SakethengTareka

Mudah Kena Kanker, Angka Harapan Hidup Orang Indonesia Hanya 40 Tahun?  Ternyata Karena…!

Avatar Of Dimadura
430
×

Mudah Kena Kanker, Angka Harapan Hidup Orang Indonesia Hanya 40 Tahun?  Ternyata Karena…!

Sebarkan artikel ini
Gambar Ilustrasi Gorengan Pemicu Kanker (Sumber: Pixabay)

Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1TARÈKA, DIMADURABayangkan jika usia 40 tahun bukan lagi masa produktif, melainkan awal dari perjuangan melawan penyakit kronis!

Di Indonesia, kenyataan ini bukan sekadar bayangan. Data terbaru menunjukkan bahwa setiap tahunnya, lebih dari 400.000 kasus kanker baru terdeteksi, dengan angka kematian mencapai 240.000 jiwa.

Ironisnya, banyak dari kasus ini disebabkan oleh kebiasaan makan yang tampaknya sepele namun mematikan: konsumsi gorengan dan makanan ultraproses.

Dalam sebuah podcast bersama artis Nikita Willy, pakar gizi masyarakat Dr. dr. Tan Shot Yen, M.Hum., mengungkap fakta mengejutkan tentang hubungan antara pola makan dan tingginya angka kanker di Indonesia.

Menurut Dr. Tan, kebiasaan mengonsumsi gorengan dan makanan olahan berkontribusi besar terhadap meningkatnya risiko kanker dan penyakit degeneratif lainnya.

“Kenapa angka harapan hidup orang Indonesia rendah? Karena gorengan!” katanya.

Dr. Tan menjelaskan bahwa proses menggoreng, terutama dengan minyak yang digunakan berulang kali, dapat mengubah kandungan gizi makanan menjadi senyawa berbahaya.

Misalnya, ikan yang kaya akan Omega-3, jika digoreng, dapat berubah menjadi lemak trans yang berbahaya bagi tubuh.

“Omega-3-nya malah berubah jadi trans fat. Ditambah lagi dengan proses menggoreng, kita menghasilkan senyawa baru seperti akrilamida dan polycyclic aromatic hydrocarbons, yang merupakan karsinogen,”  jelasnya.

Lebih lanjut, Dr. Tan menyoroti perbedaan pola makan antara masyarakat Indonesia dan Jepang.

Meskipun kedua negara sama-sama kaya akan hasil laut, angka harapan hidup di Jepang jauh lebih tinggi.

Salah satu alasannya adalah cara pengolahan makanan yang lebih sehat di Jepang, seperti mengukus atau merebus, dibandingkan dengan kebiasaan menggoreng di Indonesia.

“Orang Jepang bisa hidup sampai usia 90 tahun, bahkan lebih. Kita di Indonesia, usia 40 tahun sudah minum obat darah tinggi dan kolesterol. Padahal sama-sama punya laut, sama-sama makan ikan. Bedanya, kita digoreng, mereka dikukus atau dibakar,”  katanya.

Dr. Tan juga mengkritik konsumsi makanan ultraproses seperti sosis, nugget, dan mie instan yang semakin membudaya.

Ia menyebut produk-produk ini sebagai “bukan makanan”, melainkan “produk makanan” yang hanya memberi sensasi kenyang tanpa nilai gizi yang cukup.

“Makanan ultraproses itu bukan makanan. Mereka dibuat di pabrik dengan tambahan zat aditif, pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan perasa. Semua itu adalah kombinasi yang dapat merusak metabolisme tubuh dan memicu peradangan jangka panjang,”  ungkapnya.

Sebagai solusi, Dr. Tan mengajak masyarakat untuk kembali pada makanan utuh (whole food), yaitu makanan yang diproses seminimal mungkin dan tetap mendekati bentuk aslinya di alam.

Ia mencontohkan berbagai hidangan tradisional Indonesia seperti pepes ikan, arsik (Sumatera Utara), naniura (Batak), ikan pepes (Jawa), ikan kuas asam (Indonesia Timur), dan pindang (Medan) sebagai contoh makanan sehat yang kaya nutrisi namun sering terlupakan.

Indonesia menurutnya adalah surga makanan sehat. Dari Sabang sampai Merauke, ada resep turun-temurun yang sebenarnya sangat bergizi. Tapi semua dikalahkan oleh gorengan.

“Selidik punya selidik, iwak-e (ikannya) digoreng gitu loh! Padahal, kalau anda mengikuti menu tradisional orang Indonesia, nggak ada gorengan,” ujarnya.

“Coba sebut dari Sabang sampai Merauke, orang Sumatera Utara, ikan dibuat arsik, nggak digoreng. Bahkan kita punya shashimi-nya orang Batak, namanya Naniura. Orang Medan punya gulai kepala ikan. Top skor!” imbuhnya mencontohkan.

Dr. Tan kemudian menekankan pentingnya memahami makronutrien: karbohidrat, lemak, dan protein sebagai fondasi utama pola makan.

Menurutnya, tren diet yang menghilangkan salah satu unsur makronutrien justru bisa merusak keseimbangan tubuh.

“Tubuh kita butuh semuanya: karbohidrat, protein, dan lemak. Yang penting adalah sumber dan cara pengolahannya. Karbohidrat dari singkong rebus tentu beda dampaknya dengan karbohidrat dari donat goreng,” jelasnya.

Di akhir perbincangan, Dr. Tan mengingatkan bahwa kesehatan tidak dibangun dari makanan mahal, tetapi dari keputusan sehari-hari yang konsisten.

“Makan bukan hanya soal kenyang, tapi soal menyayangi tubuh. Karena tubuh yang sehat adalah rumah utama bagi jiwa yang kuat,”  pungkasnya.***