GARDU BUDAYA, DIMADURA – Sejarah penamaan Sumenep Kota Keris dimulai sejak era kepemimpinan Bupati A Busyro Karim dan wakilnya, Achmad Fauzi Wongsojudo.
Penyematan warisan budaya berupa pusaka peninggalan zaman Raja Songennep pada Kabupaten Sumenep ini dideklarasikan oleh Bupati A Busyro Karim tepat pada tanggal 9 November 2016.
Dasar deklarasi tersebut karena, selain tempo dulu Sumenep memang terkenal sebagai pencipta keris, seperti pada kisah Ki Empu Kelleng dan Pangeran Jokitole, kabupaten paling timur di Pulau Madura ini menjadi pusat pengrajin keris terbesar di dunia.
Hingga sekarang, upaya penyematan laqab ‘Kota Keris’ pada nama kabupaten paling timur ujung Pulau Madura ini masih terus dilanjutkan melalui sejumlah program Achmad Fauzi yang kini telah menjabat sebagai Bupati Sumenep.
Data Pengrajin Keris
Mengutip berbagai sumber, pada tahun 2016, Pemkab Sumenep mencatat ada sekitar 862 pengarajin keris yang tersebar di 17 desa di 3 kecamatan, yakni Kecamatan Bluto, Kecamatan Saronggi, dan Kecamatan Lenteng.
“Itulah cikal bakal dari Sumenep menjadi Kota Keris. Pendataan terhadap para empu atau pngrajin keris tersebut dilakukan oleh paguyuban bersama Disbudparpora Sumenep,” ungkap Aktivis Pusat Kajian dan Analisis Kebijakan Daerah (Pusaka) Sumenep, Muhsin, sebagaimana dilansir Newssatu.com, Rabu (17/4).
Berkat perjuangan para empu, pengrajin keris, dan pegiat paguyuban yang terus eksis hingga saat ini, maka dinobatkanlah Sumenep sebagai Kota Keris.
Bupati Achmad Fauzi coba mengenalkannya pada dunia, maka ia pun mendapatkan anugerah sebagai Figur Akselerator Pembangunan kategori Tokoh Warisan Budaya.
“Dengan jasa para empu atau pengrajin keris, Bupati Sumenep mendapatkan anugerah atau penghargaan tersebut. Jadi tanpa empu atau pengrajin keris, Bupati tidak akan pernah mendapatkan anugerah tersebut,” tukas Muhsin.
Demikian sekilas sejarah tentang Sumenep Kota Keris dalam kacamata aktivis Pusaka Sumenep, Muhsin, saat diwawancara wartawan newssatu.com.
Etika Mengambil Keris
Aktivis Pusaka Muhsin lalu lanjut menjelaskan etika atau tatakrama mengggunakan keris ala masyarakat Sumenep.
“Setelah membaca beberapa literasi, ternyata dalam dunia pekerisan itu ada etikanya, mulai dari etika mengambil hingga mengembalikan keris,” ungkapnya membuka keterangan.
Ambil contoh dalam suatu pertemuan atau sarasehan tosan aji yang melibatkan lebih dari dua orang penggemar keris, maka ketika itu biasanya orang Sumenep akan meletakkan keris masing-masing, baik di meja, tikar, hambal, maupun di atas karpet. “Itu apabila dilakukan secara lesehan,” kata Muhsin.
Dia menegaskan, keris yang diletakkan tersebut masih satu kesatuan dengan pemiliknya. Sehingga apabila ada seseorang yang ingin mengambil keris yang bukan miliknya, maka berdasarkan norma sosial masyarakat Sumenep, orang tersebut harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemiliknya.
Setelah pemilik keris tersebut memberikan isyarat izin, maka barulah orang itu dapat mengambil keris dimaksud.
Etika melihat keris
Mengambil atau melihat keris tanpa izin terlebih dahulu kepada pemiliknya akan menyinggung perasaan pemilik keris; seolah-olah ia telah mengabaikan pemilik keris; bahwa sejatinya keris dan pemiliknya adalah satu kesatuan.
“Mungkin saat mengambil keris di atas kita hanya sekedar mengamati keris dari warangkanya saja, tidak sampai melihat isinya,” katanya.
Demikian, apabila kita memiliki niat untuk melihat isi keris milik orang lain dari warangkanya, semua itu harus berdasarkan aturan yang ada.
Saat mengembalikan keris ke tempat semula pun kita harus berusaha mengucapkan terima kasih kepada pemilik keris, “sehingga pemilik keris tersebut merasa dihargai,” tukas Muhsin.
Etika mengeluarkan keris
Masuk pada etika mengeluarkan keris dari warangka. Ya, berdasarkan norma adat orang Sumenep, jika seseorang ingin melihat isi keris tertentu, maka ia pun sama juga harus meminta izin kepada pemiliknya.
Setelah mendapat persetujuan dari pemiliknya, maka orang tersebut dapat mulai mengeluarkan keris dari warangkanya.
Jangan salah, mengeluarkan bilah keris dari warangkanya pun ada aturannya.
Tatakrama seseorang ketika hendak mengeluarkan isi keris dari warangka adalah dengan cara memegang gandar (bungkus keris) menggunakan tangan kiri seraya menghadap ke atas, sementara tangan kanan memegang bagian hulu (ukiran) keris.
Tekan jempol tangan kanan pada tampingan warangka, setelah keris keluar kira-kira 1-2 cm, maka tariklah warangka keris tersebut ke atas menggunakan tangan kiri.
Hal yang penting diingat saat sesi mengeluarkan keris dari warangkanya adalah dengan menggerakkan jempol tangan kanan ke atas, baru kemudian menggerakkan warangka ke atas menggunakan tangan kiri, bukan menggerakkan atau menarik bilah keris ke bawah.
Ngunus dan Ngalolos
Ada 2 istilah terkait cara mengeluarkan keris menurut masyarakat pelestari keris di Kabupaten Sumenep.
Istilah yang pertama, yakni Ngunus. Ngunus artinya mencabut bilah keris dari warangkanya. Kedua, Ngololos, yaitu menarik warangka ke atas seraya bilah keris tetap tak bergerak.
Setelah warangka ditarik ke atas, maka letakkanlah warangka pada tempat yang aman. Misal, di atas meja atau di atas karpet jika lesehan. Lalu angkat bilah keris ke dekat kening atau dekat telinga kanan sekitar satu atau dua detik. Sikap ini adalah untuk menghormati Sang Empu yang telah membuat keris sekaligus demi menghargai pemilik keris yang ada di tempat tersebut.
Setelah Gerak Penghormatan
Setelah usai melakukan gerak penghormatan, maka si pelihat barulah boleh mengamati dan mengagumi bilah keris.
Selama memegang keris, ujung bilah harus selalu menghadap ke atas. Jika ingin melihat detail pamornya, maka letakkanlah ujung bilah keris pada kuku jari jempol tangan kiri yang berfungsi sebagai landasan agar lebih mudah mempertahankan posisi keris.
Yang harus dihindari saat mengamati bilah keris adalah memegang bilah keris tersebut dengan jari tangan, khawatir sebelumnya jari kita sempat memegang benda lain dan terkena keringat.
Kandungan zat garam pada jari yang berkeringat dapat menyebabkan bilah keris tersebut mudah berkarat. Kegiatan meninting atau menjentik bilah menggunakan kuku jari guna mendengar suara denting bilah keris juga sebaiknya dihindari.
Etika Menyarungkan Keris
Lanjut kepada etika menyarungkan keris. Setelah membuka dan mengeluarkan keris dari sarungnya, maka kerja berikutnya adalah memasukkan (menyarungkan) keris ke dalam warangkanya.
Tatakrama seseorang yang pertama kali mengeluarkan keris dari sarungnya harus bertanggung jawab untuk memasukkan kembali ke sarungnya seperti sediakala.
Hal ini untuk menghindari keadaan dimana dalam suatu pertemuan, kadangkala keris yang sudah dikeluarkan itu diamati secara bersama-sama. Keindahan bilah keris mesti dilakukan secara mandiri; tidak baik berpindah dari satu tangan ke orang lain dalam satu amatan.
Saat hulu keris berpindah dari satu orang ke orang lain, maka menurut tatarkrama masyarakat Sumenep, keris tersebut disarungkan kembali oleh orang yang pertama kali membukanya.
BACA JUGA:
Tatacara Menyarungkan Keris
Tatacara Menyarungkan keris, pertama, letakkanlah tangan kanan yang memegang hulu keris di depan pusar (perut) dengan kemiringan agak condong ke depan, lalu ambil warangka yang terletak di atas meja atau di atas karpet.
Posisi keris tetap dalam kondisi diam di tangan kanan, sedangkan posisi tangan kiri pelan-pelan mengembalikan warangka ke bilah keris dengan gerakan turun ke bawah.
Apabila seluruh bilah sudah masuk ke dalam warangka, maka lakukanlah gerakan memutar tangan kiri sehingga posisi hulu keris bisa berada di atas
Etika Menyerahkan dan Menerima Keris
Selanjutnya, bagaimana etika menyerahkan dan menerima Keris?
Berdasarkan norma adat turun-temurun keluarga Kerajaan Sumenep, tata etika menyerahkan serta menerima keris ini berlaku saat kita sedang berada di acara sarasehan maupun saat diskusi perkerisan.
Menyerahkan keris kepada orang yang lebih tua atau lebih tinggi jabatannya, maka tangan kanan harus memegang warangka keris pada gandar paling bawah (paling ujung) dan tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan. Orang yang kita hormati hendaklah menerima warangka keris dengan memegang gandar bagian atas (pangkal gandar).
Pantangan dalam Pergaulan Perkerisan
Saat melihat bilah keris milik orang lain, tabu hukumnya menilai kualitas keris tersebut kecuali atas permintasn si pemilik. Demikian juga memberikan komentar negatif atau mencela keris milik orang lain, hal tersebut merupakan pantanga dalam pergaulan perkerisan.
Untuk itu, semua pihak harus dapat menahan diri ketika melihat dan mengamati bilah keris milik orang lain dalam suatu pertemuan sarasehan atau diskusi perkerisan.
Terkecuali dalam pertemuan khusus yang memang diadakan sebagai wahana edukasi, maka penilaian terhadap keris dapat dilakukan oleh orang yang lebih paham kepada orang yang masih belum paham secara teknis.***
Respon (4)