TARÈKA DIMADURAID – Pada postingan sebelumnya, redaksi sempat mengunggah artikel “10 Contoh Panastès: Pesan Bijak ala Sesepuh di Madura” dan, belum dijelaskan secara detail apa arti dan kemana sebenarnya arah hikmah dari satu per satu contoh panastès tersebut.
Nah, kali ini coba redaksi jabarkan mulai contoh panastès yang pertama:
“
Jhâ’ neng-ennengngan è bâng-labâng, cong! Manna ta’ paju lakè (bagi perempuan), otabâ ta’ paju binè (bagi lelaki).
“
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, panastès di atas kira-kira akan jadi begini: “Jangan suka diam di mulut pintu, Nak! Nanti kamu sulit dapat jodoh”.
Asbabul Panastès
Maksud redaksi mengistilahkan sub judul pertama ini dengan asbabul panastès adalah sekadar tamsil, bukan lalu hendak ingin menyamakannya dengan asbabul wurud sebagaimana penjelasan mengenai latar belakang turunnya hadis.
Ya, istilah asbabul panastès ini hanyalah sekadar tamsil untuk dapat mengantarkan penulis pada pembahasan tentang latar belakang adanya panastès tersebut dan, sekali lagi, ini hanyalah hasil analisa sementara penulis; sebatas asumsi; butuh komentar dan diskusi dari paramaos DimaduraID untuk dapat memastikan prosentase kebenarannya.
Entah, darimana sesepuh di Madura menemukan susunan okara panastès ini. Tapi yang jelas, panastès ini ada dan seringkali diucapkan kepada anaknya jika mereka kebetulan melihat si anak sedang berdiri atau duduk di mulut pintu.
Anak-anak di Madura jaman dulu lebih tunduk dan langsung melaksanakan apa yang diperintah atau dilarang oleh orangtua mereka.

Jika orangtua mengatakan:
“
Jhâ’ toju’an neng è bâbg-labâng, Cong, Manna ètappor kèlap!
“
Maka tanpa pikir panjang, anak tersebut akan langsung pindah dan memilih tempat ngadem lain.
Beda doeloe, beda sekarang. Jika anak jaman milenial saat ini ditegur oleh orangtuanya dengan contoh panastès di atas, maka ia kadang kan menjawab, “èngghi, mangkèn ḍhimèn, ka’ḍinto ghi’ ta’ lastarè,” atau “Haha, ca’èpon pasèra ghânèka, Ma’?”
Ya, begitulah. Jika ada hal perkataan yang butuh analisa kausalitas (sebab-akibat), anak jaman ini masih akan berpikir dua kali sebelum mengeksekusinya.
Sebenarnya, samar-samar panastès tersebut mengandung pesan moral tentang sikap sosial dalam keluarga, bahwa pintu rumah adalah tempat lalu-lalang anggota keluarga. Jika ada anak-anak yang berdiri di mulut pintu, maka tentu akan mengganggu, sekalipun saat itu tidak ada yang lewat. Setidaknya, mengganggu pemandangan:-).
Pintu jalan rejeki
Masih berkaitan dengan panastes di atas, bahwa kepercayaan orang Madura era sebelum 1990-an terhadap hal-hal magis masih sangat kental.
Mereka yang lahir sebelum tahun 1980-an dapat menyaksikannya, bahkan hingga saat ini, kesadaran magis-filosofis orang Jawa, khususnya Madura, masih tampak. Misal, bahwa hingga saat ini, sebagian dari calon legislatif atau bupati, acapkali kita jumpai masih ada di antara mereka yang percaya pada hal klenik.
Ada hal-hal di luar nalar yang mereka anggap menyimpan rahasia. Ada hal-hal klasik dan seakan tak masuk akal yang menurut mereka, itulah jalannya.
Kondisi ini tergambar dalam panastès dan bâbulângan sesepuh di Madura tentang pintu, seperti: “Jhâ’ natthangan labâng lem-malem, manna ecapo’ panyaket ta’un”, “Mon ghu-lagghu, bukka’ labângnga, rajhekkè maso’a!”.
Ya, begitulah. Yuk, kirim tulisan paramaos DimaduraID ke alamat email: dimadura99@gmail.com. Mator sakalangkong.***