KOLOM DIMADURA — Dalam pusaran kasus dugaan skandal Kredit Pemilikan Rumah (KPR) BTN, muncul sosok hantutua yang tak asing bagi kalangan jurnalis dan dunia hukum di Kota Keris.
Ia yang kerap mengklaim diri sebagai “pembela kebenaran” ini adalah bagian dari jaringan peternak media yang dikenal memiliki kedekatan dengan para pemain besar di belakang layar.
Rupanya, hantutua itu tidak ingin ketinggalan momen. Di tengah panasnya sorotan terhadap Kepala BTN Bangkalan, Asep Hendrisman, dan Humas BTN Pusat—yang tak tanggung-tanggung mengaku mantan wartawan ekonomi dari media nasional seperti SINDONews—ia mulai memainkan perannya.
Namun, bukan untuk membela kepentingan publik atau mengungkap kebenaran, melainkan untuk memburu peluang meraup keuntungan dari kekacauan ini. Salah satu caranya adalah dengan melontarkan komentar di media ternaknya, berharap mendapatkan perhatian dari mereka yang berkepentingan dalam krisis ini.
Seolah menghidupkan drama baru, ia menyelinap masuk ke tengah-tengah pusaran kasus ini, mencoba menarik perhatian dengan manuver kecilnya. Dalam bayangannya, perannya yang terkesan berani bisa mengantarkannya mendekat pada pimpinan BTN. Diduga tak lain tujuannya, adalah untuk memburu receh, atau setidaknya, memperoleh sepotong kue dari krisis yang melibatkan nama besar. Baginya, semakin besar sorotan media, semakin besar pula peluang untuk mendapatkan perhatian dan, tentu saja, sejumlah dolar instan.
Namun, bagi para jurnalis yang telah mencurahkan keringat mengawal kasus ini, kehadiran si hantutua tak lebih dari gelitik belaka. Di kalangan jurnalis, ia tampak seperti pemain kecil yang berusaha keras mengambil bagian di antara celah-celah kuasa. Mereka yang sungguh-sungguh ingin mengungkap kebenaran justru melihatnya sebagai sosok yang hanya memperburuk keadaan.
Kasus dugaan skandal KPR BTN ini memang tak sederhana. Nama-nama besar terlibat, dan akar masalahnya menyebar dari cabang hingga pusat.
Bagi wartawan yang berkomitmen pada tugas jurnalistik mereka, kasus ini bukan hanya soal mengejar berita, melainkan mengungkap praktik busuk yang merugikan masyarakat luas. Tapi bagi si hantutua, ini adalah kesempatan untuk menaikkan posisi tawar. Ia berharap bisa mendapatkan secuil keuntungan dari kekacauan yang terjadi, seperti peternak media yang memang selalu mampu membangun kekayaan dari krisis.
Sosok hantu gadungan itu hadir dengan gaya khasnya. Ia menggunakan media ternakannya untuk menyebar narasi yang samar, seolah mencoba memberikan peran yang tampak penting dalam menyelesaikan skandal. Padahal, ia hanya berusaha mendapatkan simpati dan perhatian dari pihak-pihak yang terlibat. Narasi yang ia lemparkan tidak lebih dari celotehan kosong tak berdasar. Dengan nada serius, ia kerap mengklaim ingin mengungkap kebenaran, namun di balik layar, ia tak lebih dari sosok oportunis yang mencari untung.
Di sisi lain, para jurnalis tetap teguh menjalankan perannya sebagai pengawal sosial. Mereka bekerja keras menggali fakta, memastikan setiap detail kasus KPR BTN terungkap dengan akurat dan transparan. Dalam bayangan si hantutua, tentu saja, jurnalis-jurnalis ini hanyalah pion-pion kecil yang bisa dipengaruhi. Namun, fakta mengatakan sebaliknya. Wartawan-wartawan yang terlibat dalam pengungkapan skandal ini adalah mereka yang tak mudah digoyahkan oleh kepentingan politik atau janji manis.
Ketika si hantutua itu sibuk mengatur strategi demi mencuri perhatian melalui media ternaknya, para jurnalis terus menggali lebih dalam. Mereka memastikan agar publik mendapatkan informasi yang seimbang dan tidak terdistorsi oleh permainan kekuasaan. Mereka mengungkap bagaimana skandal ini melibatkan para pejabat BTN dari berbagai tingkatan, termasuk mereka yang memiliki pengaruh besar di pusat. Dengan terus menyingkap celah-celah penyalahgunaan wewenang, jurnalis ini menjaga agar masyarakat tetap mendapat hak untuk tahu. Ini adalah tugas mulia yang tidak akan pernah dilupakan.
Ironisnya, si hantutua itu tak pernah benar-benar peduli dengan kebenaran. Ia hanya berfokus pada satu hal: bagaimana cara mendapatkan keuntungan instans di tengah keruwetan kasus ini. Sementara wartawan bertarung demi kebenaran, ia malah berusaha menggapai pundi-pundi yang ia harap datang dengan sendirinya. Melalui celotehannya, ia berharap suatu saat ada tangan-tangan kekuasaan yang tertarik untuk membayarnya demi sebuah peran dalam drama skandal KPR ini.
Namun, seperti pepatah mengatakan, “kebenaran akan selalu terungkap.” Pada akhirnya, ketika semua manuvernya itu tak berhasil, skandal ini akan sampai pada titik terang. Wartawan yang berkomitmen untuk menjaga independensi dan integritasnya akan terus diingat sebagai pilar yang menjaga kebenaran. Mereka yang hanya bermain di antara bayang-bayang kekuasaan akan tenggelam bersama waktu. Mereka mungkin pernah hadir, namun tak akan meninggalkan kesan apa pun selain sebagai figuran dalam drama besar yang mereka coba kendalikan.
Hantutua mungkin akan diingat bukan sebagai tokoh utama dalam penyelesaian skandal, melainkan sebagai sosok yang oportunis dan pragmatis. Ujung-ujungnya, ia hanya seorang pemburu dolar yang terobsesi pada keuntungan instan, terjebak dalam mimpinya sendiri. Pada saat krisis ini mereda, ia akan kembali lenyap ke dalam ketidakjelasan, sementara para jurnalis akan tetap berdiri tegak sebagai penegak keadilan dan penjaga kebenaran.
Ini adalah kisah tentang bagaimana ketulusan, integritas, dan kebenaran akan selalu memenangkan pertempuran, sedangkan mereka yang hanya mengejar keuntungan pribadi, akan memudar dan dilupakan. Jurnalis yang berjuang akan terus hidup dalam ingatan masyarakat, sementara hantutua pemburu semut itu akan hilang tanpa jejak.***