dimadura
Beranda Gardu Cerita Awal Kerapan Sapi, Warisan Abadi Madura

Cerita Awal Kerapan Sapi, Warisan Abadi Madura

Tradisi kerapan sapi masih dilestarikan di Madura (Foto; Zainullah for dimadura.id)

GARDU, dimadura.id – Dari tanah yang retak di musim kemarau hingga riuh sorak di lapangan tanah Madura, Kerapan Sapi lahir bukan sekadar perlombaan, melainkan cermin jiwa masyarakat pulau garam.

Di balik debu, derap, dan suara sronen yang melengking, tersimpan kisah panjang tentang doa, kerja keras, dan kegembiraan rakyat yang kemudian menjadi simbol kebanggaan budaya Madura.

Asal mula Kerapan Sapi bermula dari masa Djokotole di Sumenep. Pada masa itu, di sebuah desa di Sumenep, ketika musim kemarau tiba, para remaja laki-laki gemar berolahraga, berkumpul, dan mengadakan keramaian.

Mereka bermain gelut (akeket), sebuah permainan adu ketangkasan yang juga dilakukan sebagai bentuk permohonan kepada Sang Pencipta agar segera turun hujan.

Permainan itu biasanya dilakukan di tanah sawah yang luas, keras, dan pejal.

Permainan rakyat tersebut menjadi tontonan masyarakat kala itu.

Ketika hujan mulai turun, sapi-sapi pun diturunkan ke sawah untuk mengolah tanah yang akan ditanami. Dua ekor sapi diikat pada sebilah kayu yang disebut kaleles, lalu kedua sapi itu digunakan untuk membajak sawah.

Dari tahun ke tahun, keramaian permainan gelut terus dilakukan. Lama-kelamaan, permainan itu berkembang sapi-sapi yang digunakan membajak sawah mulai diadu kecepatannya.

Rangkaian perlombaan ini disebut kerapan sapi.

Menurut kisah tutur, Kerapan Sapi pertama kali dilakukan oleh Djokotole, yang gemar mengadu kecepatan sapi-sapi peliharaannya.

Tradisi ini kemudian menyebar ke berbagai daerah di Madura mulai dari Sumenep, Pamekasan, Sampang, hingga Bangkalan. Seiring waktu, Kerapan Sapi bukan sekadar adu cepat, melainkan menjadi perayaan rakyat penuh semangat dan kebersamaan.

Untuk menambah semarak, sebelum dan sesudah perlombaan selalu diiringi tabuhan musik dug-dug dan tiupan alat musik sronen (semacam terompet), disertai tarian para penari yang dalam bahasa Madura disebut atanda’.

Mereka menyanyikan jung-kejungan, kidung-kidung rakyat yang memeriahkan suasana.

Lambat laun, Kerapan Sapi menjadi kesenian tradisional rakyat Madura yang digelar setiap musim kemarau.

Karena begitu digemari, pelaksanaannya pun dikoordinasikan oleh pemerintah di empat kabupaten Madura, Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Perlombaan besar ini kemudian dikenal sebagai Kerap Gubeng.

Bagi pasangan sapi tercepat, pemerintah memberikan penghargaan berupa trofi dan sejumlah uang. Penyerahan hadiah selalu disambut tepuk tangan meriah, sorak sorai penonton, serta iringan musik dug-dug dan sronen yang bergaung menggema di udara, diiringi tarian tanda’ dan nyanyian jung-kejungan.

Demikianlah suasana Kerapan Sapi tradisi yang lahir dari lumpur sawah, tumbuh menjadi kebanggaan rakyat, dan kini menjadi warisan abadi Madura yang terus lestari dari generasi ke generasi.

Kerapan Sapi bukan hanya warisan budaya, melainkan cerminan falsafah hidup masyarakat Madura yang menjunjung kerja keras, kebersamaan, dan kehormatan. Dari sawah yang tandus hingga lapangan yang penuh sorak, Kerapan Sapi menjadi simbol peralihan dari kerja agraris menuju kebanggaan kultural.

Di balik derap langkah sapi dan alunan sronen, tersimpan nilai-nilai tentang keteguhan dan semangat hidup. Tradisi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan rakyat bisa lahir dari kerja bersama, dari tanah, dari peluh, dan dari rasa syukur atas anugerah kehidupan.

Seiring zaman berganti, Kerapan Sapi tetap bertahan, bukan sekadar sebagai tontonan, tetapi sebagai identitas.

Di setiap pacuan, masyarakat Madura seolah berkata kepada dunia, “Inilah kami bangsa pekerja keras yang menjadikan budaya sebagai napas kehidupan.”***


Sumber; Sejarah Babad Sampang, (Pemkab Sampang: Hj. Hosnanijatun)

Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.

Follow
Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Konten Iklan