Oleh: Moh. Rasul Junaidy
Menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2024, sorotan publik dan aktivitas politik semakin intensif. Namun, di Kabupaten Sumenep, muncul fenomena yang sangat mengkhawatirkan: kotak kosong.
Fenomena ini mengacu pada situasi di mana pemilihan kepala daerah hanya dihadapi oleh satu pasangan calon, menghapuskan kompetisi politik yang sehat dan menunjukkan pengikisan mendalam terhadap kualitas demokrasi.
Secara ketatanegaraan, apabila Pilkada Sumenep terpaksa diikuti oleh kotak kosong, maka demokrasi akan mengalami kemunduran.
Dalam kasus seperti ini, jika calon tunggal memenangkan Pilkada, kemenangan tersebut tidak dihasilkan dari persaingan yang sehat dan adil. Sebaliknya, jika kotak kosong yang memenangkan pemilihan, maka Sumenep akan dipimpin oleh pejabat yang ”krisis legitimasi” dari masyarakatnya.
John Keane, profesor ilmu politik dari Universitas Sydney, dalam karyanya ”The New Despotism” (2020), memperkenalkan konsep “despotisme baru” untuk menjelaskan bentuk kekuasaan yang muncul di abad ke-21.
“
Keane menjelaskan bahwa despotisme baru berbeda dari tirani klasik.
“
Ia tidak melibatkan penghapusan total elemen-elemen demokrasi, tetapi lebih pada manipulasi sistem politik dan institusi untuk memperkuat kontrol tanpa melanggar norma-norma demokratis secara terang-terangan. Fenomena kotak kosong, dalam hal ini, bisa dianggap sebagai manifestasi dari despotisme baru di mana kekuasaan dipertahankan dan diperluas melalui manipulasi sistem politik.
Dalam konteks Pilkada, fenomena kotak kosong adalah bagian dari strategi despotisme baru, di mana kompetisi politik yang sehat ditekan dan kekuasaan dipertahankan melalui manipulasi. Situasi ini mencerminkan kegagalan sistem demokrasi dalam menyediakan pilihan yang beragam bagi pemilih. Fenomena kotak kosong menunjukkan bagaimana dominasi partai politik dan kekuatan finansial dapat mengendalikan proses pemilihan.
Calon tunggal yang didukung oleh koalisi partai politik yang kuat seringkali adalah tokoh dengan dukungan finansial besar, sementara calon lain yang mungkin lebih potensial terabaikan karena kekurangan sumber daya.
Maos Jhughân
Dampak dari fenomena ini sangat signifikan. Dengan hanya satu calon yang diusung, kualitas kompetisi politik menurun, partisipasi pemilih berkurang, dan kekuatan politik semakin terpusat pada elite. Ini mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi yang seharusnya menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil.
Keane mengidentifikasi bahwa despotisme baru beroperasi melalui mekanisme seperti patronase, manipulasi pemilu, dan kontrol media. Dalam hal ini, fenomena kotak kosong mencerminkan kekuasaan yang dimanipulasi untuk menjaga status quo dan mengurangi tantangan terhadap kekuasaan yang ada. Politisi dapat memanfaatkan situasi ini untuk memenangi Pilkada tanpa menghadapi kompetisi serius, debat sengit, atau kampanye intensif.
Untuk mengatasi dampak negatif dari fenomena kotak kosong, reformasi regulasi pilkada sangat diperlukan. Pembuat undang-undang harus meninjau kembali aturan tentang syarat dukungan partai politik dan calon perseorangan agar semua calon memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. Tanpa langkah-langkah serius ini, risiko pilkada serentak yang didominasi oleh calon tunggal melawan kotak kosong akan terus meningkat, dan demokrasi kita akan semakin mengalami kemunduran.
Selain itu, masyarakat harus tetap waspada dan mendorong reformasi untuk mencegah berkembangnya bibit despotisme baru yang dapat merusak fondasi demokrasi. Penting untuk memastikan bahwa sistem politik dan pemilihan umum tidak hanya berjalan secara prosedural, tetapi juga memberikan ruang untuk kompetisi yang sehat dan partisipasi yang lebih luas.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam buku mereka ”How Democracies Die” (2018), mengingatkan bahwa seringkali demokrasi mati perlahan melalui pengikisan bertahap terhadap norma-norma politik. Fenomena kotak kosong mencerminkan kegagalan sistem demokrasi kita yang seharusnya menyediakan pilihan beragam bagi masyarakat dalam pemilihan umum. Demokrasi harus dipahami bukan hanya sebagai prosedur, tetapi sebagai sistem yang menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil.
Dengan kesadaran dan upaya bersama, diharapkan kita dapat memperbaiki sistem demokrasi dan memastikan kekuasaan dipertahankan melalui partisipasi rakyat yang aktif dan sehat. Jika tidak, ini akan berisiko melihat demokrasi kita mati pelan-pelan, dengan menempatkan masyarakat sebagai korban yang hanya bisa pasrah melihat berkembangnya despotisme baru di daerah. Wallahu a’lam. (*)
Respon (1)