Oleh: Mazdon
Pemerintah Kabupaten Sumenep baru saja memberikan bantuan alat usaha kepada 48 ibu-ibu yang diistilahkan dengan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di aula kantor BAPPEDA setempat, Selasa (9/7/2024).
Bantuan berupa alat usaha yang disesuaikan dengan jenis usaha masing-masing PEKKA tersebut adalah hasil kolaborasi antara BPRS Bhakti Sumekar, LKKNU, NU dan Pemkab Sumenep.
Di sini, penulis tertarik untuk melihat lebih jauh makna istilah “Perempuan Kepala Keluarga” atau PEKKA yang digagas oleh Pemerintah Kabupaten Sumenep.
“
Istilah ini patut diapresiasi sebagai sebuah pengakuan atas realitas sosial yang ada. Tapi di sisi lain, kita juga harus melihat lebih dalam dan mengkritisi beberapa aspek dari program ini, serta dampaknya terhadap struktur sosial dan peran gender di masyarakat.
“
Secara tradisional, kepala keluarga biasanya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga. Namun, kenyataan hari ini menunjukkan banyak perempuan yang harus mengambil peran ini karena berbagai alasan, seperti kematian pasangan, perceraian, atau karena pasangan tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Mengangkat istilah PEKKA berarti mengakui peran penting perempuan dalam keluarga, tetapi ini juga mengungkapkan kegagalan sistemik yang lebih besar: ketidakmampuan struktur sosial dan ekonomi untuk mendukung semua anggota masyarakat secara merata.
Pemerintah Kabupaten Sumenep, melalui Baznas dan kerja sama dengan berbagai lembaga lainnya, telah memberikan bantuan usaha kepada PEKKA dalam bentuk alat-alat seperti kompor gas, blender, dan mesin penyegel gelas plastik. Bantuan ini tentu membantu, namun ada beberapa hal yang perlu dikritisi.
“
Apakah bantuan alat usaha ini cukup untuk benar-benar mengubah nasib para perempuan kepala keluarga?
“
Bantuan alat usaha hanya menyentuh permukaan masalah. Banyak PEKKA menghadapi tantangan yang lebih mendalam, seperti akses terbatas ke pendidikan dan pelatihan yang memadai, diskriminasi gender di tempat kerja, dan kurangnya jaringan dukungan yang kuat. Tanpa menyelesaikan masalah-masalah mendasar ini, bantuan yang diberikan hanya menjadi solusi sementara yang tidak berkelanjutan.
Selain itu, program ini juga harus diiringi dengan upaya yang lebih serius untuk mengubah pandangan masyarakat tentang peran gender. Selama perempuan masih dilihat sebagai pihak yang seharusnya berada di ranah domestik, setiap upaya pemberdayaan akan selalu berhadapan dengan resistensi sosial. Ini memerlukan perubahan paradigma yang lebih luas dan mendalam, melalui pendidikan dan kampanye kesadaran publik.
BACA JUGA
Dalam konteks ini, penting untuk mengkritisi apakah program-program semacam ini benar-benar berfokus pada pemberdayaan jangka panjang atau hanya merupakan langkah politis yang bersifat sementara. Pemerintah sering kali meluncurkan program-program bantuan sebagai bagian dari agenda politik, yang tujuannya lebih untuk meraih simpati dan dukungan publik daripada benar-benar memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Lebih jauh lagi, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumenep menunjukkan bahwa meskipun ada penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, angka-angka ini masih tinggi.
Penurunan yang terjadi tidak signifikan dan menunjukkan bahwa ada masalah struktural yang lebih dalam yang belum terselesaikan. Program bantuan alat usaha harus dilihat sebagai bagian dari strategi yang lebih besar untuk memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, bukan sebagai solusi tunggal.
Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah dengan meningkatkan keterbukaan informasi terkait data perempuan kepala keluarga, serta perempuan yang bekerja dan tidak bekerja di Kabupaten Sumenep.
BACA JUGA: Èmot ḍâ’ Jhâman Lambâ’, Ka’ḍinto 13 Conto Kèjhung Èn-maènan Bhâsa Madhurâ
Data tersebut seharusnya bisa didapatkan melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil), sebagaimana lumrah diterakan dalam status di KTP. Dengan data yang akurat dan transparan, pemerintah dapat merancang program yang lebih tepat sasaran dan efektif.
Selain itu, keterbukaan informasi ini juga akan memungkinkan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk ikut serta dalam pemantauan dan evaluasi program, memastikan bahwa bantuan benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan.
Selain itu, ada juga risiko bahwa program seperti ini bisa memperkuat stereotip gender yang ada. Dengan memberikan bantuan khusus kepada PEKKA, bisa saja timbul pandangan bahwa perempuan yang menjadi kepala keluarga adalah pengecualian, bukan norma yang bisa diterima. Ini bisa memperkuat pandangan bahwa perempuan harus selalu menjadi pihak yang membutuhkan bantuan, bukan yang bisa mandiri dan kuat tanpa harus menunggu bantuan dari luar.
Kesimpulan sementara, istilah “Perempuan Kepala Keluarga” dan program bantuan usaha dari Pemkab Sumenep menunjukkan pengakuan terhadap realitas sosial yang ada, kita harus lebih kritis melihat efektivitas dan implikasi jangka panjang dari program ini.
Perlu ada pendekatan yang lebih holistik dan strategis untuk benar-benar memberdayakan perempuan kepala keluarga, yang melibatkan perubahan sosial yang mendalam dan berkelanjutan.
Dengan dukungan data yang akurat dan keterbukaan informasi, kita dapat memastikan program ini lebih tepat sasaran dan berkelanjutan. Tanpa itu, program semacam ini berisiko menjadi hanya solusi sementara yang tidak menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi oleh PEKKA.***
Respon (2)