GARDU SEJARAH, DIMADURA – Dalam menjelajahi jejak peninggalan prasejarah di Nusantara, batu-batu purba sering kali menjadi saksi bisu yang menyimpan berbagai cerita dan misteri.
Batu-batu ini, yang dikenal dengan berbagai istilah seperti batu megalitikum, monolit, atau dolmen, memiliki makna yang mendalam dalam kehidupan masyarakat purba.
Megalitikum, misalnya, merujuk pada periode zaman batu besar di mana manusia mulai membuat bangunan besar dari batu yang digunakan untuk berbagai keperluan, baik itu upacara keagamaan, tanda peringatan, atau tempat hunian.
Dolmen adalah jenis batu megalitikum yang biasanya terdiri dari beberapa batu besar yang disusun sebagai penopang dan ditutup dengan batu besar lain di atasnya, sering digunakan sebagai kuburan atau tempat pemujaan. Monolit, di sisi lain, adalah batu tunggal besar yang sering kali diukir atau dibentuk untuk keperluan seremonial.
Penelusuran batu purba ini tidak hanya mengungkapkan kehidupan sehari-hari masyarakat masa lalu, tetapi juga memperlihatkan kepercayaan dan nilai-nilai yang mereka anut.
DIMADURA TERBARU
Salah satu penemuan yang menarik di Sumenep adalah Batu Cenning Kalompek, sebuah batu yang dihubungkan dengan upacara ritual kepercayaan animisme dan dinamisme. Batu ini diduga digunakan sebagai mediasi atau sarana untuk mengusir makhluk jahat dalam kepercayaan masyarakat setempat.
Penemuan Batu Cenning atau Batu Kennong di Lapa Laok, Kecamatan Dungkek, dengan ukuran tinggi 1,5 meter, lebar 1,8 meter, dan tebal 1,2 meter ini masih dalam tahap pelacakan dan pengkajian.
Kendala utama dalam penelitian ini adalah kurangnya pengetahuan lokal tentang onomastikanya, atau studi tentang nama-nama tempat. Namun, analisis onomatopoeia dari bunyi batu yang mirip dengan suara cenning atau kennong kecil memberi petunjuk bahwa batu ini mungkin pernah digunakan dalam upacara-upacara ritual.
Berikut adalah catatan perjalanan Tadjul Arifien R, seorang budayawan Sumenep, dalam upayanya mengungkap misteri Batu Cenning Kalompek.
PENELUSURAN BATU CENNING KALOMPEK
» Tadjul Arifien R – Budayawan Sumenep
Adanya Bâto Cennèng (baca: Bahasa Madura)—kita sebut saja Batu Cenning atau Batu Kennong—di Lapa Laok Kecamatan Dungkek, dengan tinggi 1,5 meter, lebar 1,8 meter, tebal 1,2 meter, sejenis batu andesit, saat ini masih dalam pelacakan dan pengkajian kami.
Kendalanya yakni agak kesulitan mempelajari tentang onomastika-nya. Karena tidak adanya orang tua-tua lokal yang paham tentang topomini di lokasi tersebut.
Hanya dari sisi onomatopenya bisa dikaji, yakni dengan adanya bunyi yang hampir sama dengan suara cenning atau kennong kecil saat batu tersebut ditabuh menggunakan batu karang kecil.
Berdasarkan literatur yang ada, batu tersebut diduga merupakan salah satu mediasi atau sarana pengusir makhluk jahat dalam upacara ritual kepercayaan animisme dan dinamisme.
Dilihat dari beberapa obyek dan nama lokasi serta benda-benda yang ada di sekitarnya, sepertinya ada beberapa petunjuk bahwa di lokasi sekitar batu cenning ini merupakan hunian pada masa prasejarah.
Mengingat adanya batu-batu sisa prasejarah atau purbakala (megalitikum) yang berserakan di pulau Sepudi dan Dungkek, dimana bentuknya sama dengan batu purba yang ada di Bondowoso, Probolinggo, Situbondo, Banyuwangi, tentunya adalah satu area.
Dalam kitab Kakawin Desawarnana, pupuh 6 Wirama 15 Skharini, ada tulisan Suryasengkala berbunyi Seghoro Manggung Bhumi (Laut Melanda Daratan) yang dalam artiannya mengindikasikan bentuk angka menjadi 4 2 1 atau tahun 124 saka, sama dengan tahun 202 masehi.
Di tahun tersebut ada prahara besar semacam gempa bumi yang sangat dahsyat menimpa Nusantara dimana ketika itu terjadi tsunami besar sehingga Pulau Jawa pecah, dan pecahannya menjadi pulau Madura dan pulau-pulau kecil lainnya.
Batu Cenning tersebut masih dalam penelusuran dan pengkajian, sehingga nantinya akan tersingkap misteri purbakala di Sumenep (daratan). Kita awali dari Bukit Kalompek Kecamatan Dungkek, Sumenep, Madura, Indonesia.
Demikian catatan sementara sejarawan Sumenep, Tadjul Arifien R. Secara sekilas, penelusuran Batu Cenning Kalompek ini telah sedikit membuka tabir sejarah yang terlupakan dari masa lalu, mengingatkan kita pada jejak-jejak prasejarah yang tersebar di Nusantara.
Melalui penelitian ini, kita diajak untuk lebih menghargai dan memahami peninggalan budaya yang menjadi saksi bisu peradaban masa lalu. Meskipun terdapat berbagai kendala, seperti minimnya pengetahuan lokal tentang onomastika, upaya untuk mengungkap makna dan fungsi batu ini terus dilakukan.
Maos Jhughân
Batu Cenning Kalompek bukan hanya sekadar artefak, tetapi juga jendela ke masa lalu yang menawarkan banyak pelajaran berharga. Misteri yang mengelilingi Batu Cenning Kalompek mungkin belum sepenuhnya terungkap, namun setiap langkah dalam penelusuran ini membawa kita lebih dekat pada pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah dan budaya nenek moyang kita.
Dengan dukungan berbagai pihak, termasuk akademisi dan masyarakat lokal, diharapkan penemuan ini dapat memberikan wawasan baru dan memperkaya khazanah sejarah Nusantara. Semoga penelusuran ini bukan hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga inspirasi bagi generasi mendatang untuk terus menjaga dan melestarikan warisan budaya yang ada.***
Respon (1)