CONGKOP, OBITUARI – Setelah adanya peleburan pada tubuh Resimen 35 Jokotole, dua Batalyon di Sumenep dijadikan satu. Sebelumnya Komandan Batalyon III adalah Mayor R.A. Mangkuadiningrat diganti oleh Mayor R. Abd. Majid.
Selanjutnya, Komandan Resimen 35 Jokotole Letkol R. Chandra Hassan mengeluarkan perintah pergantian Komandan Sektor III dari Mayor R. Soelaiman kepada Mayor R.A. Mangkoeadiningrat di Desa Kolpajung, dibantu PA Staf Mayor R. Abujamal, Mayor R. Ach. Hafiluddin, Kapten R. Moh Saleh dan Letnan R. Abd. Majid selaku Ajudan.
Setelah melalui konsolidasi, maka disempurnakanlah Staf Sektor III dengan didudukinya wakil-wakil dari Barisan Sabilillah, Badan-badan Perjuangan dan penasehat strategi perang.
Sebagai bentuk realisasi dari hasil penyempurnaan Komando Sektor, pada tanggal 17 Agustus 1947 pukul 01.00 WIB (27 Ramadhan), berkat dukungan yang besar dari para Alim Ulama dan segala potensi masyarakat, maka dilakukan “Serangan Umum” ke Kota Pamekasan yang dipimpin sendiri oleh Mayor R.A. Mangkuadiningrat.
Kota Pamekasan diserang dari beberapa jurusan oleh para pejuang, dibantu oleh ribuan Barisan Sabilillah.
Korban pejuang sebanyak 36 orang, oleh pihak Belanda dikubur depan Masjid Jamik. Sedangkan di pihak Belanda, beberapa korban pasukan tewas dan 2 buah Tank hancur.

Setelahnya, markas Komando Sektor III dipindah ke Klampar. Tanggal 27 Agustus 1947 sekitar pukul 06.00, Belanda mengadakan serangan balasan terhadap pertahanan rakyat dari tiga penjuru, korban di pihak pejuang sebanyak 30 orang, yang terdata dari TKR 18 orang, dari pihak rakyat 2 orang.
Tentara Belanda membakar rumah penduduk dan rumah Kades Klampar selaku pemimpin barisan rakyat.
Dari Klampar, Markas Sektor III dipindah ke Aengpenai dan terakhir ke Desa Kadur, Pusat Pemerintahan Sipil berada di Pegantenan.
Dari sana, Mayor R.A. Mangkudiningrat secara aktif mengatur pasukannya untuk melakukan Hinderlaag dan gangguan terhadap kekuatan Belanda.
Jembatan Oray di Desa Pamaroh dihancurkan oleh Barisan Sabilillah. Tanggal 2 September 1847 Belanda mencoba menerobosnya secara frontal dan terjadilah vuur-contact dan korbannya tidak diketahui dengan pasti.

Tanggal 3 September 1947 Belanda mencoba menerobos lagi, tapi masih dapat dipertahankan dan terjadi tembak menembak.
Tanggal 4 September 1947 setelah diketahui bahwa markas TKR ada di Kaduara, tentara Belanda menyerang dari segala penjuru (utara, barat dan selatan dari jalan Larangan).
Mendapat serangan, maka Kompi III di bawah Pimpinan R. Moedhar Amin, Kompi Markas pimpinan Letnan Soerono, MB dipimpin oleh R. Moerahmad, Badan Perjuangan di bawah pimpinan Moh. Saleh juga barisan Sabilillah, secara serentak menghadapi tentara Belanda hingga terjadi pertempuran sengit.
Korban gugur, seorang anggota TKR dan dari barisan Sabil tidak diketahui.
Selanjutnya, Desa Kadur mendapat serangan lagi dari jurusan Larangan yang dihadapi oleh Kompi Markas di gunung Korepan, dibantu oleh semua kekuatan yang ada.
Pada saat itu Belanda membakar rumah serta Pondok Pesantren KH. Moh. Toha, sebagai Pimpinan Sabilillah bersama Kiai Zaini dan Kiai Jufri.
30 orang anggota Palang Merah diantaranya dari WNI keturunan Tionghoa, dipimpin oleh Mayor dokter Setiawan dan dokter Ong Tjin An berada di Desa Lebbak.
Setelah dua kali mengalami serangan di Kadur, Komandan Resimen 35 Jokotole memerintahkan agar semua pasukan Sektor III dipindahkan ke Sektor IV Sumenep sebagai pertahanan terakhir.
Kala itu, pusat Pemerintahan Sipil Sumenep ada di Lanjuk Kecamatan Manding. Mayor R.A. Mangkuadiningrat mengatur strategi.
Selanjutnya, pasukan Belanda meneruskan serangan melalui Desa Palalang, Peltu Djojosoepatmo dan dua anggotanya gugur. Belanda terus ke Cen-lecen menuju Guluk-guluk. Di Por-dapor dihadang oleh MB dan Barisan Sabilillah pimpinan Kiai Abdullah Sajjad.
Setelah semua kekuatan berangkat menuju ke Sumenep diduduki, Komandan Resimen 35 Jokotole Letkol R. Chandra Hassan memberi perintah untuk mengakhiri perlawanan, para pemimpin pasukan dianjurkan hijrah ke Jawa untuk melanjutkan perjuangan, semua senjata berat agar dimusnahkan.
Mayor R.A. Mangkuadiningrat sendiri tidak mau hijrah dan tetap berada di Madura. Begitulah kisah singkat perjuangan Mayor R.A. Mangkuadiningrat dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia dari penjajah Belanda.
Setelah selesai melakukan pertempuran pada Agresi ke II, maka beliau ditugaskan sebagai Komandan Batalyon Sumenep (Kodim) yang pertama.
Beliau wafat pada tanggal 25 Januari 1980, dimakamkan di Astatinggi.***

Sumber / Referensi:
- Brigjen Abdullah, 1971, Sejarah Perjuangan di Madura, Badan Arsip Nasional
- H Mustaji, BA. & Didik Hadijah HS, 1988, Perjuangan Rakyat Madura, Agung Karya Perkasa
- Annuqayah Latèè, 2003, Jejak Masyaikh Annuqayah Kado Reuni Alumni PP An Nuqayah Latèè, Sumenep
- Sulaiman, 1993, Masalah Pokok Sarasehan, Dewan Harian Cabang Angkatan 1945
- Tadjul Arifien R, 2022, Perjuangan Rakyat Sumenep, Pustaka INDIS