KOLOM, OKARA DIMADURA– Innalillahi wa inna ilaihi raji’un — mungkin itulah kata yang paling tepat untuk diucapkan kali ini. Pagi ini, Jumat (25/4), saya dikejutkan dengan warta wafatnya K. Imam Hendriyadi, seorang dosen di Ma’had Aly Al-Karimiyah, pengampu materi at-tafsir wal mufassirun.
Sebenarnya, tidak banyak yang bisa saya tuliskan tentang bagaimana kehidupan beliau, sepak terjangnya dalam dunia pendidikan, karena kami hanya bersua selama dua tahun — itupun terbatas pada jam kuliah.
Kami hanya akan sedikit bercerita tentang sekelumit sosok beliau sebagai seorang dosen yang alim, hafal Al-Qur’an, sabar, dan begitu semangat dalam mengajar. Masih segar dalam ingatan, ketika satu bulan silam — tepatnya tanggal 19 Juni, sekitar pukul 06.50 — beliau menelepon saya, bertanya tentang kapan Ma’had Aly Al-Karimiyah masuk (waktu itu liburan semester). Kira-kira begini isi percakapan kami:
“Assalamualaikum, Mas Tola’.” (Beliau biasa memanggil saya dengan demikian.)
“Waalaikum salam, Kyai.”“Kuliahan kapan masuknya?”
“Akhir Juli, Kyai, karena sekarang masih libur semester.”“Oooh begitu… yang materi saya, apakah ada ulangannya?”
“Untuk materi Ajhunan tidak ada, Kyai.” (Memang waktu semester itu beliau sudah izin sakit, sempat diopname ke rumah sakit, dan rencananya akan dirujuk ke RS Surabaya.)“Oooh, ya sudah. Untuk materi saya nanti nyusul saja ketika sudah masuk.”
“Siap, Kyai. Nanti saya kabarkan kepada teman-teman.”“Iya, iya. Terima kasih, Mas Tola’. Maaf mengganggu waktunya.”
“Sami-sami, Kyai. Bhunten, tidak mengganggu.”“Assalamualaikum.”
“Waalaikum salam.”
Dan itulah komunikasi terakhir saya dengan beliau.
Memang, dibandingkan teman-teman yang lain, saya terbilang cukup sering berkomunikasi dengan beliau untuk menanyakan apakah beliau akan mengajar atau tidak.
Beliau juga biasa mengabari saya seumpama sedang berhalangan masuk, dan beliau kerap kali meminta teman-teman untuk berdiskusi ketika beliau tak bisa hadir — yah, meskipun kadang tidak saya laksanakan. (Duh, betapa berdosanya saya kepada beliau.)
Kini, ujian susulan itu tidak akan pernah tersusul. Karena beliau telah dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya yakin, semangat dalam jiwanya masih menyala — tapi raga beliau telah mencapai batasnya.
Jujur saja, kami kehilangan. Dan saya pribadi, teramat kehilangan sosok guru yang alim, sabar, dan telaten dalam menyampaikan materi.
Mungkin tidak akan ada lagi sosok beliau yang kadang menggojloki kami dengan perkataan, “Mahasiswa jurusan tafsir kok gak hafal Al-Qur’an…”
Dan, mungkin tidak akan ada lagi sosok yang menghubungi saya di hari Rabu untuk bertanya apakah kuliahan masuk. Panggilan “Mas Tola’” itu akan selalu saya rindukan.
Singkatnya, kami belum siap ditinggalkan — tapi mungkin inilah yang terbaik untuk beliau.
Terakhir, Al-Fatihah untuk beliau.
*) Tola’ Irraksa — Mahasiswa Ma’had Aly Al-Karimiyah & Santri Ponpes Parama’an, Manding