GARDU, BUDAYA DIMADURA — Menurut masyarakat Kabupaten Sumenep, berbagai bentuk ketupat atau yang dalam bahasa Madura disebut topa’, memiliki arti filosofis masing-masing.
Bagi orang Sumenep, atau masyarakat Madura secara umum, topa’ menjadi simbol tradisi dengan nilai-nilai religius yang kental.
Nilai religius tersebut salah-satunya dapat dilihat dari sudut pandang linguistik dimana dalam sastra bahasa Madura kita kenal sebuah istilah bernama ‘kereta basa’ (1973) atau kèrata bhâsa (fonologi EYD 2011).
Topa’ dalam kèrata bhâsa sastra bahasa Madura menjadi tidak hanya ada sebagai kosakata, tapi juga mengisyaratkan maksud tertentu. Topa’ berarti mamonto tabu’ sè kèpa’, sebagaimana kèrata bhâsa nasè’, yakni maperna tabu’ sè mossè’.
Ketupat, Tradisi Nusantara
Tidak hanya terkenal di Madura, tradisi ketupat justru telah membumi sebagai tradisi masyarakat Nusantara. Terutama masyarakat Islam Indonesia.
Konon, ketupat dalam manuskrip Nusantara disebutkan sebagai warisan Sunan Kalijaga. Tradisi warisan salah-satu walisongo ini menngisyaratkan makna spiritual dan filosofi tersendiri.
Filosofi ketupat berdasarkan bentuknya
Jenis ketupat berdasarkan bentuk yang biasa dianyam orang di Sumenep, Madura sangatlah beragam. Mulai dari topa’ masèghit atau masjid, topa’ jhârân, topa’ toju’, topa’ masaghi empa’, topa’ bhâbâng, topa’ leppet dan lain sebagainya.
Penyebutan nama ketupat tersebut didasarkan pada bentuk jenis orong yang terbuat dari daun kelapa atau siwalan. Topa’ jhârân misalnya, disebut demikian karena bentuknya mirip kuda.
BACA JUGA: Sejarah Kota Keris dan Etika Menggunakan Keris ala Masyarakat Sumenep
Setiap jenis topa’ tersebut pun memiliki makna filosofis masing-masing, demikian halnya bahan yang dipakai untuk membuat orong ketupat juga menyimpan makna yang unik.
Melansir berbagai sumber, berikut ini filosofi ketupat menurut orang Sumenep, Madura, Jawa Timur, berdasarkan nama, bentuk dan bahannya.
Topa’ masèghit (ketupat masjid)
Dikatakan topa’ masèghit karena bentuknya menyerupai bangunan masjid serupa wujud kubus dengan bingkai atas bentuk kerucut.
Orang Madura sering menjadikan topa’ masèghit sebagai sajian utama pada saat peringatan hari-hari besar Islam, seperti pada malam ke-21 bulan Ramadan atau yang orang Sumenep kenal dengan istilah malem salèkoran.
Topa’ masèghit seringkali pula disajikan dengan apen; semacam penganan khas Desa Parsanga Kabupaten Sumenep; terbuat dari santan dan kelapa parut.
Topa’ jhârân (ketupat kuda)
Kata jhârân merupakan bahasa Madura yang berarti kuda (hewan). Bahan ketupat (orongnga topa’) terbuat dari daun siwalan atau daun kelapa muda.
Penjelasan singkat di atas mengisyaratkan bahwa sejatinya manusia hidup berdampingan dengan alam (hablum min al-alam). Hewan dan tetumbuhan adalah bagian dari semesta dimana kelestariannya penting kita jaga dan merawatnya dangan baik.