Bânnè Ebbu’ Ghâlâḍhâk, Bânnè Tabu’ Bhuḍhâk
OKARA, DIMADURA – Paparèghân Paghâjâ’ kata orang Madura, “Bânnè Ebbu’ Ghâlâḍhâk, Bânnè Tabu’ Bhuḍhâk”, sebagaimana judul kolom di atas, adalah okara atau kalimat bahasa Madura sederhana yang memuat makna renyah dan terkesan jenaka.
Kemarin, Selasa (7/10/2025) sore, saat istri dan ibu mertua duduk di emperan rumah, mereka melihat anak tetangga diberi oleh-oleh sama ibunya: roti “Kukus Dhinaju” paket sedang.
Kira-kira cukup disajikan untuk puluhan atau bahkan belasan tamu. Jika roti itu diiris-iris sejumlah tamu yang ada, cukuplah sebagai tanda pangèsto bagi mereka.
Tiba-tiba, istri dan ibu mertua tertawa terbahak-bahak hingga terpingkal-pingkal. Dhâlâ ngejjhel, istilah Maduranya.
Merasa penasaran, aku datang menghampiri mereka. “Bâḍâ apa, e.. Ma’ taker ngejjhel sè aghellâ’ân,” tanyaku.
“Huhuhu… huhu..” istri masih menahan tawa. “Arowa, Mas, Durno èyollèyaghi roti kukus Dhinaju bân èbuna. Pas lajhu èyoler ètapos kadhibi’in. Ḍu ma’ buwâ’ ongghu,” katanya, setengah geli setengah heran.
Aku ikut menatap ke arah pandang mereka. Benar saja. Durno, anak laki-laki umur sekitar sepuluh tahun, bertubuh tambun, pipinya bulat seperti onde-onde basah, sedang duduk bersila di tangga rumah sambil memegang kotak roti.
Bukan satu, tapi dua potong roti kukus ukuran besar sedang berpindah cepat dari tangan ke mulutnya, dengan ritme nyaris seperti mesin.
Melihat itu, ibu mertua tak tahan berkomentar, “Bânnè ebbu’, ghâlâḍhâk. Bânnè tabu’, bhuḍhâk!” Tawa istri makin menjadi-jadi.
Kalimat itu, di lidah orang Madura, memang semacam paghâjâ’, olok-olok penuh keakraban. Sindiran yang tak menyakiti, tapi cukup membuat siapa pun yang jadi sasaran menyadari “kebesaran” nafsunya.
Ungkapan itu seolah berkata, “Perutmu bukan perut, tapi geladak kapal. Bukan tenggok kecil, tapi bakul besar.”
Namun di balik kelucuannya, ada filosofi yang menepuk pelan kesadaran kita, bahwa manusia, dengan segala kelaparan yang ia bawa—bukan hanya soal makanan, tapi juga keinginan, gengsi, atau ambisi—sering kali lupa ukuran.
Hal di atas seakan hendak mengisayaratkan bahwa dalam setiap diri, selalu ada “perut besar” yang tak pernah kenyang. Perut itu kadang berupa harta. Kadang pujian. Kadang juga kuasa.
Anak kecil seperti Dunro, mungkin cuma lapar karena roti itu enak. Tapi orang dewasa, sering kali melahap sesuatu bukan karena butuh, melainkan karena ingin. Dan dari sanalah asal mula semua kerakusan. Keinginan yang tak diukur, dari rasa cukup yang tak pernah diakui.
Ibu mertua tiba-tiba menimpali, “Orèng kennyang ètèmbhâng orèng lapar, tantona asèhadhân orèng sè kennyang. Sabâb orèng lapar, berrá’ ka posang, mala kaḍhâng ta’ tegghen, ta’ sabbhâr.”
“Kalau orang yang kenyang dibandingkan dengan orang yang lapar, orang yang kenyang itu lebih sehat. Karena kalau lapar, orang cenderung mencari bekal (makanan) dan tidak bisa menahan diri.”
Aku mengangguk. Ada benarnya juga. Orang yang kenyang, dalam makna lahir dan batin, tak akan mudah menelan milik orang lain.
Kalimat “Bânnè Ebbu’ Ghâlâḍhâk, Bânnè Tabu’ Bhuḍhâk” itu menutup sore keluarga seperti tawa yang berubah jadi renungan, bahwa hidup bukan soal seberapa banyak yang bisa ditelan, tapi seberapa lapang kita menahan diri.
Bagi orang Madura, sindiran bisa menjadi cermin. Dan di balik tawa, tersimpan ajaran halus:
“Kenyangkanlah hati sebelum perut, agar dunia tak terasa sempit oleh lapar yang tak bertepi”.
***
Follow akun TikTok dimadura.id untuk update video berita terbaru.
Follow