Opini: Mohammad Nor
Baru-baru ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumenep memilih Si Busok, kucing lokal dari Kepulauan Raas yang terkenal mendunia, sebagai maskot Pilkada Sumenep 2024.
Pemilihan ini diharapkan dapat mencerminkan karakter Sumenep dalam berdemokrasi. Namun ironisnya, di saat yang sama, beredar kabar bahwa Pilkada Sumenep 2024 akan diikuti oleh calon tunggal. Hal ini mengundang keprihatinan mendalam mengingat Indonesia sebagai negara demokrasi.
“
Rumor tentang calon tunggal ini merupakan fenomena baru dalam kontestasi politik lokal Sumenep. Sepanjang sejarah sejak reformasi, Sumenep belum pernah mengalami atau bahkan merumorkan calon tunggal.
“
Pertanyaan besar muncul terhadap elite partai politik terkait penggunaan anggaran bantuan partai politik (banpol). Apa saja yang mereka lakukan dalam pendidikan politik di tingkat lokal? Jika benar terjadi, kepercayaan publik terhadap partai politik sebagai institusi pendidikan politik akan tergerus, terutama di kalangan muda yang baru mulai belajar politik.
Demokrasi seharusnya menjadi ajang pertarungan gagasan, visi misi, strategi, dan perebutan kepercayaan publik. Kehadiran calon tunggal akan membuat kompetisi politik menjadi hambar dan kehilangan daya tarik.
Tanpa adanya pesaing, bagaimana calon tunggal tersebut dapat meyakinkan publik tentang keunggulan ide dan programnya? Bagaimana kita bisa memastikan pemerintahan yang baik jika rakyat tidak diberi pilihan?
Lebih dari itu, tanpa partisipasi aktif dari masyarakat di Tempat Pemungutan Suara (TPS), calon tunggal tetap bisa menang. Apakah ini bisa dikatakan sebagai representasi yang sebenarnya dari kehendak rakyat? Jika kebijakan yang diambil nantinya tidak sesuai dengan harapan publik, dapatkah kita menyalahkan rakyat yang “memilihnya”?
Partai politik yang seharusnya menjadi wadah pertukaran gagasan dan pendidikan politik tampak kehilangan sengat dan taringnya. Jika calon tunggal benar-benar menjadi kenyataan, ini adalah pukulan telak bagi demokrasi Sumenep.
“
Pemilihan Si Busok sebagai maskot Pilkada seakan kontras dengan kondisi pendidikan politik yang “busuk” di Sumenep.
“
Munculnya calon tunggal bukan hanya mencerminkan krisis dalam demokrasi, tetapi juga menunjukkan melemahnya peran partai politik sebagai pilar demokrasi. Pendidikan politik lokal yang seharusnya menjadi prioritas tampak diabaikan. Tanpa adanya kompetisi yang sehat, partai politik akan semakin kehilangan kepercayaan publik. Generasi muda, yang seharusnya menjadi penerus demokrasi, akan kehilangan minat dan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada.
Dalam kerangka berpikir yang sederhana, kondisi ini menunjukkan bahwa partai politik di Sumenep gagal menjalankan fungsinya. Demokrasi yang seharusnya dinamis dan penuh dengan perdebatan gagasan menjadi monoton dan tidak menarik. Jika calon tunggal benar-benar menjadi kenyataan, Si Busok akan menjadi simbol Pilkada yang “busuk” dalam pendidikan politik di Sumenep.
Kita perlu merenungkan kembali makna demokrasi dan peran partai politik dalam membangun kesadaran politik masyarakat. Jangan sampai demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah menjadi mundur hanya karena ketidakmampuan partai politik dalam menjalankan fungsinya.
Pilkada Sumenep 2024 seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki dan memperkuat demokrasi, bukan malah sebaliknya.
*) Mohammad Nor, Ketua Umum Jangkar (Jaringan Kajian Advokasi Rakyat) Kabupaten Sumenep