TARÈKA, DIMADURA – Istilah peribahasa Madura “Adigâng Adigung Adiguna” merupakan lanjutan dari sebuah petuah atau pepatah bijak ala sesepuh di Madura yang berbunyi:
“Rèng Madhurâ ta’ kèngeng ghâḍhuwân pangghâliyan adigâng adigung adiguna, sabân manossa coma dhârma”.
Artinya, bahwa orang Madura tidak boleh memiliki sifat congkak, sombong atau takabur. Sebab manusia hanyalah darma; makhluk hidup ciptaan Allah yang mengemban tugas atau kewajiban untuk melaksanakan kebajikan.
BACA JUGA:
- 15 Pantun Cinta Bahasa Madura yang Lagi Viral di Youtube
- 21 Pantun Bahasa Madura tentang Pangantan Anyar
- Lawas tapi Manis, Inilah 14 Pantun Madura yang Kalian Cari
Peribahasa Madura tersebut adalah petuah sesepuh di Madura untuk kita yang menyandang status sebagai orang Madura. Maka seyogyanyalah makna petuah ini kita ikat kuat dalam hati; tiap kali hendak berpikir untuk melakukan apapun; kita jaga hingga batin telah benar-benar memeluknya erat.
Namun bagaimana kenyataan itu zaman ini? Sepertinya petuah bijak di atas sudah mulai rapuh, lusuh, gugur berserakan. Seolah dalam diri orang Madura zaman ini, tidak lagi terpancar moral, tabiat, atau karakter yang megindikasikan isi pesan “Adigâng Adigung Adigun”, terutama kalangan anak muda.
Orang Madura seharus tetap menjaga amanat penting dalam petuah para sesepuh di Madura. Rupanya budaya-budaya asing telah masuk melumat watak asli orang Madura.
Apa yang dimaksud Peribahasa Adigâng Adigung Adiguna?
Adigâng
Kata Adigâng ini biasanya diucapkan kepada orang yang sombong nan congkak mengandalkan kebesaran dirinya; bisa kecantikan atau ketampanan, kekayaan, kepandaian, kegagahan tubuh, atau pangkat yang melekat pada dirinya.
Dirinya merasa paling kuat, sebagaimana dalam peribahasa Madura: Aora’ kabâ’ atolang bessè; berurat kawat bertulang besi; bahwa tidak ada orang lain selain dirinya.
“Ètatta’ ta’ mèḍḍhi’, ètèngghâr ta’ meḍḍhâs, manabi namong saḍâ’/arè’ èghâbây èn-maènan, èyangghep ghuringnga ghedḍhâng sè èbhâḍhi ghu’-ghângghu’ sabbhân lagghu.”
“Ta’ ennèng bâḍâ orèng sala caca sakonè’ ka abâ’na napa’ nampèlèng, norkop, nerkem, sanajjân ta’ sabhânḍhing kalabân kasala’anna.”
BACA JUGA:
- Pantun Religi Karya Haji Muakmam Part 1
- Pantun Religi Bahasa Madura Part 2
- Pantun Religi Bahasa Madura Part 3
“Paralon otabâ sellang aèngnga ècapo’ ghenjhâ sapè tatangghâna, nongghul saḍâ’ sè acaroghâ, ka’ḍinto sè èkoca’ adigâng, abâ’na apangrasa dhâddhi bujânggâ.” Tulis Ketua Komunitas Abdhi Dhâlem Sumenep, Harwiyanto.
Adigung
Istilah Adigung biasanya diucapkan kepada seseorang yang suka berlagak sombong mengandalkan pangkat atau jabatan. Karena dirinya telah menjadi orang sukses, ia pun tidak lagi bersikap sebagaimana sebelumnya, waktu dimana dirinya dalam keadaan miskin lagi susah cari makan.
Ia lupa bahwa dulu, jika sedang dalam keadaan paceklik, untuk minum pun ia masih memgharap belas kasih sesamanya.
Sekarang dirinya sudah kaya, punya pangkat, jabatan tinggi, lalu ia pun tidak menghargai dan tidak menunjukkan sikap hormat kepada orang lain.
Dirinya merasa telah menjadi orang penting. Di kala mendapati ada orang fakir miskin bertamu ke rumahnya, bahkan ia pun enggan untuk menemuinya. Bisa jadi ia temui tetapi tidak menemani dan melayani tamu itu dengan baik.
Beda jika yang bertamu kepadanya adalah orang penting yang sederajat dengan dirinya. Ia akan meladeni orang tersebut dengan perlakuan yang baik dan sopan; membeda-bedakan orang ini dan orang itu.
Terkadang, saat tetangganya sedang butuh bantuannya, ia bahkan bilang “tidak kenal”. Beda jika orang tersebut punya jabatan penting atau selevel dengan dirinya, sekalipun tidak akrab, ia akan mati-matian bilang, “Ya, saya kenal dan tahu banyak tentang dia.”
