GHARDU, DIMADURA – Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan Sekutu.
Mereka berusaha dengan segala cara untuk dapat menjajah kembali di Indonesia, baik secara kekerasan maupun melalui perundingan.
Kemudian pada tanggal 11 November 1947 pasukan Belanda berhasil menguasai Madura. Dengan dasar tersebut Belanda meneruskan usahanya untuk menghidupkan kembali pemerintahan keresidenan Madura seperti pada masa pemerintahan (jajahan) Belanda.
Selain itu upaya-upaya yang dilakukan Belanda untuk menjajah kembali wilayah Madura, antara lain memboyong para pegawai dan pejuang dari Pemerintahan Daerah Madura yang masih bertahan di Manding Sumenep.
Belanda berusaha merayu RAA. Cakraningrat, untuk melanjutkan kembali pemerintahan bersama Regeringe Commisaris Voor Restuur Saangelegenheden (RECOMBA).
Namun sebelum Belanda datang RAA. Cakraningrat telah mengajukan berhenti dari jabatannya sebagai Resimen Madura kepada Pemerintah Pusat Republik Indonesi pada tanggal 21 September 1947.
Kemudian diadakan perundingan di Sampang mengatas namakan Madura. Dari pihak Belanda diwakili oleh CH. O Vander Plas dan Mayor Sitters sedangkan pihak Pemerintah Indonesia wilayah Madura diwakili RAA. Cakraningrat dan memperoleh kesepakatan sebagai berikut;
- membentuk Pemerintahan Madura dipimpin oleh seorang Resimen RAA. Cakraningrat.
- Secepatnya mengadakan penyempurnaan alat-alat kekuasaan di Madura.
- Polisi Regeringe Commisaris Voor Restuur Saangelegenheden (RECOMBA) menjamin keamanan dan ketertiban di seluruh Madura.
Pada tanggal 21 Nopember 1947 hasil kesepakatan diumumkan dan oleh Belanda ditambah penjelasan yang berbunyi: (Pemerintahan Madura berdiri sendiri dan lepas dari Republik Indonesia namun bersifat sementara, sambil menunggu rencana yang akan ditetapkan oleh Pemerintah Belanda tentang bentuk dan statusnya).
Pemerintahan Madura mulai berjalan pada tanggal 28 November 1947. Kemudian pada tanggal 14 Januari 1948 Pemerintah Madura, mengadakan pertemuan dengan orang-orang terkemuka dari seluruh Kabupaten di Wilayah Madura yang bertempat di Pamekasan. Komite tersebut oleh Pemerintah Madura dianggapnya sebagai wakil rakyat.
Pada tanggal 16 Januari 1948 diadakan rapat dan menghasilkan kesepakatan dengan membuat resolusi yang berisi pernyataan sebagai berikut:
- Hubungan antara Madura dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia telah putus sejak tanggal 11 Nopember t 1947.
- Pada tanggal 21 Nopember 1947 dibentuk Pemerintah Madura sementara yang dipimpin oleh RAA.Cakraningrat.
- Pemerintah Madura Sementara merupakan pemerintahan sendiri yang bekerjasama dengan Pemerintahan Belanda di Indonesia.
Selanjutnya Komite Penentuan Kedudukan Madura melaksanakan tugas yaitu menentukan nasib sendiri atas dasar asas-asas perjanjian Linggarjati. Hasil Kesepakatan menetapkan resolusi, sebagai berikut:
- Hubungan antara Madura-Negara Republik Indonesia telah terputus.
- Menetapkan status Madura sebagai Negara Merdeka dan merupakan bagian dari Negara Indonesia Serikat.
- Menunjuk RAM Sis Cakraningrat, Bupati Bangkalan sebagai utusan Madura dalam Dewan Pemerintahan Peralihan.
- Meminta kepada RAA. Cakraningrat untuk memegang Pemerintahan Negara Madura.
- Memberi kekuasaan penuh kepada Wali Negara Madura dan Panitia Komite Persatuan Kedudukan Madura untuk menetapkan kedudukan Negara Madura dengan catatan:
- Pemerintah Negara Madura berdasarkan asas-asas demokrasi dari Perjanjian Linggarjati.
- Utusan Madura dalam Dewan Pemerintahan Peralihan berjumlah 3 anggota.
- Jumlah anggota Panitia Komite Penentuan Kedudukan Madura jika perlu dapat ditambah.
- Meminta kepada Pemerintah Belanda agar kedudukan Negara Madura diakui sebagai Negara Merdeka dan bagian dari Negara Indonesia Serikat.
Dalam rangka meminta persetujuan rakyat seluruh Madura tentang resolusi itu, maka Pemerintah Madura Sementara, membentuk Panitia Penyelenggara “Pemungutan Suara” di tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan di seluruh Madura. Sedangkan di tingkat kecamatan dibantu oleh para pamong desa.
Ketentuannya yang berhak memberikan suara adalah setiap laki-laki yang berumur minimal 18 tahun atau telah kawin.
Pemungutan Suara dilaksanakan pada tanggal 23 Januari 1948 di seluruh desa yang ada di Madura dengan penjagaan ketat dari pasukan Belanda. Pemungutan suara itu menghasilkan suara setuju sebanyak 199,510 suara menolak sebanyak 9.923 dan blanko tersedia sebanyak 10.230 suara.
Berdasarkan hasil pemungutan suara terhadap resolusi, maka perwakilan rakyat Madura dan Letnan Gupernur HJ. Van Mook menetapkan:
1) Berdirinya Negara Madura, pada tanggal 20 Pebruari tahun 1948 Masehi yang dipimpin oleh RAA. Cakraningrat sebagai Wali Negara.
2) Segera dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Madura (DPRM) dengan beranggotakan 50 orang yang diberi tugas, sebagai berikut:
- Mewujudkan rencana-rencana susunan ketatanegaraan Negara Madura;
- Merumuskan hubungan Negara Madura dengan Negara Indonesia Serikat (akan dibentuk pada tanggal 1 Januari 1949 M) dan juga hubungan dengan Kerajaan Belanda.
Setelah Negara Madura berdiri, maka penguasa beserta pengikut – pengikutnya dengan dibantu pasukan Belanda mengadakan tekanan-tekanan dan penangkapan terhadap orang-orang yang berpihak pada Republik Indonesia kemudian dipenjara.
Namun para pemimpin pejuang yang memihak Republik Indonesia tidak merasa gentar terhadap ancaman-ancamannya.
Mereka meneruskan perjuangan dengan mengadakan perlawanan dengan gerakan di bawah tanah dan tetap mengobarkan semangat kemerdekaan. Menumbuhkan rasa persatuan dengan dijiwai semangat Proklamasi 17 Agustus 1945 berusaha mengusir kolonialisme Belanda dari bumi Indonesia khususnya di daerah Madura.
Negara Madura yang diciptakan HJ Van Mook pada dasarnya bertujuan untuk mengembalikan penjajahannya dengan cara memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Negara Madura tidak memperoleh dukungan sepenuhnya dari rakyat dan juga para pemimpin yang anti kolonialisme. Oleh karena itu Negara Madura tidak berumur panjang.
Organisasi-organisasi bersifat politik, sosial maupun ekonomi dihidupkan kembali di Madura selanjutnya mengadakan gerakan-gerakan anti kolonialisme.
Pada awal Januari 1950 organisasi politik, organisasi massa, persatuan pegawai Pamong Praja, persatuan guru, semuanya mengajukan resolusi yang intinya menuntut dibubarkannya Negara Madura.
Pembubaran Negara Madura tak kunjung selesai bahkan semakin berlarut-larut maka terjadilah demonstrasi besar- besaran di kota Pamekasan pada tanggal 15 Februari 1950.
Demonstrasi dilakukan oleh ribuan rakyat Madura yang dipelopori Front Nasional Pemuda Seluruh Madura dan Organisasi Pemuda 17 Agustus. Mereka mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Madura, menuntut agar DPRM dibubarkan karena dianggap sudah tidak mewakili kehendak rakyat Madura lagi.
Sidang DPRM menerima tuntutan dan menyatakan DPRM dibubarkan. Kemudian para demonstran menuju ke kediaman Wali Negara menuntut RAA. Cakraningrat agar meletakkan jabatannya.
Para demonstran diterima oleh wakilnya yang merangkap tugas sebagai Bupati Pamekasan karena RAA. Cakraningrat dalam keadaan sakit.
Dia menjelaskan bahwa sejak tanggal 9 Pebruari 1950 Wali Negara Madura telah menyerahkan kekuasaan kepada Komisaris RIS di Madura (Mr. Indrakusuma).
Zainal Fatah Notoadikusumo sebagai pelopor gerakan pemuda bersama para demonstran menuju ke Kantor Komisari RIS di Madura untuk menuntut penyerahan kekuasaan.
Selanjutnya Zainal Fatah Notodikusumo dinyatakan sebagai Bupati Republik Indonesia di Pamekasan dan merangkap sebagai Pejabat Residen Republik Indonesia di Madura.
Sejak itu bendera Merah Putih berkibar dan lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang lagi di Madura. Sedangkan nama Negara Madura mulai dihapus.
Setelah melalui perjuangan yang sangat berat akhirnya Madura kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Pada tanggal 4 Maret tahun 1950 Gubernur Republik Indonesia Jawa Timur mengumumkan bahwa Madura secara de facto telah diakui menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur yang berstatus Karesidenan dan dipimpin oleh seorang residen bernama Raden Sunarto Hadiwijoyo.
Akhirnya karesidenan Madura dinyatakan sah bergabung menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia pada tanggal 9 Maret 1950.***
Sumber: Sejarah Babad Sampang, cet. 4 (Penulis: Hj. Hosnanijatun)