Balada Idul Adha: Perayaan Simbolik atau Refleksi Agama?
OKARA, DIMADURA – Menjadi salah satu hari raya besar dalam Islam, Idul Adha merangkum sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim melalui kisah heroiknya sebagai bentuk ketaatan pada Tuhan.
Historis yang memukau, sehingga tercipta anjuran Tuhan—selain alunan takbir yang menggema, secara pakem Idul Adha ditandai dengan penyembelihan hewan kurban dan pembagiannya secara merata kepada masyarakat.
Singkatnya, yang mampu memberi dan yang membutuhkan menerima dengan senang hati.
Perayaan yang selalu disambut meriah meski klise. Tak heran muncul pertanyaan sederhana, apakah Idul Adha hari ini masih bermakna sebagai refleksi spiritual atau telah bergeser menjadi sekadar perayaan simbolik dan formalitas tahunan?
Tentu aspek simbolik Idul Adha sangat kuat dan mudah dikenali. Jika ditelisik lebih jauh, di beberapa tempat ritual penyembelihan hewan kurban dilaksanakan secara besar-besaran dengan antusiasme masyarakat. Hal itu tidak menjadi soal, sebab hakikat hari raya adalah kegembiraan.
Namun sebagai bentuk kritis masyarakat muslim yang cerdas, esensi peringatan hari raya tidak cukup hanya berbondong-bondong menonton prosesi penyembelihan dan menikmati daging kurban, perlu ada sikap reflektif yang benar-benar merenungkan hikmah di balik pengorbanan tersebut.
Sebagaimana ditegaskan Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur’an (1996), bahwa ibadah kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi tentang menyembelih ego, nafsu, dan ketergantungan manusia terhadap dunia.
Ironisnya, dalam beberapa kasus Idul Adha seringkali menjadi event prestise sosial. Nama-nama donatur besar dipajang di papan informasi masjid dan tokoh-tokoh nasional mulai dari selebriti serta tokoh masyarakat mulai berlalu lalang di televisi dengan potret kurban yang fantasti.
Hal tersebut tak salah, namun berimbas pada dominasi publik. Maka tak heran jika narasi tentang “siapa berkurban apa” lebih ramai dibicarakan daripada nilai keikhlasan dan keimanan.
Fenomena ini menjadi indikator pergeseran nilai dari spiritualitas menuju performativitas -apa yang seharusnya menjadi ekspresi iman justru berubah menjadi konsumsi sosial.
Apakah Kehilangan Esensi?
Munculnya asumsi negatif tidak berarti Idul Adha kehilangan makna.
Penekanan urgensi di dalamnya adalah Idul Adha seharusnya menjadi pengingat bahwa agama bukan sekadar ritual tahunan, tapi stimulasi agama agar pemeluknya tergerak mengasah empati dan kepekaan sosial karena selain kewajiban Hablumminallah ada aspek Hablumminannas untuk ditunaikan.
Dalam konstruk sosial yang menyajikan kesenjangan ekonomi pada masyarakat, semangat kurban menjadi jembatan antara mereka yang mampu dan mereka yang kekurangan.
Dengan simbiosis mutualisme pembagian daging antar umat Islam, kita tidak hanya melaksanakan perintah agama, namun juga merekatkan kembali ikatan sosial dalam masyarakat.
Dalam membangun kesadaran sederhana tersebut tentu perlu edukasi keagamaan yang tidak hanya menekankan tata cara kurban, tetapi juga nilai-nilai agama yang melandasinya.
Masyarakat, pengajar dan tokoh agama bersinergi mendorong umat untuk memahami esensi kurban sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan sekadar menggugurkan kewajiban tahunan seperti yang termaktub dalam QS. Al-Hajj: 37
“Daging dan darahnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu.”
Lebih komprehensif, Idul Adha adalah ladang perenungan tentang bagaimana umat islam merelevansikan kurban dalam kehidupan modern.
Apakah kita sanggup “mengurbankan” waktu, ego, dan kenyamanan demi kemaslahatan umat?
Apakah kita siap menanggalkan kepentingan diri sendiri demi kemaslahatan bersama?
Dalam konteks ini, balada Idul Adha bukan hanya tentang sapi dan kambing, namun bagaimana manusia menempatkan dirinya dalam relasi dengan Tuhan, sesama, dan dirinya sendiri.
Pada akhirnya, jawaban atas pertanyaan “perayaan simbolik atau refleksi agama?” kembali pada pada cara individu menjalani Idul Adha.
Jika hanya berhenti pada ritual lahiriah, maka akan menjadi event tahunan kosong. Namun jika mampu menggali maknanya secara mendalam, Idul Adha akan menjadi momen transformasi spiritual yang luar biasa—sebuah titik temu antara iman, pengorbanan, dan kemanusiaan.***
Aliya Zahra adalah seorang mahasiswa aktif di Universitas Annuqayah, kelahiran Ganding, Sumenep. Sejak awal masa studinya, Aliya dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat tinggi dalam bidang literasi, kajian perempuan, dan aktivitas organisasi.
Kiprahnya di dunia literasi tercermin melalui berbagai tulisan kritis yang ia hasilkan, salah satunya adalah buku berjudul “Catatan Kritis Perempuan: Sebuah Analisis Dinamika Sosial”, yang mengupas isu-isu sosial dari perspektif perempuan dengan sudut pandang yang tajam dan reflektif.
Tidak hanya aktif dalam ruang intelektual, Aliya juga turut berperan besar dalam penguatan peran remaja di tingkat kecamatan. Saat ini, ia dipercaya menjabat sebagai ‘Ketua Umum PIK-R Kecamatan Ganding’.
Lewat posisinya tersebut, Aliya terus menggerakkan program edukasi dan pemberdayaan yang menyasar remaja, terutama dalam membangun kesadaran akan pentingnya kesehatan, literasi, dan kesetaraan gender di lingkungan sosial mereka.
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow







