EDITORIAL DIMADURA – Pilkada Sumenep 2024 menjadi ajang pertarungan politik yang menarik perhatian, tidak hanya karena menimpuknya jumlah partai yang mendukung satu kubu, tetapi juga karena dinamika yang terjadi di balik layar.
Di satu sisi, ada pasangan Achmad Fauzi Wongsojudo dan KH. Imam Hasyim yang telah mengunci dukungan dari koalisi besar, termasuk PDI Perjuangan, PKB, Gerindra, PAN, Demokrat, PKS, Nasdem, Hanura, dan lainnya.
Kekuatan koalisi besar ini, di atas kertas, menempatkan pasangan Fauzi-Imam sebagai calon yang sangat kuat. Namun, di sisi lain, keberadaan KH. Muhammad Ali Fikri (Mas Kiai), Ketua DPC PPP Sumenep, dengan basis dukungan kuat dari pesantren, menambah kompleksitas dalam kontestasi ini.
Koalisi besar yang mendukung Fauzi-Imam memang memberikan kesan dominasi yang sulit ditandingi. Secara teori, dukungan dari partai-partai besar dengan basis massa yang solid di Sumenep semestinya memberikan keunggulan signifikan dalam kompetisi elektoral.
BACA JUGA:
Namun, sejarah politik mengajarkan bahwa besar tidak selalu berarti solid. William H. Riker, dalam teorinya tentang pembentukan koalisi, menyoroti risiko yang dihadapi oleh koalisi besar, seperti principal-agent problem dan collective action problem.
Ketidaksepakatan internal terkait distribusi kekuasaan dan peran pasca-kemenangan bisa memicu disfungsi, atau bahkan perpecahan. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi Achmad Fauzi untuk menjaga kesolidan koalisinya hingga akhir pemilihan.
Di sisi lain, Mas Kiai, dengan dukungannya dari komunitas pesantren, memiliki kekuatan sosial-religius yang tidak bisa dianggap remeh. Sebagai tokoh dari pesantren Annuqayah, ia bukan hanya memiliki basis massa yang setia, tetapi juga legitimasi politik yang kuat.
Dalam konteks Sumenep, yang memiliki akar budaya keagamaan yang dalam, dukungan dari komunitas pesantren sering kali lebih kuat dibandingkan dengan dukungan partai-partai politik. Max Weber menggambarkan dukungan semacam ini sebagai traditional authority, yang dalam banyak kasus, lebih berpengaruh dibandingkan kekuatan formal partai politik.
Ketidakpastian posisi DPP PPP dalam memberikan rekomendasi kepada Mas Kiai semakin memperumit situasi. Dilihat dari kacamata lensa game theory, keputusan PPP bisa dipandang sebagai hasil dari strategi yang dipengaruhi oleh dinamika politik yang ada, termasuk tekanan dari koalisi besar pendukung Fauzi.
BACA JUGA: Anḍhâp Asor dan Tatakrama dalam Adat Keraton Sumenep
DPP PPP tampaknya sedang mempertimbangkan waktu yang tepat untuk mengambil keputusan, demi keuntungan strategis maksimal, atau mungkin menunggu peluang koalisi yang lebih menguntungkan.
Selain itu, konsep teori patronage politics bisa dibilang juga tengah memainkan peran penting dalam peta politik Sumenep. Mas Kiai, dengan dukungan dari pesantren, memiliki jaringan patron-klien yang kuat.
James C. Scott menjelaskan, bahwa dalam masyarakat dengan struktur sosial yang kuat, seperti komunitas pesantren, hubungan patron-klien menjadi faktor kunci dalam memenangkan suara. Jaringan sosial-religius ini menjadi aset politik yang signifikan, yang mungkin tidak dimiliki oleh Fauzi, meskipun ia didukung oleh koalisi besar.
Dalam skenario ini, meskipun Achmad Fauzi tampak lebih unggul dengan dukungan dari koalisi besar, kekuatan politik Mas Kiai yang berakar pada basis pesantren tidak bisa diabaikan.
Ketenaran ayahandanya, KH. A Warits Ilyas, salah satu perintis PPP di Kabupaten Sumenep, figur kuat yang pernah menjabat MPR RI (1992), sedikit banyak juga berperan atas tingginya elektabilitas Mas Kiai.
Keputusan DPP PPP untuk memberikan rekomendasi kepada Mas Kiai atau kepada pasangan Fauzi-Imam akan sangat menentukan arah kontestasi. Jika PPP memutuskan untuk mendukung Mas Kiai, ini bisa memicu pertarungan sengit yang mengubah peta politik Sumenep menjelang Pilkada 2024.
BACA JUGA: 79 Tahun Indonesia Merdeka, Sudah Keringkah Darah Mereka?
Namun, jika PPP memilih untuk mengikuti arus dan mendukung Fauzi-Imam, maka pertarungan ini mungkin akan berakhir lebih cepat, dengan stabilitas koalisi besar sebagai pemenang.
Pilkada Sumenep 2024 akan menjadi ujian besar bagi para aktor politik lokal dalam memainkan strategi mereka. Dalam konstelasi ini, pertarungan tidak hanya terjadi di atas panggung, tetapi juga dalam manuver politik di belakang layar.
Siapa yang mampu menjaga kesolidan dan memanfaatkan dukungan yang dimiliki dengan cerdas, dialah yang akan muncul sebagai pemenang. Hasil Pilkada Sumenep 2024 masih terbuka lebar, setiap langkah strategis memiliki potensi untuk mengubah arah permainan.***
Respon (3)