OKARA, DIMADURA — Membaca kolom Mazdon yang berjudul “Bi-ibi: Hantu Bambu, Rasa Cemas dan Anak Layar” di postingan media ini sebelumnya, penulis kok jadi tertarik ingin nulis kolom serupa.
Ada sesuatu yang segar dan lucu dalam cara Mazdon menggali makna kata “bi-ibi”; makhluk halus penghuni bambu dalam—entah mitos atau fakta—di kalangan masyarakat Madura.
Dalam hemat penulis, kisah “bi-ibi” seperti bukan horor lokal belaka, tapi barangkali bisa dimaknai sebagai pintu masuk orang tua jaman dulu dalam mengatur ritme hidup anak—dari main, makan, sampai salat magrib.
Mantengin kosakata bi-ibi yang oleh Mazdon dikaitkan dengan dunia parenting skill ibu-ibu, penulis kok jadi mikir, apa bedanya “Bi-ibi” dengan “Bu-ibu”?
Bi-ibi, bahwa kalau anak-anak dulu takut diculik hantu bambu, dan anak-anak sekarang, bukankah lebih takut diculik Wi-Fi-nya oleh bu-ibu?
Ya, di tengah semua itu, ada tokoh sentral yang terus eksis di lintas generasi: bu-ibu alias emak-emak. Bedanya, mereka bukan makhluk halus—tapi justru terlalu nyata untuk dihindari!
Anak Bu-ibu
Yap. Dulu, waktu kecil, kita punya satu ketakutan universal: Bi-ibi. Hantu bambu yang katanya suka nyulik anak kecil yang main sendirian. Biasanya muncul pas magrib, pas suasana rumah mulai remang, dan pas ibu belum kelar masak.
Bi-ibi ini misterius. Dia nggak pernah muncul di FYP, nggak pernah bikin konten YouTube, tapi eksistensinya real banget di kepala anak-anak zaman dulu. Sekali dengar suara bambu goyang ditiup angin, langsung lari tunggang langgang ke rumah.
Apalagi kalau sambil diselipin peringatan khas emak-emak Madura: “Yâ, jhâ’ dhuli ngala’ udu’ bâ’na yâ, kamaèn hapè jarèya terros.. mènta ancor, ancor hapè jarèya!” hahaha…
Sekarang, Bi-ibi udah mulai kalah pamor. Bukan karena dia pensiun, tapi karena udah ada saingan berat: Bu-ibu. Iya, para emak zaman sekarang yang punya akses ke HP, Wi-Fi, dan grup WhatsApp wali murid.
Mereka lebih horor dari hantu mana pun, karena bisa nyulap main game jadi kegiatan haram, dan tahu semua trik sembunyiin tab incognito.
Kalau Bi-ibi itu hantu fiktif, Bu-ibu adalah kenyataan. Dan yang lebih seram, Bu-ibu bisa muncul kapan aja. Lagi push rank? Tiba-tiba pintu dibuka: “Kamu belum nyapu ya?” Lagi scrolling TikTok? “Udah belajar belum?” Nggak ada escape room buat ini, Gaes.
Tapi jujur ya, walau suka bikin deg-degan, Bu-ibu juga penyelamat kita. Mereka itu semacam versi upgrade dari Bi-ibi, tapi dengan sentuhan parenting zaman now. Dulu anak disuruh pulang karena takut diculik hantu bambu, sekarang disuruh berhenti mantengin layar biar nggak diculik algoritma.
Dan hey, Sobat Auto Mager, coba pikir: mungkin Bi-ibi itu cuma simbol. Simbol dari rasa waswas orang tua kalau anak-anaknya terlalu jauh dari rumah, dari nilai, dari realita. Dulu pakai horor bambu, sekarang pakai ancaman cabut Wi-Fi. Beda zaman, beda cara.
Bapak Bu-ibu
Lanjut ya, Gaes! Hahaha… baca subjudul di atas, penulis kok jadi ketawa sendiri duluan ya… hahaha… mari lanjut!
Jujur! Setiap kali dengar istilah “bu-ibu”, yang langsung terbayang bukan cuma emak-emak rempong yang, sekali bicara, bisa menggetarkan seluruh ekosistem rumah tangga. Anak-anak, bahkan bapaknya anak, bisa langsung mendadak kalem alias diam tak berkutik. Haha..
Ya, para “bapak bu-ibu”! Golongan ini kadang berlagak garang di luar, tapi di rumah… suara istri sedikit naik, langsung ingat Tuhan. Itulah kenapa istilah “suami-suami takut istri” itu bukan mitos, tapi realitas sosial yang diamini seluruh bapak-bapak se-Indonesia, meski dalam hati.
Iya, kamu nggak salah baca. Bapak-bapak sekarang pun ikut kena getahnya. Kalau dulu ada istilah suami-suami takut mertua, zaman now ganti jadi suami-suami takut istri. Bukan karena istri galak, tapi karena bu-ibu itu multitasking: bisa masak, kerja, rapat Zoom, nyuapin anak, sambil nyusun rencana reformasi rumah tangga.
Sementara bapak-bapaknya? Masih scroll marketplace, milih stang motor sambil bilang, “Loh, anak kita udah kelas berapa, ya?”
Lihat aja, pas anak nggak pulang-pulang, siapa yang keliling kampung nyari? Bu-ibu. Pas nilai raport jeblok, siapa yang langsung meeting sama guru BK? Bu-ibu. Bapak-bapak biasanya ngangguk dari kejauhan, sok serius, tapi sambil cek saldo e-wallet. Dalam rumah, mereka kadang lebih kayak ornament: ada tapi nggak selalu terasa. Duh, maaf ya Pak, ini cuma satir sayang.
Dan hey, Sobat Nge-lag, mari kita akui, kalau dulu bi-ibi adalah alat kontrol sosial yang penuh nuansa mitos, maka kini bu-ibu adalah bentuk konkret dari kontrol realita. Mereka itu semacam firewall rumah tangga.
Nggak ada yang bisa lolos, bahkan notifikasi chat tersembunyi pun bisa mereka deteksi. Mereka bukan ‘hantu’ rumah, tapi pelindung hidup keluarga. Ya, semacam reminder hidup Anda!
Jadi, siapa sebenarnya yang lebih horor?
Bi-ibi yang katanya tinggal di bambu, atau Bu-ibu yang bisa nongol di semua notifikasi hidup anak dan bapak?
Dan kalau kamu termasuk bapak-bapak yang makin sering bilang “iya, Bu…” tiap hari, selamat! Kamu udah resmi gabung klub suami-suami takut istri.
Tapi tenang, itu bukan kutukan. Justru itu adalah tanda kalau kamu masih punya rumah yang hidup—dan istri yang waras. Salam emak-emak! ***