KolomLonglongan

Tanggul Jebol Ketuk Pintu Rumah Sakit BHC

Avatar Of Dimadura
704
×

Tanggul Jebol Ketuk Pintu Rumah Sakit BHC

Sebarkan artikel ini
Khairullah Tofu | Wartawan Media Masalembo | Tanggul Jebol Ketuk Pintu Rumah Sakit Bhc Sumenep (Foto: Doc. Dimadura)
Khairullah Tofu | Wartawan Media Masalembo.ID | Tanggul Jebol Ketuk Pintu Rumah Sakit BHC Sumenep (Foto: Doc. Dimadura)

Kolom: Khairullah Tofu


Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1LONGLONGAN, DIMADURA – Desember 2024 meninggalkan jejak banjir yang tak terlupakan di Sumenep. Tanggul jebol di area Sungai Kalianjuk Desa Patean, menghanyutkan ketenangan tiga desa: Patean, Babbalan, dan Batuan.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Harga Booking Di Myze Hotel
Contact Me at: 082333811209

Air bah setinggi paha orang dewasa menggenangi rumah, sawah, dan jalan. Tapi tragedi ini bukan sekadar soal air yang mengalir keluar batas.

Di tengah genangan itu, sebuah pertanyaan muncul: apa kabar pembangunan Rumah Sakit Baghraf Health Clinic (BHC) di tepi sungai?

Dekat, tapi Kok Tak Terlibat?

BHC berdiri gagah di tepi Sungai Kalianjuk, hanya tiga meter dari sempadan sungai. Sebuah pencapaian arsitektur, tetapi mungkin juga sebuah teka-teki tata ruang.

Dalam regulasi tata ruang, sungai memiliki batas sakral: sempadan minimal 50 meter yang tak boleh disentuh. Tapi kenyataan di lapangan? Ya, seperti biasa, teori dan praktik sering berbeda jalur.

Tentu, tidak ada yang langsung menuduh BHC sebagai penyebab jebolnya tanggul. Itu terlalu gegabah.

Namun, keberadaannya di lokasi yang begitu sensitif membuat banyak orang berpikir: apa tidak ada hubungan sama sekali? Pertanyaan ini bukan soal menyalahkan, melainkan soal memastikan.

Karena jika pembangunan di area seperti ini terus dibiarkan, risiko kerusakan lingkungan dan banjir akan selalu membayangi.

Siapa yang Salah?

Kita tahu, tanah di tepi sungai bukan sekadar tempat kosong yang bisa diisi sesuka hati. Ada fungsi ekologis yang harus dijaga: menahan erosi, mengatur aliran air, dan mencegah bencana.

Ketika area ini dilanggar, efek domino bisa terjadi. Erosi meningkat, sungai menyempit, dan daya tahan tanggul melemah.

Namun, menyalahkan sebuah gedung tanpa bukti adalah perkara lain. Mungkin saja tanggul jebol karena faktor lain: usia yang sudah tua, debit air yang terlalu besar, atau perawatan yang kurang. Tapi tetap saja, pertanyaan tentang keberadaan BHC di lokasi itu tidak bisa diabaikan begitu saja.

Bukan Soal Kebijakan

Menariknya, dalam kasus ini, pemerintah daerah seperti absen dari narasi. Sebagian besar kritik lebih fokus pada dampak langsung dan regulasi yang dilanggar.

Tidak ada cerita tentang kebijakan besar yang salah arah atau dugaan konspirasi tingkat tinggi. Mungkin karena ini memang murni soal teknis, bukan politis.

Namun, justru karena itu, masyarakat bertanya-tanya: apakah memang tidak ada yang memperhatikan pembangunan di sempadan sungai ini? Atau mungkin ada celah regulasi yang membuat gedung ini berdiri tanpa hambatan?

Warga yang Jadi Korban

Sementara itu, di bawah bayang-bayang gedung megah, warga di tiga desa yang terdampak banjir harus berjuang memulihkan kehidupan. Sawah yang rusak, rumah yang terendam, dan akses yang terputus menjadi realitas pahit mereka.

Tidak ada yang peduli pada teknis pembangunan ketika banjir menghantam. Yang mereka tahu, tanggul itu seharusnya kokoh.

Dan jika jebol, itu artinya ada yang salah. Mereka tidak butuh argumen panjang soal sempadan sungai, hanya kepastian bahwa bencana ini tidak akan terulang.

Waktunya Bertanya, Bukan Menyalahkan

Daripada saling tunjuk, mungkin ini saatnya semua pihak duduk bersama dan bertanya: bagaimana kita mencegah bencana serupa di masa depan? Karena tanggul jebol bukan hanya soal air bah, tetapi juga soal manajemen ruang yang gagal.

Audit menyeluruh terhadap keberadaan BHC dan proyek-proyek serupa di sempadan sungai adalah langkah awal yang masuk akal. Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk memastikan bahwa semuanya sesuai dengan aturan. Jika ada yang melanggar, pembenahan harus dilakukan tanpa kompromi.

Pengawasan juga harus ditingkatkan, terutama untuk area sensitif seperti tepi sungai. Tanpa pengawasan yang ketat, regulasi hanya akan menjadi dokumen tanpa makna.

Pelajaran dari Air Bah

Tanggul jebol ini bukan hanya peristiwa banjir biasa. Ia adalah pengingat bahwa tata ruang bukan sekadar teori di atas kertas. Ada konsekuensi nyata ketika ruang tidak dikelola dengan baik.

Dan bagi BHC, mungkin ini saatnya untuk membuktikan bahwa keberadaannya di tepi sungai tidak membawa dampak buruk. Karena gedung megah hanya akan menjadi monumen ironis jika ternyata ia berdiri di atas fondasi masalah lingkungan.

Pada akhirnya, pertanyaan utama tetap sama: apa yang bisa kita lakukan agar air bah tidak lagi mengetuk pintu rumah kita? Atau, lebih spesifik lagi, pintu rumah sakit megah di tepi sungai itu?

Jika kita terus mengabaikan peringatan ini, jangan heran jika suatu saat nanti kita akan menyesali “pembangunan” yang justru menghancurkan kita. Toh, seperti kata pepatah:

“Manusia sering kali baru sadar setelah bencana mengetuk pintu rumah sendiri!”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *