GarduSejarah

SEJARAH NUSANTARA

Avatar Of Dimadura
706
×

SEJARAH NUSANTARA

Sebarkan artikel ini

Warisan Majapahit dalam Semangat Kebangsaan, Inspirasi dari Kakawin Sutasoma

Sejarah Nusantara | Warisan Majapahit Dalam Semangat Kebangsaan, Inspirasi Dari Kakawin Sutasoma (Foto: Istimewa)
Sejarah Nusantara | Warisan Majapahit dalam Semangat Kebangsaan, Inspirasi dari Kakawin Sutasoma (Foto: Istimewa)

Oleh: Tadjul Arifien R *)


Logo Dimadura.idKitab Kakawin Sutasoma merupakan benih peradaban dan kunci keberadaan bangsa Indonesia. Sastra yang melukiskan tentang cerita perjuangan, pengorbanan, kasih sayang, welas asih dan gambaran keindahan akulturasi agama dalam kisah Pangeran Sutasoma menghadapi Raja Purusadha yang membawa maha pralaya.

Pangeran Sutasoma adalah jelmaan Sang Buddha melawan Raja Purusadha jelmaan Siwa yang merupakan Kalakni Ludra. Kalakni Ludra adalah Raja Sakti yang hendak mengorbankan seratus Raja untuk Bathara Kala, namun nahas ketika berhadapan dengan Pangeran Sutasoma, jelmaan Sang Buddha yang memiliki senjata ampuh, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.

Sekejap saja amukan Sang Kalakni Ludra lebur oleh Cinta dan Kewelas-asihan. Lalu saat sang Kalakni Ludra kembali pada wujud semula, Purusadha—Sang Pangeran menyuruh sang Raja pemakan manusia itu untuk memakan dirinya.

Namun apa yang terjadi?

Setelah memakan Sang Pangeran, Raja Purusadha terselimuti kedamaian energi kewelas-asihan Sang Buddha, lenyap dan meleburlah keduanya menjadi satu keutuhan, manunggal:


Tidaklah mungkin kekuatan Siwa menghancurkan Buddha, karena pada hakikatnya keduanya sama, bahwa wujud Buddha dan Siwa berbeda, namun bagaimana bisa mengenal perbedaan dalam selintas pandang. Mereka memang berbeda- beda namun hakikatnya sama: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma Mangrwa, berbeda tapi adalah satu jua, karena tiada kebenaran yang mendua.

Ringkasan Sastra di atas merupakan gambaran kisah toleransi dan gotong royong yang mampu membawa kekuatan. Dengan kewelas-asihan, pengorbanan, dan toleransi, kesempurnaan akan melingkupi perjalanan setiap jiwa menuju Sangkan Paraning Dumadi, kemanunggalan dalam segala aspek; bukti kehebatan Mpu Tantular, salah satu cendekiawan Nusantara dalam merekam jejak  peradaban leluhur bangsa kita, dalam karyanya: Kakawin Sutasoma.

Warisan Majapahit dan Sriwijaya

Pada 1945,  kemenangan Sekutu pada perang dunia ke II – menumbangkan kekuasan Jepang atas Asia Pasifik. Tiga bulan sebelum Bom Atom memporak- porandakan Hiroshima dan Nagasaki, Panitia perumus kemerdekaan atau  BPUPKI terbentuk.

Mereka berkejaran dengan waktu, karena Belanda yang membonceng Sekutu akan bisa merebut kembali Nusantara karena dianggap rampasan perang dari Jepang atas kekalahannya. Indonesia harus segera berdaulat, namun untuk merumuskan konsep negara sebesar ini tidaklah mudah.

Untungnya, ada Kakawin Sutasoma yang telah menggambarkan model Negara Berdaulat: Majapahit—sebagai konsep serta pedoman utama dalam berbangsa dan bernegara. Dari perjalanan gelap terangnya bangsa bernegara, Pahlawan kita sesegera mungkin menyerap inspirasi dari jejak Majapahit.


BACA JUGA:


