“
Situs Purbakala Berupa Batu Cennèng di Bukit Kalompek, Melengkapi Cagar Budaya di Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur
“
GARDU SEJARAH — Catatan ini bermula dari percakapan di media perpesanan WhatsApp antara jurnalis dimadura.id dengan salah seorang budayawan yang tengah mengemban tugas sebagai Ketua TACB (Tim Ahli Cagar Budaya) Sumenep, Tadjul Arifien R, mengenai artefak dan situs bersejarah yang berada di bekas lokasi destinasi wisata Bukit Kalompek.
Wisata Bukit Kalompek yang sempat viral pada tahun 2018/2019 silam itu menyisakan rasa penasaran kami; bahwa di sana, ada banyak makam bangsa Cina Tionghoa, yang disinyalir sebagai asal muasal penyebaran agama Islam di daerah timur Pulau Madura.
Rasa penasaran itu muncul karena di area bekas wisata Bukit Kalompek yang berlokasi di 23HW+Q8V, Dusun Buddi, Lapa Laok, Kec. Dungkek, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur (69474), terdapat batu unik yang dikenal dengan nama Batu Cennèng.
Sementara saat kami melacak di mesin penelusuran Google, tidak ditemukan satu pun unggahan yang menyajikan foto tersebut. Merasa eman dan penasaran, akhirnya, Tadjul Arifien mengajak teman karibnya, Moh Saleh, SH (Anggota TACB Sumenep) untuk berkunjung ke lokasi bekas destinasi wisata itu.
Ajak Pak D Zawawi Imron
Kami merasa, kurang lengkap kiranya kalau tidak mengajak budayawan yang sekaligus sastrawan nasional kelahiran Sumenep, D Zawawi Imron.
Sepakat, kami pun berangkat dan mampir di kediaman Pak De, sapaan akrab D Zawawi Imron, yang berlokasi tepat di utara jalan sebelah timur Lembaga Pendidikan Miftahul Ulum Batang-Batang.
Bercakap sebentar sambil bernostalgia tentang masa kanak antar para sesepuh itu, kita lalu lanjut beranjak menuju kantor Kecamatan Dungkek. Di sana, kita disambut hangat oleh jajaran pemerintah setempat, termasuk Camat Dungkek, Arif Hidayat.
Inisiatif untuk mampir bertamu ke Camat Dungkek ini adalah ide Pak De. “Sudahlah jangan tanya kenapa kita mau mampir ke Camat Dungkek, yang penting kita ketemu dulu di kantornya,” ujar Pak De, dan kita pun segera berangkat.
Pak De Baca Puisi “Dzikir”
“Puisi saya sudah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, dan di antara puisi yang oleh orang Belanda sulit diterjemahkan adalah puisi saya yang berjudul “Zikir”, mereka merasa kesulitan untuk menemukan padanan kata yang pas untuk zikir,” ungkap penyair kelahiran Kampung Seddung, Batang-Batang tahun 1941 itu.
Sekadar diketahui, menurut sejarah lisan masyarakat setempat, nama Kampung Seddung, tempat kelahiran H.D. Zawawi Imron, terinspirasi dengan kata ‘dungset‘, yakni tongkat Pangeran Jokotole yang konon katanya ditancapkan ke tanah Kampung Seddung hingga muncar sumber mata air.
Lanjut! Selama perjalanan, di dalam mobil, D Zawawi Imron mendeklamasikan puisi ciptaannya itu sambil menikmati laju Calya M 1443 HK warna putih, dari Pasar Candi ke arah kantor Kecamatan Dungkek.
“Zikir”
Alif
Alif
AlifAlifmu pedang di tanganku
Susuk di dagingku, kompas di hatiku
Alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belutHilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan terang hingga aku berkesiur pada angin kecil takdir-Mu
Hompimpah hidupku,
Hompimpah matiku,
Hompimpah nasibku,
Hompimpah,
Hompimpah,
Hompimpah!Kugali hatiku dengan linggis alifmu
Hingga lahir mataair, jadi sumur, jadi sungai,
Jadi laut, jadi samudra dengan sejuta gelombang
Mengerang menyebut alifmuAlif
Alif
AlifAlifmu yang Satu
Tegak dimana-mana1980
Tiba di Kantor Kecamatan Dungkek
Tiba di kantor Kecamatan Dungkek, kami menjalin silaturrahmi dan bincang panjang lebar tentang maksud kedatangan kami. Setengah jam kita ngobrol.
