ḌÂPOR KULINER, DIMADURA – Di antara deretan kuliner modern yang makin semarak di sudut-sudut Kota Sumenep, Madura, suara khas uap mendesah dari cetakan bambu tak pernah gagal menarik perhatian.
Ya, seperti bunyi nut-nut cerobong kereta api, suara itulah yang mengiringi jejak langkah Bang Iman, pria asal Solo yang sejak 2019 setia menjajakan putu, kudapan tradisional Jawa yang kini perlahan menjadi barang langka.
Setiap sore, aroma wangi pandan dan gula merah merebak dari gerobak sederhananya yang ia parkir tak jauh dari keramaian. Hari ini, keberuntungan membawa penulis kepergok dengannya di Jl. DR. Wahidin, Lingkungan Dhalem, Pajagalan, Kec. Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur 69416.
Di sana, terlihat antrean kecil anak-anak, ibu-ibu, dan bahkan bapak-bapak bersarung, menanti giliran untuk mencicip putu hangat yang baru keluar dari cetakan.

“Adonan ini saya bawa tiap hari 2,5 kilo. Biasanya habis sebelum Maghrib. Banyak yang nggak kebagian. Tapi kadang ya sampek pukul sembilan malem,” tutur Bang Iman sambil menekan-tekan adonan beras yang telah dibubuhi gula merah, lalu mengepulkannya dengan tekanan uap dari dandang kecil di atas gerobaknya.
Proses sederhana yang hanya butuh waktu beberapa menit ini justru menjadi atraksi yang membetot memori kolektif banyak orang.
Putu yang dibuat Bang Iman terbuat dari beras yang digiling halus, diberi isian gula merah asli, lalu dikukus dalam cetakan bambu kecil. Begitu matang, putu disajikan dengan taburan kelapa parut yang gurih dan lembut.
Satu gigitannya, dan kita seakan diseret mundur ke masa kecil, ke suasana kampung yang hangat dan sederhana.
“Kalau di Solo, suara putu itu suara sore,” lanjutnya sambil tersenyum. “Anak-anak langsung lari keluar rumah waktu dengar suara uapnya.”
Kini, Bang Iman menghidupkan kembali suara dan rasa itu di Kota Sumenep, Madura—ratusan kilometer dari kampung halamannya. Ia berkeliling dari satu sudut kota ke sudut lainnya, kadang di depan minimarket, kadang di pelataran masjid.
“Kalau malem, biasanya saya standby di ini, di depan Masjid Jamik, atau seputar Taman Bunga,” ujarnya.
Ia tidak punya tempat tetap, namun pelanggan tetapnya selalu bisa menemukan dia lewat kabar dari mulut ke mulut—dan kini, lewat peta digital.

Setiap satu cetakan putu ia jual seharga Rp1.000. Umumnya, pembeli membeli dalam porsi Rp5.000 atau Rp10.000. Tak sedikit yang membeli lebih karena ingin membawa pulang untuk keluarga di rumah. “Kalau anak-anak beli lima ribu, biasanya langsung habis di tempat,” candanya.
Lebih dari sekadar jajanan, putu ala Bang Iman membawa semacam nostalgia kolektif. Ia bukan hanya menjual makanan, tapi menghadirkan kembali potongan masa lalu yang hangat dan tak lekang waktu. Di tengah derasnya arus makanan kekinian, ia memilih tetap setia pada rasa lama yang jujur dan bersahaja.
Bagi Bang Iman, berjualan putu bukan hanya soal ekonomi. “Saya senang lihat orang-orang senyum waktu makan. Apalagi kalau bilang, ‘Wah, ini kayak putu zaman kecil dulu!’ Itu sudah cukup buat saya,” tandasnya.
Mungkin, di sinilah letak kekuatan sejati dari kuliner tradisional: bukan hanya karena enaknya, tapi karena ia menyentuh perasaan terdalam manusia—rindu.***