|| Di balik kabel listrik yang mengalir tenang, rupanya ada korsleting narasi yang mengundang tanya (?)
asus ganti kWh di tambak Jailani menjadi panggung paling dramatis dari sebuah kisah yang seharusnya sederhana: pelanggaran instalasi listrik. Namun, ketika PLN dan “anak perusahaannya”, PT Haleyora Power, ikut main peran, ceritanya menjelma jadi teater absurditas hukum dan etika.
Berawal dari pemasangan MCB bodong oleh eks teknisi Haleyora bernama Achmad Hamdani alias Dani, dan denda sebesar Rp33 juta yang menimpa Jailani, pemilik tambak. Namun kisah tak berhenti pada pelanggaran teknis.
Dalam alur yang makin membelit, muncul tokoh Benny—anggota aktif PLN—yang mengganti kWh bodong itu dengan kWh resmi milik PLN. Alih-alih menyelesaikan masalah, langkah ini justru membuka kotak pandora tentang peran ganda dan dugaan permainan internal.
Lucunya, laporan dasar pencabutan MCB itu bersandar pada sebuah surat kuasa bodong. Pelapor tertulis bernama Iksan dan ditandatangani oleh Bunahwi (kakak Jailani).
Surat kuasa itu bermaterai, tapi tak bertanggal. Nama pemberi kuasa dicoret dan diganti atas nama Bunahwi. Tanggal pelaporan juga datang belakangan setelah penindakan.
Siapa pun yang paham prosedur hukum tahu, ini adalah titik janggal yang tak bisa diabaikan. Tapi PLN tampaknya lebih sibuk menjaga nama baik ketimbang mengurai kekusutan.
Dalam mediasi pertama, Senin (21/4) Pangky Yonkynata A., Kepala PLN ULP Sumenep, menyebut Dani adalah anggota PLN yang sudah diberhentikan.
Di mediasi berikutnya, Jumat (25/4) narasi itu berubah. Tiba-tiba Dani bukan dari PLN, melainkan teknisi di bawah PT Haleyora Power. Bersamanya, hadir Ardiyansyah, bos teknis dari Haleyora yang secara resmi menyatakan Dani sudah tak aktif sejak awal Januari dan diberhentikan pada 20 Februari.
Apa motif di balik perubahan versi ini? Dugaan kuat mengarah pada satu skenario: amankan citra PLN, lindungi Benny dan tumbalkan Dani. Publik dibuat lupa bahwa denda ini lahir dari pelanggaran prosedur dan dugaan manipulasi instalasi oleh orang dalam sendiri.
Fakta bahwa Benny sempat menyarankan Jailani membayar denda ke Dani, atas nama PLN, memperkeruh integritas sistem pengawasan mereka.
Mediasi besar direncanakan hari ini, Rabu (30/4). Pihak PLN UP3 Madura—yang terpusat di Pamekasan—akan turun ke Sumenep. Akan ada pertemuan antara PLN, Haleyora Power, Benny, Jailani, dan (semoga hadir) Dani serta Iksan.
Tapi sampai hari ini, PLN belum memberi kepastian soal status Benny dan Iksan. Holding statement PLN hanya sebatas klise normatif—tanpa isi, tanpa kejelasan tentang aktor kunci di dalamnya.
Tiga skenario kini mencuat. Pertama, PLN akan menyudahi polemik ini dengan tetap menjatuhkan denda pada pelanggan, menghindari pembahasan soal kelalaian internal. Kedua, Dani bakal dijadikan kambing hitam penuh, didepak tanpa pembelaan—sehingga denda Rp33 juta jadi tanggungjawab patungan antara Dani (PT Haleyora Power) dan pelanggan (persil).
Ketiga, surat kuasa Iksan dan peran Benny akan dilupakan begitu saja, seolah tak pernah ada percik manipulasi. Sementara itu, Jailani dan Bunahwi—pemilik tambak atau pelanggan resmi atasnama Rusilawati—terjebak dalam kubangan sistem tanpa celah ruang pembelaan.
Jika narasi ini tak diurai dengan tegas dan transparan, PLN tak hanya gagal menjaga listrik tetap menyala, tapi juga gagal menjaga nurani sebagai BUMN yang seharusnya berpihak pada pelanggan.***