Penulis: Moh. Sumardono
Editor: Tadjul Arifien R.
SEJARAH DIMADURA — Raden Trunajaya, yang juga dikenal sebagai Pangeran Trunojoyo, adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam sejarah Jawa pada abad ke-17. Trunajaya dikenal sebagai pemimpin pemberontakan besar melawan Belanda yang bersekutu dengan Kesultanan Mataram.
Esai ini akan menguraikan secara detail tentang profil Raden Trunajaya, latar belakang keluarganya, riwayat hidup, jasanya, hingga bagaimana namanya diabadikan sebagai nama jalan, bandara, perguruan tinggi, dan sejumlah penamaan lainnya.
Profil dan Latar Belakang Keluarga
Raden Trunajaya berasal dari Madura, sebuah pulau di sebelah timur laut Jawa. Ia dilahirkan dalam keluarga bangsawan yang memiliki pengaruh besar di Madura. Trunajaya merupakan keturunan langsung dari garis keturunan bangsawan Madura yang memiliki hubungan erat dengan Kerajaan Mataram.
Ayahnya adalah Raden Demang Melayakusuma, seorang pejabat tinggi di Madura yang juga memiliki hubungan baik dengan penguasa Mataram. Pangeran Melayakusuma sendiri merupakan putra dari Pangeran Cakraningrat I dari istrinya, Putri Banyak Modang bin Banyakwedi, adik Jokotole.
Pangeran Cakraningrat I diketahui memiliki tiga istri, yaitu:
- Syarifah Ambani (Rato Ebu), cicit Sunan Giri.
- Putri Amangkurat I.
- Putri Banyak Modang (Sumenep).
Selain Trunajaya, Pangeran Melayakusuma juga berputra Jumantara, yang berputri Nye Kane atau Nyae Somekar, istri dari Pangeran Yudonegoro Sumenep
Secara hitungan politik, jika Pangeran Cakraningrat I masih hidup dan ada di Keraton Arosbaya (Bangkalan), maka Pangeran Melayakusuma akan menjadi penggantinya. Namun, ternyata digantikan oleh Raden Undakan (Cakraningrat II), saudara lain ibu. Selanjutnya, Trunajaya menjadi penggantinya. Raden Undakan, ibunya dari Mataram, membuat Trunajaya menjadi cucu tiri dari Amangkurat I atau sepupu tiri dari Amangkurat II.
Riwayat Hidup dan Jasa-Jasa Trunajaya
Raden Trunajaya mulai dikenal dalam sejarah Jawa ketika ia memimpin pemberontakan besar melawan Kesultanan Mataram pada akhir abad ke-17. Trunajaya merasa tidak puas dengan kepemimpinan Amangkurat I, raja Mataram saat itu, yang dianggap korup dan tidak adil.
Keresahan ini memicu Trunajaya untuk menggalang kekuatan dan melakukan pemberontakan besar yang dikenal sebagai Pemberontakan Trunajaya pada tahun 1674.
Sebelum memulai pemberontakannya, Trunajaya sempat ke Sumenep dan mengangkat R. Bugan Wongsojoyo menjadi Adipati Sumenep dengan gelar Pangeran Yudonegoro. Pangeran Yudonegoro kemudian membantu perjuangan Trunajaya dengan mengirimkan 1.000 pasukan perangnya.
Trunajaya berhasil menguasai beberapa wilayah penting di Jawa, termasuk Keraton Pleret pada tahun 1677. Keberhasilannya ini membuatnya menjadi ancaman serius bagi kekuasaan Mataram. Pemberontakannya berhasil dipadamkan Kerajaan Mataram dengan bantuan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), yang memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas kekuasaan di Jawa.
Mengapa Trunajaya Menyerang Mataram?
Alasan utama Trunajaya menyerang Mataram adalah ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Amangkurat I yang dianggap lalim dan tidak adil. Amangkurat I dikenal sebagai penguasa yang otoriter dan sering bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Hal ini menimbulkan banyak perlawanan, salah satunya dari Trunajaya, yang merasa terpanggil untuk memimpin rakyat melawan ketidakadilan tersebut.
Trunajaya awalnya berjuang bersama Amangkurat II untuk melawan Ayahnya, Amangkurat I, yang pro Belanda. Namun, persekutuan ini berubah ketika Trunajaya menikam Amangkurat I. Hal ini memicu kemarahan dan dendam Amangkurat II, yang kemudian berbalik arah dan bekerja sama dengan VOC untuk menangkap Trunajaya.
Lokasi Perlawanan Trunajaya
Perlawanan Trunajaya tersebar di beberapa wilayah penting di Jawa, terutama di daerah pesisir utara Jawa dan wilayah pusat kekuasaan Mataram. Beberapa pertempuran besar terjadi di Surabaya, Gresik, dan Keraton Pleret. Perlawanan ini menunjukkan kemampuan Trunajaya dalam menggalang kekuatan dan mengorganisir perlawanan yang cukup efektif melawan pasukan Mataram dan VOC.
Akhir Hidup Trunajaya dan Hukuman Mati
Pangeran Trunajaya sempat bersekutu dengan Amangkurat II dalam perlawanannya terhadap Amangkurat I, ayah Amangkurat II, karena dianggap pro Belanda. Kesepakatan Amangkurat II dengan Trunojoyo adalah agar ayahnya, Amangkurat I, ditangkap saja, bukan dibunuh. Tetapi Trunojoyo tidak mampu menahan amarahnya dan langsung menikam Amangkurat I hingga meninggal.
Trunojoyo menikam Amangkurat II, lantaran dendam karena Pangeran Cakraningrat I (kakeknya) ditikam oleh Pangeran Alit atas siasat licik keluarga Mataram, ditambah karena Adipati Bangkalan, Cakraningrat I, dijadikan adipati boneka dan ditahan di Mataram.
Meskipun awalnya sukses, perlawanan Trunajaya akhirnya mengalami kekalahan. Pada tahun 1679, Trunajaya ditangkap oleh pasukan VOC dan Mataram. Ia kemudian dihukum mati oleh Amangkurat II, penerus Amangkurat I. Tronojoyo ditikam oleh Amangkurat II dengan kerisnya lantaran dendam atas sikap Trunojoyo yang menyalahi kesepakatan bahwa Amangkurat II menginginkan sang ayah ditangkap saja, Trunojoyo malah menikamnya hingga tewas.
Amangkurat II bahkan mengancam akan memotong-motong mayat Trunajaya. Saat ditusuk, Trunajaya sempat berkata bahwa jika tubuhnya dipotong, maka kelak Pulau Jawa akan terpotong juga.
Kata-kata Trunajaya terbukti, pada 13 Februari 1755, dengan adanya Perjanjian Gianti yang membagi Kesultanan Mataram menjadi tiga bagian: Susuhunan Pakubuwono II yang mendapat Surakarta, Mangkubumi yang mendapat Yogyakarta bergelar Sultan Hamengkubuwono I, dan bagian pesisir utara Jawa serta Madura yang menjadi kekuasaan Belanda.
Jasad Trunajaya dikubur tanpa pusara di tangga masuk makam Imogiri, tempat yang selalu terinjak oleh keturunan raja setiap kali mereka datang ke makam keluarga.
Dampak Pemberontakan Trunajaya pada Kerajaan Mataram
Pemberontakan Trunajaya memiliki dampak besar terhadap Kesultanan Mataram. Pemberontakan ini memperlihatkan kelemahan pemerintahan Amangkurat I dan mengungkap ketidakpuasan rakyat terhadap kepemimpinannya.
Meskipun akhirnya berhasil dipadamkan, pemberontakan ini mengakibatkan melemahnya kekuasaan Mataram dan membuka jalan bagi campur tangan VOC dalam urusan internal Mataram. Akibatnya, Mataram semakin tergantung pada VOC dan kekuasaannya semakin merosot.
Kesultanan Mataram dan Pecahan-Pecahannya
Kesultanan Mataram pada masa itu merupakan kerajaan besar yang menguasai sebagian besar wilayah Jawa. Namun, setelah pemberontakan Trunajaya dan campur tangan VOC, Kesultanan Mataram mulai terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil.
Beberapa pecahan dari Kesultanan Mataram yang muncul setelah periode ini antara lain Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Perpecahan ini menunjukkan betapa besar dampak pemberontakan Trunajaya terhadap stabilitas dan kekuasaan Mataram.
Nama Trunajaya yang Diabadikan
Nama Raden Trunajaya kini diabadikan di berbagai tempat sebagai bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya dalam sejarah Indonesia. Beberapa di antaranya adalah:
1. Nama Jalan: Nama Trunajaya sering dijadikan nama jalan di berbagai kota di Indonesia. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap keberaniannya dalam memimpin perlawanan melawan ketidakadilan.
Salah satunya adalah Jalan Trunojoyo dari arah Stopan Sumenep ke selatan, karena jalan tersebut sempat dilewati oleh Pangeran Trunojoyo saat berkunjung ke Sumenep dalam rangka mengangkat R. Bugan Wongsojoyo menjadi Adipati Sumenep dengan gelar Pangeran Yudonegoro.
2. Nama Bandara: Bandara Trunojoyo di Sumenep, Madura, merupakan salah satu bandara yang menggunakan nama Trunojoyo. Bandara ini berfungsi sebagai penghubung penting bagi transportasi udara di wilayah Madura dan sekitarnya.
3. Nama Perguruan Tinggi: Universitas Trunojoyo Madura (UTM) adalah salah satu perguruan tinggi negeri yang terletak di Bangkalan, Madura. Universitas ini diresmikan pada tahun 2001 dan dinamai untuk menghormati Raden Trunajaya.
Penutup
Raden Trunajaya adalah sosok yang penting dalam sejarah Jawa dan Indonesia. Kepemimpinannya dalam pemberontakan melawan Belanda yang kala itu bersukutu dengan Kesultanan Mataram, menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi ketidakadilan dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang korup.
Meskipun akhirnya Trunajaya mengalami kekalahan dan dihukum mati, namanya tetap dikenang dan dihormati. Peninggalannya diabadikan dalam berbagai bentuk, termasuk nama jalan, bandara, dan perguruan tinggi.
Universitas Trunojoyo Madura adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap jasanya, yang terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
“
Semoga nama Pangeran Trunojoyo bisa diangkat oleh Pemerintah Pusat sebagai Pahlawan Nasional, mengingat jasanya yang melawan Belanda demi bangsa, bukan karena tahta atau kedudukan!
“
—
Referensi:
1. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press, 2008.
2. Carey, P.B.R. The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855. KITLV Press, 2007.
3. Kartodirdjo, Sartono. The Peasants’ Revolt of Banten in 1888: Its Conditions, Course and Sequel. Martinus Nijhoff, 1966.
4. Ricklefs, M.C. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java. Oxford University Press, 1974.
5. Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. Yale University Press, 1988.
6. Hadiwidjojo, Soenarto. Raden Trunodjojo, 1956, Pamekasan.
7. Fattah, Zainal. Sejarah Tjaranya Pemerintahan di Daerah-daerah Kepulauan Madura, 1951, Paragon Press, Djakarta.
Respon (6)