Lanjutan Seri Cerpen: “Jejak Malam yang Terlupakan” Bagian 1 & 2
Bagian 3: Kembali ke Pelukan Octa
Malam itu, aku memutuskan untuk kembali ke tempat yang sama, ke tempat di mana semuanya dimulai. Tak peduli berapa banyak pikiran yang mengatakan untuk berhenti, ada dorongan yang lebih kuat di dalam diriku yang memaksaku melangkah lagi.
Entah mengapa, aku merasa harus menemuinya, harus mengerti apa yang membuat Octa begitu berbeda dari wanita penghibur lainnya.
Sesampainya di klub, suasananya tak jauh berbeda dari malam sebelumnya. Lampu neon berkelap-kelip, musik DJ berdentum menghentak, dan aroma alkohol bercampur dengan asap rokok memenuhi udara. Aku memasuki tempat itu dengan langkah berat, merasa asing sekaligus akrab. Di sudut ruangan, Octa sedang duduk di meja bar, tersenyum ketika melihatku datang.
“Mas, kau kembali,” sapanya dengan nada ringan, seolah dia sudah tahu aku tak akan bisa menjauh begitu saja.
Aku tersenyum tipis, mendekatinya. “Kau tahu aku pasti datang lagi.”
Dia mengangguk pelan, lalu mengisyaratkan bartender untuk mengisi gelasku. “Bukan pertama kali aku melihat ini, Mas. Banyak yang datang dengan janji untuk tidak kembali, tapi akhirnya mereka kembali juga.”
“Kau bukan yang pertama.”
Aku duduk di sebelahnya, meneguk bir yang baru saja dihidangkan. “Tapi kenapa aku merasa ada yang berbeda denganmu?”
Octa tertawa kecil. “Mungkin karena kau membiarkan dirimu merasa berbeda, Mas. Wanita seperti aku sudah tahu cara membuat pria seperti kau jatuh. Itu trik lama.”
“Tapi kau tak seperti mereka,” bantahku. “Ada sesuatu di dirimu yang tak bisa kulupakan.”
Octa terdiam sejenak, lalu memalingkan wajahnya dari pandanganku. Ada perubahan dalam sorot matanya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar permainan atau rayuan. Setelah beberapa saat, dia akhirnya berbicara, namun kali ini nadanya lebih serius.
“Mas, kau harus tahu. Aku bukan siapa yang kau kira. Aku hanya wanita yang berusaha bertahan hidup. Setiap orang punya kisahnya masing-masing, dan aku menjalani hidup ini karena… aku tak punya pilihan lain.”
Dia menunduk, memainkan ujung gelasnya dengan jemarinya yang ramping.
Aku menatapnya, mencoba memahami kata-katanya. “Tapi mengapa aku merasa… kau tak bahagia?”
Dia tersenyum pahit. “Bahagia? Apa itu, Mas? Bahagia itu ilusi. Seperti yang kau lihat di sini—lampu, musik, minuman, dan kami—semuanya hanya fatamorgana. Kami membuat orang percaya bahwa semuanya baik-baik saja, padahal di balik itu semua, ada rasa sakit yang tak terlihat.”
Perkataan Octa menyentakku. Aku ingin berkata sesuatu, namun rasanya semua kata-kata itu terlalu dangkal untuk diucapkan. Di balik semua penampilannya yang ceria dan menggodaku malam itu, ada luka yang dalam, dan aku tiba-tiba merasa bodoh karena pernah berpikir bisa memahami dirinya hanya dalam satu malam.
“Apa kau ingin keluar dari semua ini?” tanyaku pelan, mencoba menyelami pikirannya.
Octa memandangku, seolah pertanyaanku adalah sesuatu yang sulit dijawab. “Kadang, aku berpikir begitu. Tapi… entah bagaimana, aku terjebak. Mungkin terlalu dalam. Dan sekarang, aku tak yakin apakah aku bisa keluar.”
Aku menatap matanya, ada rasa getir di sana yang tak bisa kugambarkan. “Kalau begitu, mengapa kau tetap di sini? Mengapa tidak mencoba kabur?”
Dia menunduk lagi, suaranya terdengar pelan. “Karena kabur bukan berarti masalahku selesai. Dunia luar tak seindah yang kau bayangkan, Mas. Aku sudah pernah mencoba, dan aku gagal. Setiap kali aku keluar, dunia itu menolakku, mendorongku kembali ke sini.”
Aku merasakan rasa sesak di dada, seperti aku mulai memahami sedikit dari beban yang dia pikul. Meski kami berasal dari dunia yang berbeda, ada bagian dari ceritanya yang kurasakan begitu dekat. Mungkin karena aku pun sedang lari dari sesuatu dalam hidupku sendiri.
“Apa kau percaya pada kesempatan kedua?” tanyaku tiba-tiba, lebih pada diriku sendiri daripada padanya.
Dia tertawa pelan. “Kesempatan kedua? Mas, dalam hidup ini, kadang kita hanya mendapatkan satu kesempatan, dan ketika kita melewatkannya, tak ada jalan kembali.”
Aku terdiam mendengar jawabannya. Di satu sisi, aku ingin mempercayai bahwa dia salah—bahwa selalu ada kesempatan untuk memperbaiki sesuatu. Tapi di sisi lain, aku tahu dunia tak selalu memberimu kesempatan kedua. Dan mungkin, seperti yang Octa katakan, dia sudah melewati satu-satunya kesempatan itu.
“Tapi kalau ada cara… untuk keluar dari semua ini, apa kau mau mencoba lagi?” aku bertanya, meski aku sendiri ragu pada jawabannya.
Octa memandangku lama, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu, Mas. Mungkin. Tapi aku tak mau lagi bermimpi. Hidupku sudah terlalu keras untuk percaya pada mimpi.”
Suasana di antara kami tiba-tiba menjadi sunyi, hanya dentuman musik dan riuhnya suara di klub yang menjadi latar. Aku merasa, untuk pertama kalinya, aku tak lagi melihat Octa sebagai wanita penghibur yang kukenal di malam pertama. Dia adalah seseorang yang lebih dalam, seseorang yang terjebak di antara harapan dan kenyataan yang menghancurkan.
“Aku ingin menolongmu,” kataku, hampir tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulutku.
Dia menatapku tajam, seakan berusaha memahami maksudku. “Tolong? Kau mau menolong wanita sepertiku? Kau tidak tahu apa yang kau bicarakan, Mas.”
“Tidak,” jawabku. “Aku mungkin tidak tahu banyak tentangmu, tapi aku tahu satu hal—aku tak bisa melihatmu seperti ini, terjebak di tempat ini. Kau berhak untuk keluar, untuk hidup dengan lebih baik.”
Octa menggeleng, lalu tersenyum tipis. “Kau pria yang baik, Mas. Tapi percayalah, dunia ini tidak sesederhana itu. Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang.”
Malam itu, perbincangan kami terus berlanjut, semakin dalam dan kompleks. Tak lagi hanya soal rayuan atau godaan, tapi tentang kehidupan, mimpi yang patah, dan luka yang tak terlihat. Aku semakin terseret dalam dunia yang Octa ciptakan, dunia yang penuh dengan dilema dan rasa sakit.
Namun, di balik semua itu, ada satu pertanyaan yang terus menghantuiku—apakah aku benar-benar bisa menyelamatkan Octa, atau aku hanya sedang terseret dalam ilusi lain yang lebih berbahaya?
***
Bersambung ke…
Bagian 4: Antara Harapan dan Realitas
Respon (1)