Sejumlah warisan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika; Dasar kekuatan perjuangan dalam kewelas-asihan, pengorbanan, dan kesatuan atas keberagaman. Pada 29 Mei 1945 Moch Yamin menyatakan konsep kebangsaan dan kenegaraan yang akan dirumuskan adalah Indonesia ke 3, setelah Sriwijaya dan Majapahit. Sesegera Ir. Soekarno memilah rumusan yang terinspirasi dari  jejak Sriwijaya dan Majapahit tersebut untuk mengusung tema konsep kebangsaan dan kenegaraan. Kesatuan atas semua keberagaman, bahasa, suku, ras, dan adat budaya: Binneka Tunggal Ika!
  2. Pancasila dari kitab Kakawin Sutasoma (1369 M), pupuh CXLV,2 yg berbunyi: Bwat Bajrâyana pancasila ya gegen denteki halwalupa, yang artinya: Ajaran Vajrayana janganlah pernah meninggalkan ajaran lima moralitas.
  3. Nama Nusantara sebagai penampung keberagaman. Nama Nusantara sudah ada sejak zaman Singhasari dalam prasasti Mula Malurung. Dicetuskan oleh Prabu Kertanegara dalam gagasan Cakrawala Dwipantara sebagai tema ekspansi kekuasaan dan dilanjutkan Mahapatih Gajah Mada beserta Sri Ratu Dyah Tribwana Tungga Dewi (Ratu  ke III Majapahit) dalam nama Nusantara. Nama ini dimunculkan kembali pada Kongres Pemuda th 1928 oleh Ki Hajar Dewantara. Walau tidak dijadikan nama resmi negara, Nusantara tetap dipakai sebagai nama yang merujuk kepada luasnya wilayah dan keberagaman negara kita satu paket dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
  4. Sang Saka Merah Putih; selain melambangkan arti merah sebagai keberanian dan putih sebagai kesucian, lambang merah putih sudah menjadi dasar legitimasi nagara Majapahit dan sudah pernah dikibarkan di era Singhasari. Tercatat pada prasasti Kudadu dan Serat Pararaton yang dikeluarkan Dyah Wijaya di kala bertempur melawan pasukan Jayakatwang (Daha). Sebelumnya, lebih jauh lagi, lambang saka merah putih dalam jejak ajaran jawa kuno dipakai untuk simbol biyung (ibu/pratiwi)  dan bopo (ayah/angkasa)—merah lambang darah dan putih lambang mani (kama bang dan kama pethak), sebagai hakikat awal mula keberadaan manusia/jabang bayi, dimana sampai sekarang, masih dipakai dalam tradisi selamatan hari lahir, konsep Jenang Sengkala. Ada yang bilang bendera kita adalah hasil dari sobekan bendera Belanda yang dihilangkan warna birunya. Ya boleh saja meyakini itu, tapi kalau itu yang diyakini, tentu kita Indonesia tak akan diterima oleh Dunia, karena warna bendera merah putih sudah dipakai Negara Monako mulai tahun 1881. Nah, untungnya para pahlawan kita mampu menegaskan bahwa kita adalah bangsa yang sudah pernah ada, dan berdiri lebih dulu dengan legitimasi Majapahit, setidaknya merah putih ini sudah ada sejak tahun 1292 Masehi.
  5. Garuda/Garudeya merupakan kendaraan Betara Wisnu, sebagai lambang semangat persatuan, kewibawaan, dan kedaulatan. Kisah Garudha ini sudah banyak dipahatkan di candi-candi era Singhasari dan Majapahit, seperti candi Kidal, Sukuh, dan Cetha. Maka ketika sidang BPUPKI th 1945 guna menyusun UUD sebagai konstitusi negara maka ditetapkanlah Garuda sebagi lambang negara kita.

Nah, apa sih kaitannya kemerdekaan bangsa kita dengan eksistensi Majapahit dan Sriwijaya?

Pahlawan kita telah membuktikan, bahwa Indonesia bukanlah wilayah tak beradab/berbudhi, yang kemudian diberadabkan oleh Belanda maupun negara asing lainnya, sehingga bisa dikuasai para kolonialis seperti yang terjadi di Amerika dan Australia. Justru, eksistensi Majapahit sebagai kerajaan yang pernah berdaulat telah memperkuat bangsa Indonesia agar berdaulat, tidak menjadi bangsa yang dianeksasi oleh bangsa lain.

Indonesia berhak menuntut Dunia Internasional untuk mengakuinya. Inilah pentingnya memahami sejarah jejak leluhur kita. Majapahit telah menjadi jangkar peradapan puncak kejayaan klasik sejarah perjalanan bangsa kita.  Bukti keberadapan dan kejayaan tercatat pada guratan Kakawin Desawarnana:

Bhrastang durjana sunya kaya kumeter mawedi giri- giri, de sri Rajasa rajabhupati sang angdiri  ratu ri Jawa, suddambek sang asewa tan salah asing pawarah ira tinut, sok wiradhika mewu yeka magawe resa ning ari teka. Ramyang sagara parwwateki saka punpunan  i sira lengong.


(Pupuh CXLVII: 1- 4)

Terbukti, kerajaan Majapahit telah mewarisi sikap budhi sebagai penyokong keeksistensian di masanya dengan mengedepankan:

1. Penegakan Hukum
2. Aparatur yang jujur tidak korupsi
3. Perlindungan teritori yang kuat
4. Anti Intoleransi.

Begitulah sejarah bangsa kita yang harus dipahami, pilah-pilah, inspirasi dan sebagai navigasi kita berjalan, berkarya, dan melangsungkan kehidupan di atas serpihan tanah surga yang jatuh ini.

Tidak perlu kembali kepada kebangkitan Majapahit, karena sekarang sudah ada di depan kita sekarang, saat ini, sebagai Indonesia yang kita sebut rumah. Tinggal ditingkatkan taraf eksekusinya saja, dimulai dari hal-hal kecil; kedepankan cinta kasih, toleransi, gotong royong, dan  terbuka pada setiap hal baru, untuk menatap masa depan yang lebih selaras. Dengan tidak berkiblat pada ajaran gurun pasir yang tidak beradab.

