinamikanya, tak pernah sepi dari hiruk-pikuk politik. Dari era Joko Widodo (Jokowi) hingga awal kepemimpinan Prabowo Subianto, panggung kekuasaan negeri ini diwarnai drama, intrik, dan permainan politik tingkat tinggi. Ada janji perubahan, tapi juga banyak kompromi.
Meski politik kerap terlihat serius, di balik layar, sering kali terselip kisah-kisah yang mengundang senyum hingga gelengan kepala. Mari kita kupas lebih dalam, dengan sentuhan fakta, humor, dan ironi, bagaimana gonjang-ganjing ini menggambarkan perjalanan demokrasi kita.
1. Era Jokowi: Dari Optimisme ke Realisme
Jokowi, mantan wali kota Solo yang melejit jadi gubernur DKI Jakarta, adalah sosok rakyat biasa yang menembus struktur kekuasaan yang kompleks. Saat dilantik pada 2014, ia membawa harapan besar: pemimpin yang sederhana, jauh dari citra elitis, dan fokus pada kerja nyata.
Namun, mengelola negara sebesar Indonesia bukan perkara sederhana. Jokowi memulai pemerintahannya dengan visi infrastruktur besar-besaran. Tol laut, bandara, dan jalan tol menjadi andalannya. Tapi, seperti kata pepatah, “besar pasak daripada tiang,” ambisi ini sering kali menghadapi kritik soal pembengkakan utang.
Dalam salah satu kesempatan, Jokowi pernah berkelakar di depan para menteri: “Kalau ada yang tidak mendukung pembangunan, pindah saja ke planet lain!” Humor khas Jokowi ini menggambarkan betapa ia serius mendorong agenda infrastrukturnya, meski sering kali dihadapkan pada resistensi politik.
Namun, era Jokowi juga tidak lepas dari kontroversi. Revisi UU KPK pada 2019 menjadi pukulan telak bagi citra pemerintahan yang awalnya digadang-gadang sebagai pendukung pemberantasan korupsi.
Protes meluas di berbagai daerah. Di depan Gedung DPR, mahasiswa turun dengan poster bertuliskan, “Kami tidak anti-Jokowi, kami anti korupsi!” Kalimat itu menggambarkan rasa kecewa terhadap pemimpin yang awalnya dipercaya akan membawa perubahan besar.
Meski begitu, Jokowi berhasil mempertahankan stabilitas politik dengan pendekatan kompromistis. Langkah strategis seperti merangkul Prabowo Subianto ke kabinetnya menjadi sorotan. Pendukung melihat ini sebagai strategi cerdas, tapi pengkritik menyebutnya sebagai langkah pragmatis yang melemahkan oposisi.
2. Kemelut Partai: Antara Ambisi dan Koalisi
Partai politik di Indonesia sering kali menyerupai keluarga besar yang penuh konflik. Mereka berbagi rumah besar bernama koalisi, tapi setiap anggota keluarga punya agenda masing-masing.
Ambil contoh Partai Golkar, salah satu partai tertua di Indonesia. Dalam satu dekade terakhir, Golkar kerap dilanda konflik internal. Perseteruan antara kubu Setya Novanto dan Agung Laksono pada 2016 menciptakan drama politik yang memusingkan kadernya sendiri. Seorang kader muda Golkar pernah berseloroh, “Kami ini seperti anak tiri yang bingung ikut ayah atau ibu.”
Tidak hanya Golkar, Partai Demokrat juga mengalami hal serupa. Ketika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menghadapi ancaman kudeta dari Moeldoko, partai ini menjadi sorotan publik. Konflik ini menegaskan bahwa politik Indonesia tidak hanya tentang perebutan suara rakyat, tetapi juga perang internal yang melibatkan intrik dan manuver tingkat tinggi.
Di sisi lain, menjelang Pemilu 2024, koalisi pendukung Prabowo menghadapi tantangan baru. Meski Gerindra dan PKB tampak solid di awal, isu pembagian kursi kabinet mulai memanas. Dalam sebuah diskusi, seorang politisi dari PAN berkelakar: “Kalau kita mau kebagian kue, jangan lupa bawa piring sendiri.” Ungkapan itu menggambarkan bagaimana setiap partai berusaha mengamankan kepentingannya.
3. Gejolak Demokrasi: Jalan Panjang Menuju Kedewasaan
Demokrasi di Indonesia adalah perjalanan panjang yang penuh ujian. Dari era reformasi hingga kini, kebebasan berpendapat dan pemilu langsung menjadi simbol keberhasilan sistem ini. Namun, di balik itu, ada tantangan besar yang terus menguji kedewasaan demokrasi kita.
Salah satu tantangan terbesar adalah polarisasi politik. Pemilu 2019 adalah contoh nyata. Perbedaan antara pendukung Jokowi dan Prabowo bukan hanya soal preferensi politik, tapi berubah menjadi konflik personal. Media sosial menjadi medan perang, dengan hoaks dan ujaran kebencian merajalela.
Seorang pengguna Twitter pernah menulis: “Kalau kamu dukung Jokowi, unfriend aku sekarang. Kalau kamu dukung Prabowo, kita musuhan selamanya!” Meski terlihat konyol, ini mencerminkan betapa dalamnya polarisasi yang terjadi.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat juga menjadi sorotan. Kasus penangkapan aktivis dan pembatasan aksi unjuk rasa menciptakan paradoks: demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan malah terasa membelenggu.
Namun, demokrasi Indonesia juga menunjukkan daya tahannya. Transisi kekuasaan dari Jokowi ke Prabowo berlangsung damai, meski sempat diwarnai ketegangan politik. Ini membuktikan bahwa meski banyak masalah, demokrasi Indonesia tetap berjalan.
4. Peran Mahasiswa: Penjaga Moral Bangsa
Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa selalu menjadi aktor penting dalam perubahan politik. Dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi 1998, mahasiswa selalu berada di garis depan perjuangan.
Di era Jokowi, mahasiswa kembali menunjukkan taringnya. Aksi #ReformasiDikorupsi pada 2019 menjadi bukti bahwa semangat kritis mahasiswa belum pudar. Dalam aksi tersebut, seorang mahasiswa membawa poster bertuliskan, “Kami lebih takut KKN daripada tugas akhir.” Poster ini viral dan menjadi simbol semangat perlawanan generasi muda.
Namun, mahasiswa juga menghadapi tantangan besar. Di era Prabowo, dengan gaya kepemimpinan yang lebih tegas, ruang gerak mahasiswa mungkin akan semakin terbatas. Seorang aktivis mahasiswa pernah berkomentar, “Kami ini seperti penjaga gawang demokrasi. Kadang berhasil, tapi sering juga kena kartu kuning.”
Meski begitu, peran mahasiswa tetap krusial. Mereka adalah pengingat bahwa politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga soal keberpihakan pada rakyat.
5. Era Awal Prabowo: Harapan dan Realitas
Prabowo Subianto akhirnya menduduki kursi presiden setelah bertahun-tahun berjuang. Dengan latar belakang militer dan pengalaman politiknya, Prabowo membawa harapan akan kepemimpinan yang tegas dan visioner.
Namun, harapan ini segera diuji oleh realitas politik. Koalisi besar yang mendukung Prabowo tidak selalu harmonis. Perbedaan pendapat antara Gerindra, PKB, dan partai-partai lain mulai muncul, terutama dalam menentukan prioritas kebijakan.
Dalam salah satu rapat kabinet, Prabowo dikabarkan pernah berkata: “Kalau ada yang mau ribut, pintu keluar ada di sana.” Kalimat ini mencerminkan gaya kepemimpinannya yang lugas, tapi juga menunjukkan tantangan dalam menjaga kesatuan koalisi.
Di sisi lain, oposisi yang dipimpin oleh PDI Perjuangan mulai bangkit. Dalam sebuah pidato, seorang tokoh PDI-P mengatakan, “Kami siap jadi oposisi yang kritis, tapi jangan salah, kami juga siap jadi oposisi yang beringas.” Pernyataan ini menggambarkan bahwa dinamika politik Indonesia akan semakin menarik di era Prabowo.
Sekilas Kongklusi
Gonjang-ganjing kekuasaan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan demokrasi. Dari era Jokowi yang penuh kompromi hingga awal kepemimpinan Prabowo yang diwarnai tantangan baru, politik Indonesia terus bergerak dinamis.
Di balik semua intrik dan drama, ada harapan bahwa demokrasi Indonesia akan terus tumbuh. Masyarakat berharap para pemimpin tidak hanya fokus pada kekuasaan, tetapi juga membawa solusi nyata untuk permasalahan bangsa. Karena pada akhirnya, politik adalah soal melayani rakyat, bukan sekadar permainan kekuasaan.
Esai ini menggambarkan perjalanan panjang demokrasi kita, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Meski banyak masalah, optimisme tetap ada. Karena seperti kata seorang filsuf: “Politik adalah seni kemungkinan.” Dan di Indonesia, kemungkinan itu selalu penuh kejutan.