BudayaEsaiOkaraTareka

Valentine’s Day: Antara Cinta dan Pemaknaannya

Avatar Of Dimadura
397
×

Valentine’s Day: Antara Cinta dan Pemaknaannya

Sebarkan artikel ini

Esai: A’yat Khalili

Esai A'Yat Khalili | Valentine’s Day: Antara Cinta Dan Pemaknaannya (Cover: Mazdon/Doc. Dimadura)
Esai A'yat Khalili | Valentine’s Day: Antara Cinta dan Pemaknaannya (Cover: Mazdon/Doc. Dimadura)

Ketika ada yang bertanya tentang cinta,
Apakah sungguh yang dibutuhkan adalah kemewahan kata-kata,
Atau cukup ketidaksempurnaan kita?


Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1ESAI, DIMADURA — Demikian bunyi akhir bait puisi Aan Mansyur dalam puisi Ketika Ada yang Bertanya tentang Cinta, sebuah lirik dalam melukiskan isyarat pemahaman cinta, bahwa kebermaknaan hanya bisa dicapai oleh kesadaran setiap orang untuk kemudian memutuskan hidup bersama sebagai pasangan dalam berbagi kekurangan dan kelemahan.

Tampilkan Bisnis Anda di Sini | SCROLL ...
Kirim Karya Bahasa Madura
Contact Me at: 082333811209

Cinta tidak membutuhkan kemewahaan kata-kata, tetapi ia butuh hati yang lapang untuk menerima kekurangan. Ia butuh perhatian, kepedulian, kepekaan dan rasa sayang yang tergambarkan dalam banyak momen, suasana dan kondisi yang saling berbagi dan memahami.

Kebutuhan terhadap rasa memiliki adalah sesuatu yang mutlak, dan perhatian terhadap kekasih bisa berwujud apa saja untuk menyenangkan hatinya, bisa berwujud ucapan, bunga atau bahkan surat cinta. Suasana inilah yang banyak dibangun oleh pasangan di hari kasih sayang bernama Valentine Day, sebuah hari untuk merayakan kasih sayang, mengekspresikan cinta dan kebahagiaan hidup bersama.

Meski cinta tidak membutuhkan kemewahan kata-kata, tetapi tetap butuh sebuah momen untuk dirayakan. Cinta tidak bisa berjalan seperti air mengalir, ia memerlukan lambang, gambaran, simbol dan momen sebagai sebuah aktualisasi keharmonisan dan keromantisan. Dalam standar ini, Valentine Day menjadi ruang representatif atas berbagai sukacita tersebut. Hanya saja terkait kontekstualisasinya, ia selalu hadir dalam pro dan kontra yang muncul dalam ragam perspektif. Dalam hal ini, penulis sedikit berbagi opini.

Hari Valentine Day, bisa diartikan sebagai hari aksentuasif bagi momentum kaum muda untuk merayakan hari kasih sayang, tidak hanya Kristen dan Nasrani yang ikut bersemarak, sebagian besar umat Islam juga ikut berpartisipasi demi menyambut tanggal 14 Februari ini. Tahun ke tahun kebiasaan ini telah menjadi semacam budaya konsumtif –yang sepertinya hari ini telah wajib diperingati, bahkan menjadi hari istimewa yang melebihi hari-hari besar Islam dan Hari Nasional (RI), tentu saja bagi kaum muda untuk dijadikan momen mesra dan romantis. Berbagai kritik, imbauan dan larangan untuk merayakannya tidak juga bisa memberi efek pencerahan dan meredam gejolak, tidak peduli bagaimana dasar sejarah dan asal-usul berkembang dan terus dipertahankan sampai sekarang.

Sebenarnya ironis, jika melihat kenyataan Hari Besar Islam dan Hari Nasional menjadi asing dan dikalahkan Valentine, yang sama sekali tidak mempunyai keterkaitan jelas dengan kehidupan individu sebagai bangsa luhur yang taat beribadah dan memiliki nilai-nilai kearifan sosial, hingga lebih mengetahui hari kasih sayang yang sampai sekarang masih belum jelas akar sejarahnya, selain hanya cerita roman turun-temurun.

Valentine’s Day memiliki akar sejarah yang terbingkai dalam banyak versi, antara lain, merujuk pada kisah cinta romantis Santo Valentinus terhadap Putri Sipir penjara pada abad ke-14 di Perancis dan Inggris, tempat ia dihukum karena melanggar hukum militer dan mengawinkan banyak pasangan yang dilarang dalam sistem kerajaan kala itu. Sebelum dieksekusi Valentinus pada tanggal 14 Februari, menulis sebuah surat untuk kekasihnya dengan pernyataan cinta “From your Valentine”. Berlatar dari sejarah Santo, orang-orang yang percaya cinta dan perjuangan kesuciannya akhirnya merayakan hari Valentinus sebagai pejuang cinta, sementara kaisar Claudius dikenang sebagai raja pengenyah cinta karena melarang hubungan berpasangan.

Dalam tarikh Athena Kuno, sebelum zaman kekristenan, masyarakat Yunani dan Romawi beragama paganisme, menyembah banyak Tuhan atau disebut paganis-polytheisme. Dalam tradisi mereka terdapat adanya persembahan suci atas pesta untuk merayakan pernikahan Zeuz dan Hera –orang tua Hercules. Sementara dalam Romawi Kuno (sekitar abad ke-3), periode pertengahan bulan ini disebut bulan gamelion, sebuah hari peringatan untuk dewa Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing, untuk memperingatinya mereka mempersembahkan korban kambing kepada dewa dan minum anggur sepanjang jalan.

