CerpenGhâncaranLonglongan

Seri Cerpen Octa Bagian 6: Harga Kebebasan

Avatar of dimadura
407
×

Seri Cerpen Octa Bagian 6: Harga Kebebasan

Sebarkan artikel ini

Cerpen Sang Pemuja

OCTA: Foto ilustrasi wanita penghibur Sang Pemuja | Bolehkah Aku Mencintaimu Malam Ini Saja? (Istimewa/dimadura)
OCTA: Foto ilustrasi wanita penghibur Sang Pemuja | Bolehkah Aku Mencintaimu Malam Ini Saja? (Istimewa/dimadura)

Lanjutan Seri Cerpen Octa Bagian 5: Api yang Membakar


Bagian 6: Harga Kebebasan

Malam berlalu dalam diam, tapi pikiranku terus bergejolak. Janjiku kepada Octa menanamkan rasa tanggung jawab yang besar. Di pagi hari, setelah semalaman tak bisa tidur, aku memutuskan untuk segera menyelesaikan masalah ini. Aku menghubungi seorang teman lama, Andri, yang cukup paham dunia gelap ini dan, kuyakin ia bisa memberiku jalan keluar yang cepat.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang iklan bisnis dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

“Bro, gue butuh bantuan,” kataku saat Andri mengangkat telepon.

Andri menghela napas di ujung sana, mungkin sudah terbiasa dengan panggilan darurat dariku, meskipun kali ini masalahnya lebih berat dari biasanya. “Ada apa lagi, Nanda? Lo kayaknya udah sering masuk ke situasi berbahaya belakangan ini.”

“Ada seseorang yang perlu gue bantu keluar dari lingkaran gelap. Tapi ini lebih rumit dari biasanya.”

Andri terdiam sejenak, kemudian berkata, “Siapa dia? Dan berapa besar masalahnya?”

“Namanya Octa. Dia punya hutang ke tempat di mana dia bekerja, sekitar 50 juta. Gue mau bayarin itu, tapi gue nggak yakin apakah itu cukup buat ngelepasin dia. Lo ngerti maksud gue, kan?”

Andri mendesah panjang. “Lo sadar, kan? Masalah kayak gini nggak cuma soal uang. Mereka yang pegang dia nggak bakal lepasin begitu aja hanya karena hutangnya lunas. Kalau lo mau dia keluar, lo harus siap buat lebih dari sekadar bayar. Ini soal pengaruh, kekuasaan. Tempat kayak gitu jarang ngelepasin orang dengan mudah.”

Aku merasakan perutku bergejolak. Meskipun sudah kuduga, mendengar kenyataan ini tetap membuatku merasa seperti terjebak dalam situasi yang lebih buruk daripada yang kukira. “Jadi, gue harus ngapain?”

“Pertama, cari tahu siapa yang sebenarnya mengendalikan tempat itu. Kalau cuma orang-orang kecil, mungkin bisa lo tangani dengan negosiasi atau bahkan intimidasi. Tapi kalau mereka lebih besar dari itu, lo harus hati-hati. Dunia ini penuh dengan jebakan, Nanda.”

Aku menghela napas. “Gue nggak peduli seberapa rumitnya. Gue cuma mau dia bebas. Ada cara lain yang bisa gue coba?”

“Lo bisa nyari orang dalam buat bantu lo. Tapi lo juga harus siap kalau mereka minta sesuatu yang lebih besar dari yang lo bayangkan. Setiap bantuan ada harga yang harus dibayar.”

“Berapa pun harganya, gue bayar,” kataku, meskipun dalam hati aku bertanya-tanya, seberapa jauh aku siap untuk melangkah.

Sore harinya, aku pergi ke klub tempat Octa bekerja. Kali ini bukan untuk bertemu dengannya, tapi untuk berbicara dengan manajer klub. Aku sudah siap dengan uang yang dibutuhkan, namun seperti yang Andri katakan, ini bukan hanya soal angka.

Di depan pintu kantor manajer, aku mengetuk pelan, menunggu izin masuk. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan penampilan rapi, namun sorot matanya dingin dan penuh perhitungan.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada datar, namun jelas menunjukkan bahwa dia tahu siapa aku dan apa tujuanku.

“Aku di sini untuk menyelesaikan hutang Octa,” kataku langsung, tanpa basa-basi.

Pria itu mengangkat alisnya, tampak sedikit terkejut namun cepat kembali tenang. “Hutang? Ah, ya, tentu. Tapi Anda harus paham, tempat ini tidak hanya soal uang. Octa adalah salah satu ‘aset’ kami yang berharga. Jika Anda ingin dia bebas, ada lebih dari sekadar hutang yang harus dibayar.”

“Berapa pun yang Anda minta, saya siap membayarnya,” jawabku tegas.

Dia tersenyum tipis, seolah menganggap ucapanku naif. “Ini bukan soal uang, Tuan Nanda. Octa bukan sekadar pelayan di sini. Dia terikat kontrak, dan kontrak seperti ini… sulit untuk diakhiri.”

Aku mulai merasa geram. “Apa yang Anda inginkan?”

Dia bersandar di kursinya, memandangi meja di depannya seolah sedang menimbang sesuatu. “Anda kelihatannya sangat peduli padanya. Saya bisa mengerti itu. Tapi, kami juga punya aturan. Tidak ada yang pergi dari sini tanpa ada sesuatu sebagai pengganti.”

Aku mengepalkan tangan di bawah meja, mencoba menahan emosi. “Apa penggantinya?”

Pria itu tersenyum lagi, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam. “Kami ingin jaminan. Sesuatu atau seseorang yang bisa menjadi pengganti Octa di sini. Jika Anda bisa memberikan itu, mungkin kita bisa bicara lebih lanjut.”

Aku terkejut mendengar permintaannya. “Pengganti? Maksud Anda?”

“Anggap saja ini seperti barter. Jika Anda tidak ingin dia bekerja di sini lagi, maka Anda harus menemukan seseorang untuk menggantikannya. Atau, jika Anda tidak punya seseorang, maka Anda sendiri yang harus mengambil tempatnya—sementara, tentu saja, sampai kami menemukan pengganti.”

Aku terdiam. Kata-katanya mengguncang batinku. Aku tak pernah menyangka situasinya bisa sejauh ini. Menggantikan Octa? Bagaimana bisa aku, seorang pria dengan kehidupan stabil, masuk ke dalam dunia yang kelam ini?

“Apa tidak ada cara lain?” tanyaku, mencoba menemukan celah dalam kesepakatan gila ini.

Pria itu menggeleng, wajahnya penuh kepastian. “Tidak ada cara lain. Kami punya aturan. Anda datang untuk membebaskan seseorang, Anda harus menawarkan sesuatu sebagai gantinya.”

Aku merasa terperangkap dalam situasi yang semakin gila. Satu-satunya pilihan yang ada di hadapanku tampaknya hanya dua: menyerahkan seseorang atau masuk ke dalam dunia ini, bahkan jika hanya untuk sementara waktu.

“Tentu, jika Anda butuh waktu untuk berpikir, silakan. Tapi ingat, waktu tidak akan menunggu. Jika Anda tidak segera membuat keputusan, maka situasinya bisa berubah.”

Malam itu aku kembali ke apartemen dengan kepala penuh beban. Aku mencoba mencari jalan keluar, tapi tidak ada satu pun yang terlihat mudah. Pilihan ini terasa mustahil, namun aku tak bisa mengabaikan janji yang sudah kubuat kepada Octa.

Aku mengirim pesan kepada Andri, menceritakan situasi yang terjadi. Tak lama kemudian, dia membalas.

“Gila lo, bro. Situasi kayak gini biasanya nggak ada jalan mudah. Kalau lo benar-benar mau bantu dia, lo harus siap bayar harganya. Pertanyaannya, lo siap nggak?”

Aku terdiam, membaca pesannya berulang-ulang. Siap atau tidak, aku tahu bahwa ini bukan sekadar soal uang. Ini soal harga kebebasan—harga yang mungkin jauh lebih mahal daripada yang pernah kubayangkan.

Bersambung ke Bagian 7: Pertaruhan Terakhir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *