“
Mas Kiai Ali Fikri, Gantung Saja Jas PPP, Jika Rekom Dipersulit!
“
Demikian judul video tanggapan pengamat politik muda asal Sumenep, Sulaisi Abdurrazaq, yang baru-baru ini viral di platform TikTok. Dalam video tersebut, Sulaisi menanggapi pernyataan Ketua Banggar DPR RI, MH Said Abdullah, yang menyebutkan bahwa basis massa politik utama di Jawa Timur adalah warga Nahdlatul Ulama (NU).
Dalam tanggapannya, Sulaisi membahas ketidakcocokan antara klaim Said Abdullah dan kenyataan di Sumenep, terutama menjelang Pilkada Sumenep 2024. Ia mengkritik partai-partai politik yang dianggapnya tidak konsisten dalam mendukung NU, serta menyoroti kurangnya dukungan terhadap kader-kader potensial dari PKB dan PPP.
Seperti apa tanggapan pengamat muda itu, berikut redaksi transkrip apa yang ia sampaikan di akun resmi TikTok miliknya, @sulaisi_abdurrazaq, dimana video tersebut tidak hanya viral di platform TikTok, tetapi sudah dibagikan ratusan kali, termasuk di grup-grup WhatsApp.
Hallo, Bro!
Saya baru saja lihat Tik Tok, ada petinggi PDIP, namanya Pak Said Abdullah, beliau sekaligus Ketua Banggar DPR RI.
Apa yang disampaikan? Menurut Pak Said, Jawa Timur sesungguhnya pemilik sah adalah warga Nahdlatul Ulama, bahkan, pemilih PDIP itu mayoritas warga Nahdlatul Ulama. Saya juga sependapat dengan itu. Cuma persoalannya, ini disampaikan dalam kondisi menjelang Pilkada.
Warga NU, selama ini, selalu saja dibutuhkan suaranya hanya pada saat menjelang Pilkada. Setelah itu, selalu saja dilupakan. Itu saya sampaikan karena apa yang terjadi di Sumenep, di tempat kelahiran Pak Said Abdullah, di tempat dimana Ketua DPC PDIP Sumenep tinggal dan memimpin Kabupaten ini, NU justru di-PHP.
Sebelumnya, sudah banyak media yang memberitakan bahwa Bupati Sumenep Ahmad Fauzi Wongsojudo akan membantu pembangunan RSI NU Sumenep, tapi sampai saat ini nggak terealisasi. Itulah balasannya terhadap NU.
BACA JUGA:
Selain itu, ada Nyai Eva yang sekarang menjabat sebagai Wakil Bupati Sumenep. Dahulu, di awal-awal menjabat, Nyai Eva ini berusaha untuk memenuhi janji.
Terutama berkaitan dengan janji akan berkantor di kepulauan, tetapi karena Nyai Eva ini memiliki ceruk massa yang riil, yaitu dukungan dari Muslimat NU, saya melihat ada gejala, bupatinya terganggu.
Terganggunya karena seperti ada dua matahari kembar di Sumenep. Spirit atau semangat energi yang dikeluarkan oleh Nyai Eva, jauh lebih dahsyat daripada yang dikeluarkan energi kerja Bupati, yaitu kader PDIP—yang saat ini menjabat sebagai Ketua DPC PDIP Sumenep dan sekaligus menjabat sebagai Bupati Sumenep, Achmad Fauzi; yang saat ini namanya bertambah Wongsojudo.
Saya hanya ingin mengajak agar masyarakat Sumenep melek politik. Saya ingin bertanya kepada rekan-rekan, pada netizen, pada masyarakat Sumenep, jika dibandingkan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan PDIP —
Kira-kira menurut saudara, warga NU itu lebih mendukung yang mana? Apakah PDIP, atau PKB dan PPP?
Yang mana PKB dan PPP ini, basis massanya, riil warga NU. Kalau PDIP, itu kalau menurut saya, tidak memiliki basis massa kultural di Sumenep.
Artinya, secara biologis, partai nasionalis ini tidak punya basis massa yang riil, tidak punya basis konstituen yang riil di Sumenep—yang punya basis konstituen yang riil di Sumenep itu adalah partai religius yang punya kedekatan baik secara historis maupun secara psikologis dengan kultur warga NU, yakni PKB dan PPP.
Pertanyaannya, kenapa di dalam pemilihan umum legislatif Sumenep kemarin PDIP bisa memimpin Sumenep, sementara PKB di bawahnya, kemudian PPP juga di bawahnya?
Apa kira-kira yang mempengaruhi? Apakah itu uang, atau basis massa ideologis?
