CongkopGarduObituariSejarahSumenep

Serial Pahlawan Nasional Sumenep 4: Kiai Djauhari Chotib

Avatar Of Dimadura
485
×

Serial Pahlawan Nasional Sumenep 4: Kiai Djauhari Chotib

Sebarkan artikel ini

Pimpinan Barisan Sabilillah di Prenduan

Serial: Pahlawan Nasional Asal Sumenep Bagian 4, Kiai Djauhari Chotib Prenduan (Foto: Tadjul Arifien R./Doc. Dimadura)
SERIAL: Pahlawan Nasional asal Sumenep bagian 4, Kiai Djauhari Chotib Prenduan (Foto: Tadjul Arifien R./Doc. Dimadura)

Oleh: Tadjul Arifien R. (Sejarawan Madura)


Cropped Cropped Dimadura Logo2 1 150X150 1SEJARAH, DIMADURAKalau melihat kuatnya pertahanan di wilayah Prenduan, tidak lepas dari strategi Kiai Djauhari Chotib yang memang mempunyai pemikiran cerdas. Beliau sebagai pengasuh Madrasah Nahdlatul Wa’idlin yang merupakan embrio dari Pondok Pesantren Modern Al Amien, Prenduan.

Bukan hanya berjuang dengan fisik dan strategi, beliau juga rela mengorbankan hartanya untuk membantu bahan makanan bagi pejuang setiap hari melalui dapur umum yang berpusat di rumah Kiai Mukri.

Selanjutnya dikirim ke front pertempuran, baik di Sumenep maupun Pamekasan, dibawa oleh Pak Sakinah dan Pak Suhir.

Potret Gapura Utama Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Sumenep, Madura, Jawa Timur, Yang Menjadi Salah Satu Lembaga Pendidikan Islam Ternama Dan Bersejarah. Ponpes Ini Merupakan Kelanjutan Dari Madrasah Nahdlatul Wa’idlin Yang Pernah Diasuh Oleh Kiai Djauhari Chotib, Ulama Pejuang Kemerdekaan Indonesia Dari Prenduan. (Foto: Istimewa/Doc. Dimadura)
potret gapura utama pondok pesantren al-amien prenduan, sumenep, madura, jawa timur, yang menjadi salah satu lembaga pendidikan islam ternama dan bersejarah. Ponpes ini merupakan kelanjutan dari madrasah nahdlatul wa’idlin yang pernah diasuh oleh kiai djauhari chotib, ulama pejuang kemerdekaan indonesia dari prenduan. (foto: istimewa/doc. Dimadura)

Upaya lain yang dilakukan Kiai Djauhari Chotib ialah melakukan gerakan batin (Gerbat) untuk membentengi para pejuang dan wilayahnya secara gaib.

Bilamana para pejuang akan berangkat ke medan laga, dikumpulkan dahulu di halaman Mesjid Gemma. Mereka lebih dahulu diberi ijazah (èjaza’, Madura, pen.) sebagai sugesti rasa percaya diri dan menanamkan keberanian serta sikap tak takut mati.

Mereka yang mendapatkan ijazahnya, antara lain: K. Nawawi, Zoerni, Farhan, Sahlan (Haji), Ah. Hamid Imamuddin, Ach. Aliridla, A. Mujtahidin, Ahmad Jufri, Muhayat, Surarti Imam Syafi’ie, Bahri, Sajjad Musleh, K. Fathullah Wardi, dan lain sebagainya.

Tokoh-tokoh seperti Kiai Djauhari Chotib selalu menjadi incaran penjajah Belanda, karena beliau-beliau (Baca: ulama pejuang) sebagai kendala utama atas sifat kerakusan penjajah yang bersikap kejam dan tak manusiawi seperti Belanda dan Jepang.

Otomatis, keberadaan Kiai Djauhari Chotib termasuk target utama untuk diciduk dengan alasan “Memberontak kepada Belanda”.

Ketika Kiai Djauhari Chotib dan beberapa pemuda barisan Sabilillah berkumpul di Madrasah, tiba-tiba Moh. Luthfi bersama temannya masuk dan memberitahu bahwa ada tentara Belanda dengan Cakra menuju rumah Kiai Djauhari Chotib.

Rupanya kedatangannya dituntun oleh mata-mata Belanda orang pribumi, namun sempat ditangkap serta dihabisi oleh K. Nawawi dan Sahlan (Haji).

Suasana pertemuan kala itu menjadi tegang dan para pemuda yang disusupkan ke IVG keluar bersama-sama.

Serdadu Belanda masuk ke rumah Kiai Djauhari, di sana mereka menemukan bendera merah putih dan sekeranjang “batu kerikil jaza’an”. Tanpa kompromi, Kiai Djauhari Chotib ditangkap dan dibawa ke Sumenep.

Mendengar berita tentang tertangkapnya Kiai Djauhari Chotib, maka Asisten Wedana, RP. Moh. Noer dan Aliwafa (tokoh masyarakat yang kaya dan donatur perjuangan) pergi ke Sumenep menemui Hakim De Jonge, minta agar Kiai Djauhari Chotib dibebaskan.

Permintaannya akan bisa terpenuhi dengan syarat harus menyediakan uang sebesar 10.000 Golden, di samping juga Aliwafa (Haji) membawa seratus butir telur ayam sebagai hadiah untuk De Jonge.

Karena Kiai Djuahari Chotib sudah terlanjur dipindah ke penjara Pamekasan, maka Hakim De Jonge membuat surat rekomendasi yang isinya antara lain:

“Yang salah bukan Kiai Djauhari, tetapi yang menangkapnya”.

Sesampainya di Pamekasan, Asisten Wedana RP. Moh. Noer dan Aliwafa dengan mengantarkan rekomendasi dari Hakim De Jonge, tapi Kiai Djauhari Chotib ternyata sudah digiring ke penjara Bangkalan.

Mereka pun langsung ke Bangkalan dan, katanya, sudah diangkut ke penjara Kalisosok Surabaya.

Dengan berupaya secara maksimal, Asisten Wedana RP. Moh. Noer dan Aliwafa akhirnya berhasil.

Kiai Djauhari Chotib dibebaskan dari penjara yang ditahan selama tujuh bulan di penjara yang Kalisosok dikenal tempat penginapan (baca: penyiksaan) para pejuang yang berhasil ditangkap oleh tentara Belanda.

Pengalaman pahit dalam perjuangan tidak membuat Kiai kharismatik asal Prenduan tersebut jera, bahkan semakin terpacu untuk berjuang dan berjuang demi kemerdekaan rakyat Sumenep pada khususnya, dan Nusantara pada umumnya, di dalam kemerdekaan yang mutlak (bukan negara boneka) sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa dicapai.***


Sumber / Referensi:

° H Mustaji, BA. & Didik Hadijah HS, 1988, Perjuangan Rakyat Madura, Agung Karya Perkasa
° Sulaiman, 1993, Masalah Pokok Sarasehan, Dewan Harian Cabang Angkatan 1945,
° Tadjul Arifien R, 2022, Perjuangan Rakyat Sumenep, Pustaka INDIS