CerpenGhâncaranLonglongan

Seri Cerpen: “Octa, Jejak Malam yang Terlupakan”

Avatar of dimadura
50
×

Seri Cerpen: “Octa, Jejak Malam yang Terlupakan”

Sebarkan artikel ini

Bagian 1 dan 2

OCTA: Foto ilustrasi wanita penghibur Sang Pemuja | Bolehkah Aku Mencintaimu Malam Ini Saja? (Istimewa/dimadura)
OCTA: Foto ilustrasi wanita penghibur Sang Pemuja | Bolehkah Aku Mencintaimu Malam Ini Saja? (Istimewa/dimadura)

Penulis: Sang Pemuja


Bagian 1: Pertemuan Awal

Malam itu angin dingin menyapu jalanan kota yang penuh gemerlap lampu. Oktober yang seharusnya menjadi bulan biasa, berubah menjadi malam yang tak terlupakan dalam hidupku. Di sebuah klub malam di pusat kota, aku duduk termenung, memandangi gelas bir yang isinya mulai habis. Musik elektronik berdentum keras, membuat pikiranku seakan terhipnotis oleh suasana. Di depanku, Octa, seorang wanita muda yang baru saja menemani selama tiga jam, tersenyum tipis, matanya memancarkan cahaya yang sulit kumengerti.

KONTEN PROMOSI | SCROLL ...
Pasang iklan bisnis dimadura
PASANG BANNER, HUBUNGI KAMI: 082333811209

 

“Mas, kau sudah tenang?” tanyanya sambil menyalakan sebatang rokok. Asap mengepul lembut di udara, menambah kehangatan aneh yang menyelimuti kami.

 

Aku tersenyum getir, meminum sisa bir di gelasku. “Entah. Malam ini rasanya aneh.”

 

Octa tertawa kecil. “Aneh bagaimana? Bukannya kau menikmati waktu kita tadi?”

 

Kata-katanya meluncur begitu santai, seolah tak ada yang istimewa dari pertemuan kami. Namun, aku tak bisa memungkiri ada sesuatu yang berbeda. Perempuan ini bukan sekadar ‘penghibur’ yang kutemui selama ini. Ada magnet kuat yang menarikku, meski aku tahu, hubungan ini hanyalah transaksional. Tak ada yang lebih.

 

“Tadi kau bilang, kau punya aturan sendiri, kan?” tanyaku pelan, memandang ke dalam matanya yang tampak tenang.

 

Octa mengangguk. “Ya, aku punya. Tidak semua tamu bisa aku layani, dan tidak semua orang bisa aku terima. Seperti tadi, kau berbeda.”

 

Aku mengerutkan dahi. “Berbeda bagaimana?”

 

Dia mengembuskan asap rokoknya perlahan, seolah merenungkan jawabannya. “Berbeda karena kau… tak terlihat seperti pria lain. Kau datang dengan beban, tapi tidak hanya untuk memuaskan diri. Aku melihat kesedihan di matamu.”

 

Aku tersenyum kecut, tak tahu harus menjawab apa. “Kesedihan? Kau pasti berlebihan.”

 

Namun, jauh di dalam hati, aku tahu Octa tidak sepenuhnya salah. Malam itu, aku memang datang bukan hanya karena hasrat biologis. Ada yang lebih besar, mungkin pelarian, atau mungkin juga kehampaan yang sulit kugambarkan.

 

Octa mendekatkan tubuhnya ke arahku, jarak di antara kami hanya beberapa inci. “Mas, bolehkah aku mencintaimu tiga setengah jam dari sekarang?”

 

Aku tersentak mendengar pertanyaannya. Kata-kata itu begitu ganjil, aneh, dan keluar dari mulutnya seperti mantera yang menghipnotis. Seharusnya aku tahu, ini hanya bagian dari permainan, sebuah rayuan yang sering diucapkan wanita malam seperti dia. Tapi entah kenapa, aku merasa kalimat itu memiliki makna lebih.

 

“Maksudmu apa?” tanyaku bingung, meski sebagian diriku sudah tahu jawabannya.

 

Dia tertawa lagi, kali ini lebih lirih, seperti menggoda. “Malam ini kita sudah bersama selama tiga jam. Sisanya, aku ingin mencintaimu—walau hanya sebentar. Bisakah?”

 

Aku tak tahu harus menjawab apa. Seakan terjebak dalam suasana malam itu, aku terdiam beberapa detik, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhku membeku seiring waktu yang terasa melambat. Di tengah kebingungan, aku menjawab, dengan suara yang nyaris tak terdengar.

 

“Malam ini aku milikmu… dan izinkan aku juga mencintaimu sebentar.”

 

Kami tertawa kecil, namun di dalam hatiku ada sesuatu yang tak biasa. Sentuhannya, tatapannya, seolah melukis sesuatu yang lebih dalam di kepalaku. Biasanya, setelah pertemuan dengan wanita seperti Octa, aku akan segera melupakan semuanya. Namun, kali ini berbeda. Ada jejak yang tertinggal, bayang-bayang yang enggan pergi.

 

***

 

Bagian 2: Setelah Malam Itu

 

Pagi datang dengan kebingungan yang merajalela. Aku terbangun di kamar hotel dengan kepala pusing dan perasaan berat yang tak terjelaskan. Ingatan tentang Octa masih begitu segar, seolah malam itu baru saja terjadi. Namun ada satu hal yang terus menggangguku: mengapa aku tak bisa melupakannya? Ini bukan pertama kali aku berada dalam situasi seperti ini, tapi dengan Octa, segalanya terasa… berbeda.

 

Saat aku bersiap untuk kembali ke kehidupan normal, bayangannya terus menghantuiku. Pikiranku dipenuhi pertanyaan yang tak pernah ada sebelumnya. Siapa sebenarnya Octa? Mengapa aku begitu terpikat padanya, padahal aku tahu pertemuan kami hanyalah ilusi sementara?

 

Ketika sampai di rumah, sahabatku, Anton, yang merekomendasikan Octa, menatapku dengan pandangan penuh canda.

 

“Gimana? Bagus, kan? Aku bilang juga apa, Octa itu berbeda dari yang lain!” ujarnya sambil menepuk bahuku.

 

Aku hanya mengangguk, berusaha menyembunyikan kekacauan dalam pikiranku. “Ya, berbeda.”

 

Anton tertawa keras. “Jangan terlalu dibawa perasaan, bro! Mereka itu memang ahli bikin kita terlena. Jangan sampai kau terlalu terikat. Dia cuma wanita malam, setelah ini kau pasti akan lupa.”

 

Aku tersenyum kaku. “Iya, mungkin kau benar.”

 

Namun di dalam hati, aku tahu bahwa aku tidak akan lupa. Octa telah meninggalkan sesuatu yang sulit kuhapus. Meski hanya pertemuan singkat, ada sesuatu yang membuatku ingin lebih mengenalnya. Sebuah hasrat yang aneh, hampir seperti candu.

 

Beberapa malam kemudian, aku tak bisa tidur. Pikiran tentang Octa kembali menghantui, seperti hantu yang menolak pergi. Dalam kekalutan itu, aku mengambil ponsel dan mengetik pesan yang tak seharusnya kukirim.

 

“Octa, bagaimana kalau kita bertemu lagi?”

 

Aku menunggu beberapa saat, berharap tak ada balasan. Namun, ponselku bergetar, dan sebuah pesan masuk.

 

“Kapan pun kau mau, Mas.”

 

Hatiku berdegup lebih kencang. Aku tahu ini salah, tapi dorongan itu terlalu kuat untuk diabaikan.

***

Bersambung >>

Bagian 3: Kembali ke Pelukan Octa

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *