PROFIL, DIMADURA – Di balik senyum lembut dan tutur katanya yang sederhana, Tutik Ainur Marsyanda, siswi kelas XII MA Miftahul Ulum, Batang-Batang, Sumenep, ini adalah gambaran nyata dari sebuah perjalanan yang sarat perjuangan.
Menjadi penghafal Al-Qur’an di usia muda bukanlah sekadar capaian akademik, melainkan sebuah dedikasi untuk hidup yang lebih berarti.
“Alhamdulillah, senang bisa menjadi penghafal Qur’an. Rasanya seperti punya kesempatan ngobrol langsung dengan Allah lewat hafalan,” ungkap Tutik kepada jurnalis media ini, Selasa (7/1/2024).
Langkah Awal yang Berat
Perjalanan Tutik dimulai saat duduk di bangku SD. Ia mengenang masa-masa awal ketika mulai menghafal Al-Qur’an atas dorongan sang kiai.
“Waktu itu, hafalan saya hanya lima juz, itupun belum saya kuasai. Keinginan memang ada, tapi niat belum mantap,” tuturnya.
Seiring berjalannya waktu, rasa malas sempat menghampiri, membuat langkahnya terasa berat. Namun, ia menyadari bahwa menjadi penghafal Al-Qur’an adalah takdir yang harus diperjuangkan.
Di MA Miftahul Ulum, Tutik menemukan momen kebangkitan. Sebagai angkatan pertama jurusan Tahfidz, ia merasa berada di jalur yang tepat untuk kembali memperkuat hafalan.
“Ketika mulai berpikir dewasa, saya sadar, motivasi saya adalah membanggakan Rasulullah dan menjadi bagian dari ahlul Qur’an,” tambahnya penuh keyakinan.
Tantangan yang Membentuk
Perjalanan menghafal Qur’an tidak mudah. Tutik harus berbagi waktu antara pondok dan sekolah. Setiap hari, ia bolak-balik dari pondok Bumi Dzikrullah ke MA Miftahul Ulum, menghadapi rasa lelah yang kadang menguji kesabarannya.
Tantangan lain datang dari orang-orang sekitar, baik yang meragukan kemampuannya maupun ketatnya jadwal yang membuatnya harus mengorbankan kegiatan lain, termasuk mengajar di pondok.
Namun, semua itu justru mengasah mental dan tekadnya. “Saya yakin apa yang hilang akan digantikan Allah dengan yang lebih besar,” ujarnya, mencerminkan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Bahkan ketika orang tua sakit atau motivasi menurun, ia tetap berpegang pada keyakinan bahwa Allah adalah penolong terbaik.
Hikmah dan Harapan
Kini, dengan hafalan 30 juz yang terus dimantapkan, Tutik merasa hidupnya jauh lebih tenang. Setiap masalah memiliki solusi, dan ia merasakan keberkahan luar biasa dalam hubungannya dengan sesama.
“Yang paling terasa adalah akhlak saya yang berubah. Meski belum sempurna, hati saya lebih lembut, dan rezeki datang dari arah yang tak disangka-sangka,” ungkapnya penuh syukur.
Keinginannya tidak berhenti di hafalan semata. Tutik bercita-cita memahami makna dan tafsir Al-Qur’an, bahkan meresapi hadis-hadis yang relevan. Ia ingin seperti Ummi Hanna dan Neng Sheila Hassina, yang mampu membaca 30 juz bilghaib kapan pun dan di mana pun.
“Pesan saya untuk adik-adik: jangan menghafal hanya karena ingin gelar. Ikhlaskan karena Allah, dan insyaAllah hafalan akan mudah hadir di jiwa kalian,” ucap putri dari Bapak Munawi dan Busani ini.
Perjuangan Tutik tentu tidak lepas dari dukungan orang tua, guru, dan teman-temannya. “Terima kasih kepada semua yang telah mendukung saya, terutama ibu. Doa ibu adalah alasan saya bisa sampai di titik ini,” katanya penuh haru.
Dukungan dan Doa Guru
Nihayatul Lailah, salah satu guru tahfidz Tutik Ainur Marsyanda, mengungkapkan rasa kagum kepada Tutik A Marsyanda. “Dia adalah peserta terbaik Tahfidzul Qur’an Mapel 2022/2023. Kesehariannya memang baik dan patut dicontoh,” kesannya.
Sebagai seorang guru, Ustadzah Laila, sapaan akrabnya, menyampaikan pesan penting kepada Tutik. “Tetaplah tekun dan rajin sampai kapanpun. Hakikat seorang hafidzoh adalah menjaga hafalan (murojaah) sampai akhir hayat, alias istiqomah,” tuturnya penuh harap.
Lebih lanjut, Ustadzah Laila menyampaikan impiannya sebagai pembina. “Kebahagiaan seorang guru adalah ketika apa yang kami ajarkan, kami nasehati, dan kami bisa memberikan manfaat dan diteruskan kepada siapa pun yang membutuhkan,” tambahnya.
Dengan kesungguhan yang dimiliki Tutik, guru-gurunya yakin bahwa keberkahan dan manfaat dari hafalan Al-Qur’annya akan terus meluas, menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Melihat semangat dan ketekunan Tutik, Ustadzah Laila, mengaku sangat kagum dengan kepribadian Tutik. “Dia anak yang tekun dan patuh. Meski hidup dalam keterbatasan, tekadnya besar. Ia berani jatuh bangun demi cita-citanya,” kesannya.
“Di masa depan, Tutik berharap bisa membahagiakan orang tuanya di dunia dan akhirat, memiliki keluarga penghafal Qur’an, dan memberi manfaat kepada orang lain,” imbuh Ust. Laila, mengingat apa yang pernah Tutik curhatkan kepadanya.
Bagi Ust. Laila, perjuangan Tutik A Marsyanda adalah teladan nyata, “bahwa di balik setiap kesulitan, ada kemudahan yang telah Allah siapkan,” pungkasnya.***
Barokallah… Jazaakumullah… Ahsanal jaza’…