BubunganBudayaFakta UnikGarduKolomKosa KataOkaraPangkèng

Bi-ibi: Hantu Bambu, Rasa Cemas, dan Anak Layar

Avatar Of Dimadura
523
×

Bi-ibi: Hantu Bambu, Rasa Cemas, dan Anak Layar

Sebarkan artikel ini
Bi-Ibi: Hantu Bambu, Rasa Cemas, Dan Anak Layar (Ilustrasi/Doc. Dimadura)
Bi-ibi: Hantu Bambu, Rasa Cemas, dan Anak Layar (Ilustrasi/Doc. Dimadura)

“Sènga’ ekèco’ bi-ibi bâ’na, yâ!”

Awas diculik bi-ibi kamu, ya!

“Jhâ’ lem-malem, mon la para’ adân maghrib, dhuli molè, manna èyerrep bi-ibi.”

Jangan larut malam, kalau sudah hampir azan maghrib, segera pulang, nanti diculik (disembunyikan) bi-ibi.

“Jhâ’ u-jhâu mon amaèna, bi-ibi ngètek neng è ombhut.”

Jangan terlalu jauh kalau main, bi-ibi sembunyi di balik semak.

“Jhâ’ amaènan kadhibi’ân, bi-ibi lèbur no’-ngono’è na’-kana’ ḍâri ḍâlem perrèng.”

Jangan suka bermain sendirian, bi-ibi suka ngintip anak dari dalam rimbun bambu.


Abjad B Ilustrasi Bi-Ibi (Doc. Dimadura)egitu kira-kira orang tua di Madura jaman doeloe sering mengingatkan anak-anaknya sebelum berangkat bermain. Termasuk penulis yang lahir tahun 1987.

Paramaos yang hidup di era 1990-an ke bawah pasti tahu ini. Bahwa dalam Bahasa Madura, Bi-ibi adalah nama mahluk halus yang konon dipercaya sebagai penghuni rimbunan bambu.

Secara denotatif, ia makhluk gaib yang tugasnya tidak neko-neko: menyembunyikan anak kecil yang terlalu asyik bermain sendirian. Ia tidak mengganggu orang dewasa, tidak menggoda remaja, dan tidak peduli pada sapi yang hilang dari kandang. Pokoknya, targetnya cuma satu: bocah nyasar.

Namun secara konotatif, Bi-ibi bisa dimaknai bukan sekadar hantu. Ia adalah metafora. Perwujudan dari ketakutan kolektif yang dikemas dalam bentuk narasi turun-temurun. Bi-ibi adalah cara orang tua menanamkan rasa waspada, batasan, dan perlindungan—tanpa perlu kuliah psikologi perkembangan anak.

Dengan bahasa lain, bi-ibi adalah instrumen budaya untuk mengingatkan anak agar pulang sebelum gelap, agar tidak terlalu jauh dari rumah, agar tidak terlalu bebas men-tasharruf-kan waktu bermain mereka.

Sekilas, penulis merasa takjub dengan cara kerja para orang tua di Madura menegur anak mereka dengan hanya menyebut nama bi-ibi. Sangat efisien.

Hanya cukup dengan satu kalimat, “Sènga’ èyèrrep Bi-ibi,” maka anak yang tadinya susah diajak pulang langsung lari seperti dikejar tim SAR.

Bandingkan dengan zaman sekarang, di mana satu anak bisa betah di teras sampai magrib asal masih ada sinyal WiFi. Bi-ibi akan kesulitan mengakses anak-anak zaman ini—karena ia tidak punya akun YouTube dan tidak tahu cara masuk ke TikTok.

Dulu, anak-anak disembunyikan oleh hantu. Sekarang, mereka disembunyikan oleh algoritma. Bedanya, Bi-ibi mengintai dari balik pohon, sementara media sosial mengintai dari balik layar. Tapi esensinya mirip: sama-sama menjauhkan anak dari dunia nyata.

Namun, mungkin yang lebih menyeramkan justru bukan Bi-ibi, tapi bagaimana kondisi anak yang kehilangan spontanitas. Anak-anak zaman dulu takut hantu, tapi tetap bermain di alam. Anak-anak sekarang tidak takut apa pun, tapi justru enggan keluar rumah. Dulu, kita takut rimbunan bambu. Kini, kita takut tidak punya kuota.

Jika Bi-ibi dulu adalah penanda batas antara aman dan rawan, antara rumah dan hutan, kini kita butuh sosok baru—sebut saja Bi-ibi digital. Entitas yang bisa menyentuh kesadaran anak-anak akan pentingnya interaksi nyata, bahaya konten manipulatif, dan perlunya jeda dari layar.

Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk memeluk mereka dengan versi baru dari peringatan lama.

Karena pada akhirnya, baik di bambu atau di browser, setiap anak tetap perlu dijaga. Dan siapa tahu, mungkin di balik notifikasi yang terus muncul itu… ada Bi-ibi yang sudah upgrade, sedang mencoba ikut Zoom Meeting parenting.

Gambar Ilustrasi Kolom Jenaka Bi Ibi Vs Bu Ibu
Kolom

OKARA, DIMADURA — Membaca kolom Mazdon yang berjudul “Bi-ibi: Hantu Bambu, Rasa Cemas dan Anak Layar” di postingan media ini sebelumnya, penulis kok jadi tertarik ingin nulis kolom serupa. Ada…

Gambar Ilustrasi Badenggung, Yang Dilambangkan Dengan Tokoh Bagong, Anak Semar, Dalam Dunia Pewayangan (Doc. Dimadura)
Kosa Kata

KOSAKATA, DIMADURA – “O… Badenggung reh!” Demikian istilah serupa mantra yang dulu sering penulis dengar dari mulut-mulut warga kampung Desa Bangkal, Sumenep, Madura, terutama di era 1990-an. Kalimat itu bukan…