CONGKOP, SITUS DIMADURA — Kampung Tarate, sebuah wilayah bersejarah di Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, menyimpan jejak panjang yang terhubung dengan perkembangan budaya dan pendidikan Islam di Madura.
Kampung ini terletak di sebelah barat Kampung Pajikaran, dalam wilayah Desa Pandian, tepatnya di sekitar Pondok Pesantren KH Zainal Arifin, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Tarate.
Penamaan Kampung Tarate berasal dari karakteristik geografisnya. Di sekitar kawasan tersebut, aliran sungai yang berasal dari Tambak Karaton menuju persawahan di Desa Kolor dan sekitarnya, dipenuhi dengan tumbuhan padma atau bunga teratai, yang dalam bahasa Madura disebut “Tarate“.
Tidak hanya itu, daerah ini juga terkenal sebagai habitat ular, menambah keunikan lingkungan alaminya.
Pada masa kolonial, kawasan tersebut menjadi pusat pendidikan Islam berkat kehadiran seorang ulama bernama Kyai Talabuddin, putra Kyai Laisuddin yang dikenal dengan sebutan Ke Panggung dari Bellukraja, Ambunten.
Kyai Talabuddin memilih lokasi ini untuk mendirikan pondok pesantren, meskipun saat itu daerah tersebut dikenal sebagai kawasan rawan (rojing; bahasa Madura).
Pondok pesantren ini menjadi pusat pembelajaran agama Islam yang memberikan kontribusi besar bagi masyarakat sekitarnya.
Kyai Talabuddin juga memiliki hubungan keluarga dengan Pangeran Suryaadiputra atau Pangeran Adi, putra Sultan Abdurrahman dari Kesultanan Sumenep—yakni sebagai ipar Pangeran Adi.
Salah satu keturunan Kyai Talabuddin, yakni Kyai Zainal Arifin, kemudian menjadi penerus pondok pesantren ini. Kyai Zainal Arifin, yang pernah berguru kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, melanjutkan tradisi pendidikan Islam di Kampung Tarate.
KH Zainal Arifin yang membakar kitab Al-Quran buatan Belanda, yang dibawa oleh Van der Plasch ke Sumenep, yang dimuat oleh beberapa jikar. Karena isi Al-Quran tersebut direkayasa oleh misionaris Kristen negeri Belanda, dan diarahkan pada ajaran agama Nasrani. Beliau sangat jeli dalam menelaah dan meneliti isi Al-Quran tersebut.
Selanjutnya, pesantren ini diteruskan oleh putranya, Kyai Usymuni, dan hingga kini terus berkembang di bawah pengelolaan generasi penerusnya.
Kampung Tarate tidak hanya menjadi pusat pendidikan, tetapi juga simbol akulturasi antara budaya lokal dan nilai-nilai Islam yang dibawa oleh para ulama Madura.
Sebagai saksi perjalanan sejarah, kampung ini mengingatkan kita pada pentingnya peran pesantren dalam membentuk identitas masyarakat Madura sebagai komunitas yang religius dan dinamis.
Sejarah Kampung Tarate tercatat dalam karya Tadjul Arifien R., “Nama dan Lokasi Kampung di Kecamatan Kota Sumenep” yang saat ini sedang dalam tahap perampungan.
Dalam karyanya ini, Tadjul mencatat tidak hanya asal-usul Kampung Tarate, tetapi juga sejarah tentang penamaan 100 nama kampung, 19 nama pasar, 17 nama Taman, 12 nama komplek makam termasuk juga puluhan nama situs tempat familiar yang ada di Kecamatan Kota, Sumenep, dimana keberadaannya kini sudah banyak yang berubah nama dan wujud bangunannya akibat gerus zaman dan pembangunan dari masa pemerintahan satu ke pemerintahan selanjutnya.
Buku ini menjadi sumber penting untuk memahami dinamika dan warisan budaya lokal, memperlihatkan bagaimana sejarah mampu memberikan konteks yang lebih mendalam terhadap kehidupan masyarakat Sumenep.***