Kenapa saya sampaikan itu? Saya hanya ingin mengetuk hati warga Sumenep; konstituen-konstituen yang secara tidak sadar telah mendukung selama ini terhadap pemimpin politik dari PDIP, sementara tidak paham ada kecenderungan partai-partai religius, yang secara ideologis, secara basis, secara kultur, secara historis, secara psikologis lebih dekat dengan konstituen Nahdlatul Ulama, yaitu PKB dan PPP. Saya hanya ingin mengetuk agar kita semua melek politik.
BACA JUGA:
“
Kira-kira, mengapa sampai saat ini yang tampil ke permukaan seolah-olah hanya ada calon tunggal dalam Pilkada Sumenep 2024?
Sementara ada partai besar yang basis massanya lebih riil secara kultural, yaitu PKB dan PPP—yang sampai saat ini, tidak punya keberanian untuk tampil ke permukaan; mempromosikan kadernya dalam rangka untuk memimpin Kabupaten Sumenep. Kenapa kira-kira?
Dugaan saya, satu hal, saya tidak ingin memberi contoh terhadap Partai Kebangkitan Bangsa, partai ini partai besar ya, di dalamnya yang memimpin adalah kyai ulama kharismatik yang saya segani, dan tidak perlu saya mengkritisi itu. Saya hanya ingin mengkritik satu saja, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang sudah jelas terlihat bahwa ketuanya Kyai Haji Ali Fikri.
Beliau itu potensial memperoleh support dari basis yang riil, pendukung yang riil, secara kultural mendukung Kyai Haji Ali Fikri untuk mencalonkan diri sebagai calon Bupati Sumenep. Tapi sampai saat ini, DPP PPP tidak memberikan angin segar untuk merestui Kyai Haji Ali Fikri dalam rangka untuk berlaga di Pilkada Sumenep tahun 201824.
“
Apa indikatornya?
“
Indikatornya terlihat dari kesulitan Kyai Ali Fikri untuk memperoleh ‘Surat Tugas’ maupun ‘Rekomendasi’ sebagai Calon Bupati Sumenep 2024—yang apabila rekom PPP itu keluar, sesungguhnya bisa menciptakan suasana yang berbeda dengan suasana sebelumnya, sehingga tidak muncul lagi seolah-olah hanya Ketua DPC PDIP yang punya kekuatan untuk berlaga di Pilkada Sumenep tahun 2024.
Sesungguhnya, Kyai Ali Fikri punya kekuatan besar, yang saya curigai—ditakuti, sehingga DPP PPP, barangkali, saya mencurigai, “sudah masuk angin“. Dalam tanda kutip, terpengaruh oleh lobi atau cara-cara yang tidak demokratis yang bertujuan agar Sumenep hanya muncul satu calon yang rising, yang sesungguhnya bagi saya, demokrasi hanya akan sehat kalau ada lawan tanding yang sepadan.
Bagi saya, lawan tanding yang sepadan itu adalah Kyai Haji Ali Fikri untuk melawan Achmad Fauzi Wongsojudo. Apalagi, misalnya bisa kawin antara kader PKB dengan kader PPP, saya yakin bisa tamat PDIP. Tapi, karena saya mencurigai bahwa PDIP pasti menggandeng partai religius, karena dia butuh basis kultural, dukungan masyayikh dari warga NU, meskipun dia sendiri terbiasa mem-PHP NU ya, warga NU!
Saran saya terhadap Kyai Ali Fikri dan terhadap Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kalau ternyata Kiai Haji Ali Fikri dipersulit untuk memperoleh rekomendasi atau restu dari DPP PPP untuk mencalonkan diri sebagai Bupati, maka segera gantung jas PPP, dan bergantilah pada jas lain, yang sudah jelas-jelas bisa untuk men-support, mendukung, memberi rekomendasi kepada Kyai Ali Fikri.
“
Untuk apa merawat partai politik yang selama ini Pak Kyai rawat, yang selama ini Pak Kyai besarkan, yang selama ini Pak Kyai jaga—karena itu warisan ulama, warisan pendahulu—tetapi perlakuannya terhadap Pak Kyai justru sebaliknya?
“
Kyai bertepuk sebelah tangan; Kyai berbuat, partai tidak men-support; itu berbahaya sekali. Kalau betul, kalau benar bahwa DPP PPP tidak memberi rekomendasi kepada Kyai, berilah jangka waktu tidak lama dari sekarang. Jika ternyata rekom PPP tetap tidak keluar, segeralah gantung jas PPP.
“Itu saran saja, Pak Kyai! Segera berganti jaket almamater dari pantai lain, dan kami yakin Pak Kyai akan mendapatkan dukungan dari warga Sumenep.”
Saran saya, kalau kendalanya duit, maka kita patungan, rakyat patungan untuk memperoleh rekomendasi PPP. Kalau tidak, gantung jas PPP.
“
Salam Pencerahan!
“
Respon (1)