“Pak Camat tahu nggak, di sini (Dungkek, red.), selain situs-situs bersejarah di area Bukit Kalompek, ada situs tua berupa pagar batu berlubang. Kalau nggak salah itu namanya Ghuwalâ Labâng. Di sisi batu tersebut ada musala tua, ada juga sumber mata airnya, kapan-kapan kita ke sana,” ungkap Pak De.
Camat Arif hanya mengangguk dan menyimak. “Nah, sekarang kita mau ini, mau ngantar Dek Tadjul ini, katanya mau lihat Batu Cennèng, dan kalau memungkinkan, kita juga mau ke lokasi yang diduga merupakan Karaton Pangeran Jokotole, itu ada di bawah lokasi Bujuk Keramat,” imbuh Pak De.
Kebetulan, waktu itu Camat Arif tengah sibuk mempersiapkan acara. Jadi, singkat cerita, Camat Arif lalu menugaskan sejumlah jajarannya untuk mengantarkan kita ke lokasi Batu Cennèng Bukit Kalompek.
Jalan ke Bukit Kalompek
Perjalanan menuju puncak Bukit Kalompek cukup mengasyikkan. Kita meniti jalan sempit menanjak di antara semak belukar, sambil menikmati luas laut Jawa nan indah di arah selatan dan utara. “Bak permadani biru membentang di kolong langit,” lantang Buya Tadjul, seolah terbawa suasana saat Pak De baca puisi Zikir.
Ya, jalan menanjak dan berliku, terik panas matahari, dituntun pegawai Kecamatan Dungkek, kita naik mobil Calya putih, menembus ranting-ranting semak belukar. Di pintu masuk jalan menuju lokasi, kanan-kiri penuh dengan pekuburan Cina berkavling-kavling.
Ornamen puluhan—atau bahkan ratusan—kuburan itu berbentuk bangunan perahu dengan kepala nisan tegak melebar ke samping. Di tengah² badan bentuk perahu yang memanjang ke belakang, sepetak tanah terhampar, isi kerikil dan rerumputan.
Semakin ke puncak, semakin tampak pemandangan laut utara dan selatan Pulau Madura bagian timur.
“Di sini, di tanah ini, rencana akan dibangun universitas, Pak De. Mau dihibahkan kata Pak Kades. Dengan latar pemandangan laut, ini yang sedang dimimpikan beliau,” ucap salah seorang punggawa Kecamatan Dungkek.
“Ya, ya, ya.. Tapi tinggalkan dulu itu. Sekarang mari kita dahulukan niat ke lokasi yang sedang kita tuju, dimana lokasi situs Batu Cennèng itu,” timpal Pak De.
Kami pun terus melaju. Bujuk Kiai Hormat kita lewati, langsung menuju ke lokasi Batu Cennèng dan Bujuk Karamat.
Tiba di Lokasi Letak Batu Cennèng
Sampai di area Batu Cennèng berada, kami masih harus berjalan ke arah barat sekitar 600 meter. Pak De Zawawi Imron, Pak Tadjul Arifien, Pak Saleh dan jajaran perangkat kecamatan pun tiba di depan Batu Cennèng.
Ditabuhlah batu itu oleh salah satu punggawa kecamatan menggunakan batu karang kecil yang ada di sekitar. “Cennèng.. Cennèng..” demikian resonansi bunyi yang ditimbulkan batu tersebut.
“Selain ini, dulu batu Cennèng ada tiga, dua lainnya sudah tidak ada, dipantok oleh warga,” terang punggawa itu.
Di situ kami berpose, mengabadikan diri dalam foto bersama Pak De, Pak Tadjul, Pak Saleh, dan jajaran punggawa kecamatan yang ikut.
