TARÈKA, DIMADURA – Prinsip, tatakrama, dan cara mengumpat orang Madura saat marah merupakan satu topik pembahasan tentang interaksi sosial suatu daerah yang perlu mendapatkan ruang pembahasan.
Artikel ini bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana orang Madura mengelola emosi melalui penggunaan kata-kata kasar saat situasi marah.
BACA JUGA:
“Umpama” dalam Bahasa Madura. Mana yang benar: “Opama” ataukah “Ompama”?
Dengan memahami prinsip-prinsip dan tatakrama di balik penggunaan kata-kata umpatan ala orang Madura, setidaknya dapat memperluas pemahaman kita tentang dinamika budaya di Madura.
Melalui artikel ini, paramaos bisa belajar bagaimana orang Madura mengekspresikan perasaan mereka dalam berbagai situasi.
Tatakrama bicara orang Madura
Leluhur di Madura tidak mengajarkan anak-cucu mereka dengan kata-kata atau kosakata jorok saat berkomunikasi dengan orang lain (lawan bicara).
Hal ini terbukti dengan tidak adanya kata baku Bahasa Madura yang murni memiliki makna tidak baik alias jorok, apalagi kasar sebagaimana kosakata bahasa Indonesia: bangsat, bedebah dan semacamnya.
Cara Orang Madura Mengumpat
Jika pun dalam keadaan marah, biasanya orang Madura akan mengumpat menggunakan kata-kata kasar dengan meminjam nama hewan menjijikkan, atau, dengan menyebut nama orangtua si lawan bicara.
Ketika seorang anak marah kepada temannya, maka mereka akan memanggil temannya dengan cara menyebut hewan tertentu terhadapnya.
Mengumpat dengan nama hewan
Contoh umpatan bahasa Madura menggunakan nama hewan antara lain seperti menyebut kata: cèlèng (babi), patè’ (anjing), moseng (musang), dan nama-nama hewa lain semacamnya.
Kata umpatan di atas sebenarnya diucapkan untuk menyadarkan si lawan bicara agar sifat-sifat buruk serupa sifat binatang dalam dirinya segera pergi, kembali menjadi manusia dengan sifat yang seharusnya.
Mengumpat dengan menyebut nama orangtua
Contoh lain, ketika orang Madura merasa kesal atas sikap sesorang, maka biasanya dia akan mengumpatnya dengan menyebut nama orangtua si lawan bicara.
Jika orang Madura sedang kesal, biasanya mereka akan mengatakan:
- Eppa’na, yâ! (Bapakmu, ya!
- Ta’ èburuk atau èbâlâi mama’na, yâ! (Tidak diajari atau ajaran bapakmu, ya!)
- Kaèna jarèya! (kakekmu tuh!)
- Nyaèna yâ! (nenekmu ya!).
Kalimat umpatan tersebut biasanya diucapkan orang Maduda dengan nada nyaring dan menghentak.
Tujuannya adalah untuk menyadarkan si lawan bicara agar ingat perkara baik yang diajarkan oleh para sesepuh di Madura–bahwa tidak mungkin mereka mengajarkan budi pekerti yang buruk kepada anak-cucu mereka.
Perangai orang Madura
Kendatipun orang Madura terkenal dengan sifatnya yang keras, berani dan pekerja keras, orang Madura tetap selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur mereka untuk senantiasa senantiasa sopan, santun dan tidak suka mencari kesalahan orang lain.
Walau demikian, orang lain jangan coba-coba mengusik hidup orang Madura seperti mengganggu istri atau keluarganya. Jika terpaksa, mereka biasanya tidak akan segan untuk bertindak tegas bahkan terkadang sampai melampaui batas.
Prinsip orang Madura
Dalam tutur bahasa Madura ada sebuah pepatah atau seloka yang berbunyi: Kerras kèng Akerrès (keras tetapi berkeris). Artinya, sikap keras orang Madura itu seperti fungsi keris.
Jika sebuah keris tidak diapa-apakan, maka keris tersebut tidak akan menimbulkan masalah. Tetapi jika sang tuan telah mengeluarkan dari warangkanya, maka berarti sedang ada bahaya yang tengah mengancam keselematan dirinya.
Prinsip orang Madura: “Ta’ la’-nyala’a, sakèng jhâ’ la-salaè!”. Maksudnya, mereka tidak akan mengganggu ketenangan orang lain, tetapi jangan sampai orang lain mengusik ketenangan mereka.
BACA JUGA:
13 Conto Kèjhung Èn-maènan Bhâsa Madhurâ
Sikap yang demikian tergambar dalam saloka kona bahasa Madura: “Bango’ potèya tolang ètèmbhâng potè mata”. Artinya, lebih baik putih tulang daripada putih mata. Maksudnya, daripada harus menanggung malu dan nista, lebih baik mati terhormat walaulah nyawa taruhannya.***
Respon (4)