Dalam ensiklopedi Katolik, 14 Februari merujuk untuk memperingati hari seorang martir atau santo (orang suci), Pastor Roma, uskup Interamna, dan martir Romawi Afrika, yang sebagian ceritanya didasarkan kepada seorang pendeta yang berani menentang Raja Claudius II, dengan menyatakan Yesus adalah Tuhan dan menolak menyembah dewa-dewa Romawi, sehingga dibunuh dan kematiaanya oleh gereja dianggap sebagai orang suci yang perlu diperingati.

Berbagai versi sejarah yang berbeda-beda itu mengarah kepada adat-budaya Romawi Kuno, jauh sebelum invasi militer Roma dan peristiwa penyebaran Ajaran Kristen secara besar-besaran ke wilayah Eropa. Melihat sulitnya ajaran itu diterima, Paus Gelasius Ipada (469M) untuk menarik perhatian jemaat (baca: jamaah) ke Gereja, mencoba mengadopsi perayaan paganisme dengan kemasan kekristenan dengan mengubah upacara Roma Kuno “Lupercelia” menjadi Saint Valentine’s Day, sampai usaha Gelasius itu pun tercapai dalam mencampur-adukkan budaya setempat dengan Ajaran Agama Kristen yang diresmikan pada 14 Februari 498 M. Meski dalam perkembangannya, Gereja Katolik tidak pernah mengakui bukti-bukti akan kebenarannya, karena menyangkut banyaknya cerita-cerita yang berbeda versi.

Latar sejarah Valentine, barangkali jauh dari pengetahuan umum yang berkembang, sehingga 14 Februari yang kita sambut selalu menjadi tren hari istimewa dalam menunjukkan dan membuktikan rasa cinta dengan berbagai notasi-notasi kasih sayang, baik mulai ungkapan “Love” kepada kekasih atau memberikan sesuatu yang berharga miliknya. Padahal menyadari dasar kata “kasih sayang” dalam bahasa Inggris diartikan dengan “affection”: kesayangan, sayang, kasih, kasih sayang dan cinta. Sebagai contoh dalam kalimat, “the boy has great affection for his mother. Berbeda dengan kata “love” yang bermakna ganda atau punya konotasi cinta, asmara, kecintaan, pacar, kekasih, hasrat. Yang dilihat dari analisis psikolinguistik praktisnya selalu berbelot, secara tidak langsung dan tanpa disadari ketika seorang mengucapkan “love” kepada pujaan hatinya, selalu mengarah kepada kenikmatan kasih yang standarnya bermuara pada kenikmatan biologis dan hasrat seksual berupa sentuhan, perabaan dan perasaan alamiah. Dengan kata lain, Valentine’s Day membawa kebiasaan bertukar kesetiaan antara pasangan kekasih untuk melakukan apa pun dan pengorbanan apa pun –sekalipun itu telah dilarang dan merupakan pengingkaran terhadap nilai-nilai dan norma sosial –demi orang yang dicintai, hanya demi sekadar merayakan dan menyatakan hari kasih sayang.

Barangkali memang bukan sejarah yang salah, tetapi perjalanan dan praktik perayaannya yang bermasalah.

Dalam sebuah artikel berjudul “Should Bilblical Christians Observe It?”, Ken Sweinger menulis mengenai dasar kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin, yang berarti Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat, Yang Maha Kuasa sebagai ungkapan dalam memuja Tuhan Orang Romawi, Nimrod dan Lupercus. Atas dasar pemahaman ini dalam pandangan kontradiktif, seorang yang mengucapkan “to be my valentine atau selamat hari valentine” kepada kekasih yang dipuja dan dicintainya, bisa dikatakan syirik atau musyrik dalam Agama Islam, jika memang mengarah terhadap peristiwa pemujaan Tuhan Romawi, dengan kelaziman penilaian telah menciderai nilai-nilai akidah hanya untuk menghamba dan mematuhi ajaran sendiri semata, yang sepatutnya menjadi satu-satunya dasar pengakuan penghambaannya. Tetapi, kita hanya manusia, dan manusia punya ragam sejarah untuk dipelajari dan diilhami adanya. Dan manusia juga membutuhkan sebuah momen untuk merayakan kebahagiaannya, memberi bunga dan mengucapkan sayang kepada orang yang dicintainya. Karena itu, sekali lagi, barangkali bukan sejarah yang salah, tetapi kita saja dalam memahami dan mempraktikkannya.

Jakarta Barat, 14 Februari 2025


A'Yat Khalili | Valentine’s Day: Antara Cinta Dan Pemaknaannya (Foto: Doc. Dimadura)A’yat Khalili, menulis fiksi dan nonfiksi. Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media nasional, juga pernah mendapat penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud sebagai juara 2 lomba karya sastra dalam Bulan Bahasa dan Sastra 2006, juga penghargaan Asia Tenggara Nusantara Melayu Raya di Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur 2014, juga penghargaan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Yayasan Hari Puisi 2019. Pada tahun 2019, menjadi pembicara di Borobudur Writers & Cultural Festival, bertajuk Alam dan Sastra (22-23 November), juga diundang PPI United Kingdom bekerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia London sebagai pembicara The Development of Bahasa Indonesia in Foreign Countries: Proposing Bahasa Indonesia as one of The International Languages (13-14 Agustus 2021). Sekarang, sedang mengelola Rumah Membaca Indonesia (RMI). Komunikasi dengan melalui: khalili.telentean.longos@gmail.com (Email) dan iamaykh (Instagram).

Gambar Buku Ilustrasi Saloka Kona Ban Parebasan Madura (Doc. Dimadura)
Pangkèng

PANGKÈNG SASTRA, DIMADURA – Badan kaula aromasa ja’ banget parlona saloka tor parebasan Madura paneka nojju kasampornaan masalah pandhidhigan e nagara Indonesia, langkong-langkong e Songennep Madura. Mela gapaneka, arassa barenteng…