Di sinilah, dua budayawan senior D Zawawi Imron dan Tadjul Arifien R melacak keberadaan situs sejarah purba yang ada di ujung timur pulau Madura.
Di atas bukit terpangpang sebuah batu andesit menengadah ke langit—di atas bongkahan batu landasannya.
“Sekilas, sebongkah bebatuan yang kita lihat tadi, di Bukit Kalompek itu, memiliki tekstur yang sangat keras, memiliki eksotisme yang berbeda dibanding dengan bebatuan yang lazim pada umumnya,” lanjut Buya Tadjul.
“Batu Cennèng, batu yang kokoh menonjol ke angkasa, bila dipukul akan berdentang keras membahana seolah hendak membelah angkasa; seolah batu tersebut berongga. Bunyi dentingan itulah yang oleh masyarakat sekitar dijadikan nama Bato Cennèng atau Kennong,” imbuhnya.
Batu Cennèng atau Bato Kennong ini, sambung Ketua TACB Sumenep itu, dahulu merupakan salah satu sarana sesembahan agama prasejarah atau zaman paleolitikum. “Itu sebagai pengusir makhluk jahat, dengan membunyikannya,” tukasnya.
“Okelah, jangan lama-lama, ayo kita ke situs selanjutnya. Dimana lokasi Bujuk Karamat,” sela Pak D Zawawi Imron.
Bujuk Karamat
Tidak jauh dari lokasi Batu Cennèng, ternyata sedang ada pembangunan kecil-kecilan, renovasi asta Bujuk Karamat.
“Ini kita bangun atas aspirasi masyarakat. Kita urunan, ada yang nyumbang Rp 20ribu kita terima, ada yang Rp 500ribu juga kita terima. Kita terima semua niat masyarakat untuk akomodasi pembangunan Bujuk Karamat ini,” ungkap salah satu pekerja yang mengetuai pekerjaan renovasi Bujuk Karamat.
Ada sekitar tiga pekerja di lokasi. Kami datang, mereka rehat bekerja dan menemani kami. Pak De duduk di bawah congkop asta Bujuk Karamat, sambil menikmati panorama laut dari atas bukit Kalompek, Pak De bersama seorang pemuda dan jajaran punggawa kecamatan menggelar radarus puisi “IBU” karya D. Zawawi Imron.
Sementara saya bersama Pak Tadjul coba mereka-reka sebuah kuburan yang berada di bawah congkop asta sebelahnya. Kuburan itu berada di ceruk antara bebatuan besar.
“Ini sampai dihimpit batu besar, hampir sama dengan Sarkopagus. Jadi perkiraan saya waktu itu, tidak jauh dari sini, berarti dulu di sini ada kehidupan, maksud saya perkampungan dengan sejumlah penduduk,” terka Tadjul Arifien R.
“Ternyata Sumenep sangat kaya situs sejarah atau cagar budaya, yang perlu perhatian khusus bagi Pemerintah Kabupaten sebagai kekayaan warisan leluhur,” kesannya.
Rencana Perjalanan Berikutnya
Faktor usia menjadi kendala untuk melanjutkan perjalanan penelitian kecil-kecilan berikut ke lokasi yang diduga merupakan Karaton Pangeran Jokotole.
“Ella, areya abali pole bhai lah. Abali pole bhai, ator dâgghi’ bâktona, yâ. Bannè kèng apa, ayu’ molè lu,” ungkap Pak De, mengajak pulang.
Ya, kami masih merencanakan perjalanan lebih lanjut pada kesempatan yang lain. Redaksi dimadura.id akan kembali dengan catatan perjalanan selanjutnya ke Ghuwâ Labâng dan Karaton Jokotolè.
Perjalanan mengasyikkan di atas adalah catatan pembuka. Setidaknya, perjalanan ini sedikit menambah wawasan kami tentang kekayaan sejarah yang tersimpan di Bukit Kalompek.
Situs purbakala Kalompek bukan hanya melengkapi cagar budaya di Sumenep, tetapi juga menjadi saksi bisu peradaban masa lalu yang perlu dijaga dan dilestarikan. Bukit Kalompek adalah warisan leluhur.***
Respon (6)