Jayalah Nusantaraku!

___ ___ ___

Referensi:

  • Prasati Kudadu
  • Prasasti Mula Malurung
  • Kakawin Sutasoma
  • Kakawin Desawarnana Nagarakrtagama
  • Serat Pararaton
  • Risalah Sidang BPUPKI, dll sebagainya.

Budayawan Sumenep, Tadjul Arifien R. (Foto: Dokumen Dimadura.id)*) Tadjul Arifien R, Seorang budayawan yang lahir di Sumenep, tanggal 6 Juni 1952. Aktif berorgansisasi. Sejak tahun 1965, ia bergabung di KAPPI Kabupaten Sumenep. Selanjutnya ia sering  bertualang dari organisasi satu ke organisasi lain seperti GSNI, IPNU, dan lain sebagainya. Pada tahun 1996  mendirikan  LSM  INSANI  yang bergerak dibidang Hukum, Pendidikan, Kesehatan dan Lingkungan Hidup.

Berkenalan dengan dunia tulis menulis sejak tahun 1975, diawali dengan penulisan Silisilah Sentananatapraja Panatagama ing Jawi Dwipantara.

Putra Sumenep asli yang tidak pernah menginjak dunia perguruan tinggi ini merupakan pemerhati sejarah dan budaya. Sejumlah buku yang ditulisnya dan sudah terbit diantaranya adalah sebagai berikut:

Dinasti Rakyan Sanjaya (1996), Biography & Silsilah KH. Zainal Arifin (1996), Silsilah Kiai Aryo Suroadimenggolo Semarang (1997), Adipati Arya Wiraraja dalam Sejarah Pemerintahan Kabupaten Sumenep (2002), Sang Adipati Arya Wiraraja (2007), Biografie KH Hasyim Ali (2008), Pengembangan Industri Ukir-ukiran Karduluk/Penelitian (2009), Sumenep dalam Lintasan Sejarah (2012), Astatinggi (2013), Langgang Arsitektur Tradisional Sumenep (2017), Rokat Panḍhâbâ (2018), Arya Wiraraja, Tongghâk Ngadhegghâ Nagharâ Majhâpaèt (2018), Keris Sumenep (2019, Perjuangan Rakyat Sumenep 1945-1950 (2022), MAHABHARATA, Akulturasi Epos India ke Nusantara, dari Hindu ke Islam (2022), SUMENEP, dalam bingkai adat Keraton (2022), dan Kajian Situs Historis & Mitologi DINASTI ARYA WIRARAJA, Menuju puncak kejayaan Majapahit (2022), dan banyak lagi karya tulisnya yang dimuat di media, berupa opini, catatan sejarah, budaya dan lain sebagainya.

Di masa mudanya, Tadjul Arifien R sering bergabung dengan kesenian Wayang Orang, Ketoprak Madura dan Lodruk, dimana dalam beberapa kesempatan, ia dipercaya sebagai sutradara. Sering menjadi pembicara atau narasumber materi sejarah, budaya dan sastra Madura,  baik   skala   lokal, regional, nasional   maupun internasional. Setumpuk sertifikat serta  penghargaan telah  diterimanya, baik di tingkat  lokal, provinsi, nasional maupun level internasional.

Gambar Buku Ilustrasi Saloka Kona Ban Parebasan Madura (Doc. Dimadura)
Pangkèng

PANGKÈNG SASTRA, DIMADURA – Badan kaula aromasa ja’ banget parlona saloka tor parebasan Madura paneka nojju kasampornaan masalah pandhidhigan e nagara Indonesia, langkong-langkong e Songennep Madura. Mela gapaneka, arassa barenteng…

Wawancara Bahasa Madura Jurnalis Dimadura (Mazdon) Dengan Tadjul Arifien R
Congkop

CONGKOP, DIMADURA – Di tengah derasnya arus modernisasi, pelestarian bahasa dan budaya daerah menjadi tantangan yang kian berat. Di Madura, salah satu sosok yang gigih memperjuangkan kelangsungan bahasa dan sastra…

Ilustrasi Tatakrama Ngadhep Rato Agung Majapaet
Gardu

/ Esalen tor eyanggit sareng Tadjul Arifien R. GARDU SEJARAH, DIMADURA– Dyah Wijaya otaba Sangramawijaya jumenneng Rato Agung e karatowan agung Majapaet kalaban abiseka otaba jajuluk: Prabu Sangramawijaya Sri Maha…

Cover Bunga Rampai Salinan Surat Penganugerahan Sultan Abdurrahman Dari Gubernement Hindi Nederland (Foto: Doc. Dimadura)
Gardu

GARDU SEJARAH, DIMADURA – Sejarah pemerintahan di Sumenep mencerminkan dinamika politik yang terjadi di Madura sepanjang abad ke-13 hingga abad ke-20. Bermula dari pemerintahan raja, berlanjut ke kepemimpinan adipati, hingga…