KOLOM, DIMADURA – Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani kuno Demos (rakyat) dan Cratos (kekuasaan), mengindikasikan kekuasaan di tangan rakyat. Gagasan ini diperkenalkan oleh Cleisthenes dari Athena, Yunani, pada tahun 507-508 SM.
Republik Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, meski penerapannya mengalami pasang surut, mencerminkan kebijakan yang berbeda dari setiap presiden.
Tadjul Arifien R, seorang budayawan Sumenep, memberikan kesaksiannya mengenai perubahan zaman di Indonesia, mencerminkan perbandingan antara berbagai era yang telah ia alami. Berikut ini adalah ringkasannya:
1. Era Orde Lama:
Kehidupan sederhana dengan makanan seperti nasi umbi, ketela, dan jagung yang sudah dianggap sebagai keberuntungan.
Struktur kekuasaan sangat kuat; kepala desa memiliki kekuasaan seperti seorang raja, apalagi pejabat di atasnya seperti asisten wedana (camat), kepala kepolisian sektor, dan komandan rayon militer memiliki wewenang besar, termasuk menjatuhkan hukuman tanpa pengadilan.
BACA JUGA:
2. Era Orde Baru:
Kondisi pangan sedikit membaik dengan adanya nasi bulgur dan sorgum.
Kebebasan berbicara sangat dibatasi; mengkritik pemerintah bisa berujung pada penahanan oleh Komando Distrik Militer (Kodim) atau lebih parah lagi, pembunuhan misterius yang dikenal sebagai Petrus.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN) harus memiliki dokumen khusus (Sampul D) dari Pasintel Kodim atau Bakortanasda sebagai tanda loyalitas.
3. Era Kolonial:
Tidak banyak yang bisa dikatakan karena masa ini sangat represif dan menyulitkan rakyat.
4. Era Demokrasi Liberal saat ini:
Kebebasan sangat terasa, termasuk kebebasan berbicara hingga mengkritik siapa pun, bahkan presiden.
Namun, Tadjul mengeluhkan bahwa hukum sering kali hanya berlaku bagi orang-orang yang tidak beruntung, karena kekuasaan, karisma, dan uang bisa mempengaruhi penegakan hukum.
Petikan Naskah Kesaksian Budayawan Sumenep, Tadjul Arifien R:
Pada dasarnya kita patut bersyukur hidup pada jaman sekarang, semua serba ada, serba bebas, bicara apa saja bebas dan leluasa, mau menghujat dan memfitnah siapapun termasuk kepada Presiden pun bebas.
Saya yg pernah hidup di era Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan Orde Demokrasi Liberal saat ini, sangat merasakan perbedaan yg sangat mencolok.
Tapi keluhan yg terbanyak adalah pada era Demokrasi Liberal saat sekarang.
Orde Lama, bisa makan nasi umbi, ketela apa lagi jagung sudah merasa di surga. Kepala Desa bagaikan seorang Raja, apa lagi Asisten Wedana (Camat), Dansek (Kapolek), Danramil dll sbg. Hukuman bisa terjadi tanpa pengadilan.
Orde Baru, merasakan makan nasi bulgur, sorgum (nase’ bulir) sudah seperti di Surga, bicara mengkritik pemerintah besok ada di sel Kodim, bahkan jadi mayat kena Petrus (1980-1984), PNS/ASN harus punya Sampul D dari Pasitel Kodim (Bakortanasda) dll sbg. Hukuman (mati) bisa terjadi tanpa pengadilan.
Lebih-lebih jaman penjajahan Kolonial, saya tak bisa bicara, yg era feodal tsb bisa dibaca pada buku Sumenep Abad ke-19 karya Prof Dr Huub de Jonge (2020)
Sekarang kita bagai berada di Surga, kita mau apa saja bebas bas bas …. dan hukum hanya berlaku pada orang yg apes/nahas/falang, karena bisa dibeli dg kekuasaan/kharisma/uang.
Sekarang kita hidup bebas tapi masih mengeluh. Subhanallah wal hamdulillah!
Fase Kepeminpinan
Lanjut Tadjul Arifien R. Menurutnya, demokrasi di Indonesia juga mengalami berbagai fase di bawah kepemimpinan presiden yang berbeda:
- Era Presiden Soekarno: Demokrasi Terpimpin.
- Era Presiden Suharto: Demokrasi Pancasila.
- Era Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati: Demokrasi normal seperti pada umumnya.
- Era Presiden SBY: Demokrasi semu (saya prihatin).
- Era Presiden Jokowi: Demokrasi liberal.
Dalam pelaksanaan demokrasi yang lepas dari pada umumnya tersebut, selalu ada korban:
- Era Soekarno: Syahrir, Natsir, Hamka dan lainnya menjadi korban karena perbedaan ideologi.
- Era Soeharto: Kebebasan bersuara tertutup total, banyak orang hilang atau dihukum tanpa pengadilan formal, seperti korban pembantaian yang diduga anggota PKI yang konon mencapai lebih 2 juta jiwa, serta korban Petrus dll.
- Era SBY: Beberapa individu seperti Moh. Rijik Shihab, Monang, dan Jonday menjadi korban.
- Era Jokowi: bahkan korbannya adalah Pejabat Negara seperti LBP, Presiden Jokowi dan keluarganya serta para pejabat lainnya yg menjadi korban hujjatan dan fitnahan serta mengalami penghancuran moral meskipun tidak secara fisik, (jadi terbalik).
“Di era demokrasi liberal saat ini, profesi pengamat laku keras, dari politisi hingga gelandangan, semua bisa menjadi pengamat dengan cuap-cuap di TV swasta atau media sosial. Dampak dari demokrasi liberal ini sudah berada di titik nadir, jauh dari adat ketimuran, dan tatakrama telah sirna,” pungkas kesaksian budayawan Sumenep, Tadjul Arifien R.
Sumber:
- Komunikasi Politik, Media & Demolendo, Henri Subiakto dkk, 2012
- Media & Dinamika Demokrasi, Anang Sutomo dkk, 2020
- Penataan Demokrasi & Pemilu, Pasca Reformasi, Prof Dr Nikmatul Huda, 2017
- Kliping media Kompas, Tempo, dll.
Respon (1)