Istilah Adigung biasanya juga diucapkan untuk orang yang congkak atau sombong dengan mengandalkan silsilah keluarga atau keturunan.
“Marghâ rèng seppona apangkat, kadhi kalèbun, tentara, polisi, DPR, bupati, gubernur, presiden, otabâ amarghâ rèng seppona bâjingan, asongot pangerrat ajânggu’ cakkong, taḍâ’ rèng bângal ka rèngtowana, lajhu andhâddhiyâghi anggâ’/sombong ka abâ’na. Ta’ kennèng salaè sakonè’ bân kancana, mamadhul ka rèng towana.” Tutur lengkap penjelasan Harwiyanto, guru mata pelajaran Mulok Bahasa Madura SMAN II Sumenep.
Adiguna
Terakhir, Adiguna. Sebuah istilah yang lumrah diucapkan kepada seseorang yang sombong atau takabur lantaran kepandaian atau kecerdasannya.
Ia merasa diri paling pintar karena bersekolah di lembaga ternama atau kampus terkenal. Hanya dirinya yang mahatahu, orang lain dianggapnya bodoh sehingga ia pun gampang mencela atau menyalahkan orang lain.
Namun demikian, ketika dirinya diminta untuk melakukan apa yang telah dia cela dan salahkan, dirinya malah mengatakan tidak bisa alias pèra’ o-matao ter-mapènter. Padahal dia hanya pintar mengoreksi dan menyalahkan perbuatan atau pekerjaan orang lain.
Jika ada orang atau temannya di sekolah yang tidak selevel dengan keilmuan dan kecerdasannya, maka pun dia enggan untuk berteman; tidak pernah menyapanya; tidak respek sama sekali.
Kenapa orang Madura kok tidak diperkenankan punya sifat Adigâng Adigung Adiguna?
Orang Madura seharusnya tidak mempertahakan karakter moral Adigâng Adigung Adiguna. Sebab manusia memang hanyalah setitik ciptaanNya.
Maksudnya, manusia hanyalah mahluk yang tak punya daya dan upaya. Manusia hanya bisa berusaha, kuasa tetaplah milik Allah, Tuhan seluruh alam semesta.
Kita yang gagah, sehat, kuat dan kokoh, tidak baik jika lalu menganggap orang lain remeh; ada salah sedikit marah, mau mukul, ingin nempeleng; carok!
Mestinya diri harus senantiasa ingat bagaimana ketika sakit; ingat bahwa kita tidak akan selamanya muda dan kuat; kita akan jompo; bahwa saat ini Allah masih memberi kita nikmat kuat dan sehat.
Kondisi dimana kita mendapat karunia derajat sebagai orang terhormat, misal karena keturunan darah biru, diri ini seharusnya selalu mawas dan tahu diri; tidak baik memandang orang lain rendah, miskin, bahwa derajat manusia di sisi Allah semua sama; tidak baik membeda-bedakan teman yang ini dan yang itu.
Dapat anugerah cerdas dan pandai adalah kesempatan baik untuk bersyukur. Bukan merasa pintar seorang diri. Sebagaimana petuah sesepuh Madura, “gunung tinggi masih ada yang lebih tinggi”.
Jika kita masih mau mengaku sebagai orang Madura, kita harus senantiasa memegang prinsip yang telah diajarkan leluhur, “Ta’ kèngèng adigâng adigung adiguna, sabâb manossa namong dhârma.”
Tidak ada orang Madura sombong, congkak, tamak, suka pamer harta atau jabatan. Tidak ada orang Madura yang suka pamer keilmuan kepada orang lain. Tidak ada.
Jika pun ada, maka identitas orang tersebut perlu dipertanyakan; benarkah dia orang Madura? Jangan-jangan hanya tinggal di Madura tetapi watak dan akhlaknya adalah watak orang asing.
Semoga kita semua tidak termasuk orang yang adigâng adigung adiguna, membuat orang lain gelisah sehingga di mata orang, kita dianggap tidak punya tatakrama, dicap sebagai orang yang angkuh dan egois.
Sekian pembahasan tentang “Adigâng, Adigung, Adiguna”. Semoga bermanfaat, mari kita tutup artikel ini dengan pantun bahasa Madura.
Metthèk korma è Banasarè
Orèng nganḍung ècopaè
Tatakrama konana torè pertè
Adigung adigung adiguna torè sènglaè
NB: Artikel ini diterjemahkan secara bebas dari oretan Harwiyanto yang terbit di Majalah Jokotolè Balai Bahasa Jawa Timur edisi 25, (Juli-Desember 2021) dan ditayangkan kembali di blog pribadinya dengan judul “Adigâng Adigung Adiguna“
Respon (3)