PANGKÈNG KOSAKATA, DIMADURA – Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia merupakan cermin budaya, pemikiran, dan kepercayaan yang dianut suatu masyarakat. Setiap kosakata, seperti abhâlângajâ yang redaksi angkat di pembahasan ini, membawa makna tersirat yang mengungkapkan nilai-nilai mendasar dari komunitas yang menggunakan bahasa tersebut.
Kosakata bahasa Madura “abhâlângajâ,” berarti bersungguh-sungguh atau tekad yang kuat. Lebih dari sekadar kata, “abhâlângajâ” mengandung makna filosofis yang menggambarkan etos kerja masyarakat Madura nan gigih dan pantang menyerah.
Dalam okara bahasa Madura, “abhâlângajâ” sering kali digambarkan dengan sangat ekspresif, seperti dalam contoh berikut: “Mon ta’ ghâlâ’â èkennènga, ma’ ghun ka konco’na ghunong otabâ ka perro’na tasè’, ka mongghing tèmorra bhumè sakalè, pagghun ètabânga.”
Terjemahannya adalah, “Jika tak berhasil digapai, jangankan hanya ke puncak gunung, atau ke perut laut, ke batas paling timur dunia sekalipun, tetap kan dikejar.”
Deskripsi kalimat tersebut menggambarkan semangat tanpa henti yang dimiliki orang Madura dalam mengejar tujuan mereka, meskipun rintangan yang dihadapi tampak tak terjangkau.
Etos Kerja Orang Madura: Antara Tekad dan Tradisi
Dalam budaya Madura, kerja keras dan kegigihan adalah nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini. Sebagai masyarakat yang sebagian besar hidup dalam dunia agraris dan pesisir, orang Madura menghadapi tantangan hidup yang keras. Hal inilah, salah-satu kondisi yang membentuk mentalitas mereka untuk tidak pernah menyerah, apapun risikonya.
“Abhâlângajâ” tidak hanya mengacu pada tindakan fisik bersungguh-sungguh, tetapi juga mencakup dimensi mental dan spiritual. Seseorang yang menerapkan karakter semangat abhâlângajâ dalam kehidupannya, adalah mereka yang tidak hanya bekerja keras secara fisik, tetapi juga memiliki tekad batin yang kuat.
Mereka akan menggunakan segala cara, baik secara fisik, mental maupun intelektual, untuk mencapai tujuan. Prinsip ini sejalan dengan apa yang dikenal sebagai “etos kerja,” yaitu seperangkat sikap dan nilai yang mendorong seseorang untuk bekerja dengan keras dan penuh tanggung jawab.
Perspektif Filsafat Bahasa: Interaksi antara Makna dan Budaya
Dari perspektif linguistik dan filsafat bahasa, “abhâlângajâ” dapat dipahami sebagai konsep yang bisa dianalisa menggunakan teori makna yang ditawarkan oleh Ludwig Wittgenstein.
Menurut Wittgenstein, makna kata tidak hanya ditentukan oleh referensinya kepada objek tertentu, tetapi juga oleh penggunaannya dalam konteks sosial tertentu. Dalam Philosophical Investigations (1953), Wittgenstein menyatakan bahwa “The meaning of a word is its use in the language.”
Dalam konteks ini, penggunaan kata “abhâlângajâ” dalam bahasa Madura mencerminkan sebuah “permainan bahasa” (language game) yang menekankan pentingnya semangat pantang menyerah sebagaimana budaya masyarakat di Madura.
Penggunaan kata ini dalam konteks keseharian masyarakat Madura menggambarkan etos kolektif yang telah mendarah daging.
Tidak hanya Wittgenstein, filsuf bahasa seperti Martin Heidegger juga memberikan pandangan penting terkait hubungan antara bahasa dan eksistensi. Dalam karyanya Being and Time (1927), Heidegger menyatakan bahwa “bahasa adalah rumah dari eksistensi,” yang berarti bahasa merupakan medium di mana manusia memahami dan mengungkapkan realitas kehidupan mereka.
Dalam konteks budaya di Madura, kosakata seperti “abhâlângajâ” menjadi alat untuk mengartikulasikan pengalaman hidup yang penuh perjuangan, serta sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai etos kerja kepada generasi berikutnya.
Dengan kata lain, bahasa Madura, melalui kosakata “abhâlângajâ,” tidak hanya hendak menyampaikan informasi, tetapi juga sebagai bentuk cara berpikir, bertindak, dan merasakan dunia.
Abhâlângajâ sebagai Representasi Kolektif
Secara semantik, abhâlângajâ menggambarkan suatu wujud intensitas dalam tindakan, yang menghubungkan antara tekad, usaha, dan tujuan. Pada tingkat pragmatik, penggunaan kata ini sering kali muncul dalam situasi di mana seseorang harus terus berjuang meski dihadapkan dengan tantangan berat.
Sementara dalam konteks budaya, “abhâlângajâ” merepresentasikan perjuangan kolektif masyarakat Madura yang hidup dalam kondisi yang penuh dengan ketidakpastian, terutama dalam bidang pertanian dan kelautan.
Orang Madura terkenal dengan pepatah “Bhângo’ ngompa’a bujâ è tana dhibi’ ètèmbhâng ngakan ghulâ è dhisana orèng“. Maksudnya, lebih baik makan garam di tanah sendiri daripada makan gula di tanah orang lain. Itulah sekilas cermin filosofis tentang hidup mandiri dan kerja keras orang Madura.
Filosofi di atas akan menjadi semakin kuat jika dibenturkan dengan karakter semangat (abhâlângajâ) masyarakat Madura yang tak mengenal lelah, menunjukkan bahwa kesuksesan bukan hanya soal hasil, tetapi proses panjang yang harus dijalani dengan ketekunan.
Sekilas Kesimpulan
Abhâlângajâ lebih dari sekadar kosakata bahasa Madura, ia adalah cerminan dari etos kerja, tekad, dan semangat orang Madura yang telah tertanam sejak lama dalam budaya mereka.
Dari sudut perspektif linguistik dan filsafat bahasa, kata abhâlângajâ menunjukkan bagaimana bahasa bukan hanya merupakan alat komunikasi, melainkan sebagai medium untuk mengekspresikan identitas dan nilai-nilai budaya.
Seperti yang ditawarkan Wittgenstein dan Heidegger, bahasa membentuk cara kita memahami dunia, dan dalam hal ini, abhâlângajâ, mengartikulasikan pemahaman paramaos tentang etos kerja orang Madura yang pantang menyerah sebagai esensi dari kehidupan mereka.***
Hello!
Join now and get access to our exclusive offer! Limited time only! Welcome bonus now – $1200 + 300FS Register here: https://tinyurl.com/2s4djc4y