GhâncaranLonglongan

Calon Tunggal: Pembunuhan Berencana Terhadap Demokrasi

Avatar Of Dimadura
375
×

Calon Tunggal: Pembunuhan Berencana Terhadap Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Mohammad Nor Aktivis Muda Yang Saat Ini Menahkodai Komunitas Jangkar Sumenep Ini Tengah Menyoroti Fenomena Calon Tunggal Pilkada 2024, Khususnya Yang Diduga Bakal Terjadi Di Pilkada Sumenep
Mohammad Nor Aktivis muda yang saat ini menahkodai Komunitas Jangkar Sumenep ini tengah menyoroti fenomena calon tunggal Pilkada 2024, khususnya yang diduga bakal terjadi di Pilkada Sumenep

Oleh: Mohammad Nor


Dalam beberapa waktu terakhir, muncul kecaman luas terkait fenomena calon tunggal dalam Pilkada. Banyak dari kita bertanya-tanya, apakah para elite partai benar-benar peduli pada aspirasi rakyat, atau hanya mementingkan kepentingan pribadi? Situasi ini tampak lebih mengkhawatirkan dibandingkan masa Orde Baru; calon tunggal mengingatkan kita pada praktek politik di Korea Utara, dimana demokrasi hanya ada sekadar nama. Kondisi ini jelas membutuhkan penyelamatan segera.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Harga Booking Di Myze Hotel
Contact Me at: 082333811209

Berbagai gerakan muncul sebagai respons, mulai dari opini, berita, juga konten di media sosial seperti TikTok, Facebook, grup-grup WhatsApp, hingga istigasah dan aksi massa ke kantor partai. Semua itu merupakan bentuk penolakan terhadap upaya partai-partai yang berusaha membatasi kebebasan berpolitik dan mengikis demokrasi.

Apa yang terjadi ini lebih dari sekadar penindasan; jika diibaratkan dalam konteks kriminal, ini adalah pembunuhan berencana dan berantai terhadap demokrasi, di mana suara rakyat dimanipulasi agar tampak seolah-olah mendukung calon tunggal. Sementara itu, di lapisan akar rumput, rakyat secara tegas menolak calon tunggal ini.

Oretan ini adalah upaya kami dalam menghadapi berbagai upaya segelintir oknum penguasa yang ingin melemahkan akal sehat dan membunuh demokrasi secara sistematis.

Sumenep, sebuah daerah yang kaya akan tokoh politik dan tokoh nasional, bahkan disebut sebagai miniatur Nusantara, kini diibaratkan menjadi miniatur Korea Utara. Situasi ini berbanding terbalik dengan definisi demokrasi yang disampaikan oleh Robert Dahl, yaitu:

Pengambilan keputusan kolektif oleh warga negara yang memiliki hak suara yang sama, yang melibatkan sejumlah besar masalah publik, dan dilakukan dengan cara yang mengizinkan warga negara untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

Lebih jauh, situasi ini jelas melanggar fungsi partai politik sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2008. Terdapat lima fungsi utama partai politik di Indonesia berdasarkan Pasal 11 UU tersebut:

  1. Sebagai sarana pendidikan politik bagi seluruh masyarakat Indonesia agar menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  2. Menciptakan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia demi kesejahteraan masyarakat.
  3. Menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
  4. Memberikan wadah bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam politik.
  5. Merekrut dan mengisi jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

Apakah kelima fungsi tersebut masih relevan dan dijalankan dengan benar dalam konteks calon tunggal hari ini? Sangat diragukan. Yang paling jelas terlihat adalah fungsi ketiga—menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik—telah sepenuhnya diabaikan.

Jika pada tahun 1998 kita berjuang melawan KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), hari ini kita menghadapi tantangan baru: melawan politik busuk dengan calon tunggal. Sudah seharusnya kita menguji calon tunggal ini di mimbar demokrasi untuk melihat gagasan dan capaian yang mereka tawarkan. Apakah Sumenep layak dipimpin oleh seorang calon tunggal?

Sumpah Mahasiswa, setidaknya menjadi magnet bagi kita untuk terus menyuarakan perlawanan terhadap pelemahan demokrasi.

Harapan kepada partai politik yang seharusnya mencetak kader militan semakin sirna. Saatnya kita berkampanye agar partai-partai yang tidak pro-demokrasi tidak lagi memiliki kursi di parlemen Sumenep.

Hanya dengan cara inilah rakyat dapat menunjukkan dan mengajarkan arti kebebasan yang sesungguhnya kepada elite partai.

Jika di era Soeharto muncul gerakan Golongan Putih (Golput), mungkin kini saatnya kita menggaungkan gerakan Golongan Kotak Kosong (Gosong); sebuah gerakan politik akar rumput yang benar-benar digerakkan oleh rakyat dan tokoh masyarakat untuk memberikan pelajaran politik kepada para elite partai yang mengabaikan aspirasi rakyat. Biarkan kali ini, rakyat yang memberikan pelajaran kepada elite partai.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *