SASTRA DIMADURA — Ada banyak saloka kona yang menggambarkan semangat orang Madura dalam mengarungi hidup yang penuh teka-teki ini, terutama bagi orang Madura perantauan.
Salah satunya seperti saloka kona yang menjadi subjudul artikel ini:
“Mangkat bungkol molè bungkol, Cong!“
Saloka kona di atas biasanya diucapkan seorang ibu kepada anaknya saat hendak bepergian ke luar daerah untuk mencari rejeki atau menuntut ilmu ke negeri antah-berantah.
Ya, selain mengilustrasikan pesan kasih dan cinta yang mendalam dari seorang ibu kepada anaknya, saloka kona tersebut juga memuat pesan tentang etos kerja atau spirit si anak saat berada di perantauan sana.
“(Kau) berangkat (dalam keadaan) utuh, (maka) pulanglah (juga dalam keadaan) utuh, Nak!”
Demikian terjemah dalam bahasa Indonesia. Lihat, betapa memang sudah menjadi kebiasaan orang Madura saat bicara, yakni menggunakan bahasa dengan mengirit kosakata.
Irit kosakata tersebut rupanya agar kalimat yang terucap lebih berkesan, mudah diingat dan, menyentuh langsung ke benak orang yang diajak berbicara.
Saloka kona serupa:
“Bâ’na kalowar nèntèng saḍâ’, Cong! Jhâ’ molè mon taḍâ’ ḍârâna!” — Kau keluar (rumah) bawa celurit, Nak! Jangan pulang kalau (belum) ada darahnya!
Begitu kira-kira bunyi saloka kona bahasa Madura lain yang mengisayaratkan tentang semangat orang Madura secara turun-temurun.
Sepintas, saloka kona tersebut menggambarkan tentang prinsip orang Madura yang terkenal keras dan tegas. Namun sebenarnya, tidaklah demikian makna okara tersebut diucapkan, melainkan lebih pada makna pesan yang tersirat.
Bahwa si ortu hendak membangunkan syaraf motorik dan sensorik si anak saat saloka kona tersebut diucapkan. Bayangkan jika si anak baru mendengar okara tersebut, maka ia pasti akan terkejut mendengarnya!!??
Padahal sebenarnya, pesan yang tersirat dalam saloka kona tersebut hendak mengingatkan kepada si anak, bahwa dirinya berangkat dari rumah tidaklah dalam keadaan kosong melainkan sudah bawa bekal yakni: restu ibu, sanak-saudara dan pondasi keilmuan yang pernah ia peroleh dari perjalanan hidup sebelumnya.
Ya, bahwa restu ibu, doa bapak dan sanak-saudara tentu menjadi bekal atau modal awal saat seseorang hendak merantau; baik untuk mencari rejeki maupun menuntut ilmu di luar daerah ataulah negeri orang.
Sebagaimana hadits riwayat Imam Tirmidzi No. 1897 dalam Ensiklopedi Hadits:
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَبَرُّ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ أُمَّكَ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبَاكَ ثُمَّ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ
“Wahai Rasulullah, siapakah yang lebih berhak aku pergauli dengan baik?” beliau menjawab, “Ibumu.”
Kutanyakan lagi, “Lalu siapa lagi?” beliau menjawab, “Ibumu.”
Aku bertanya lagi, “Siapakah lagi?” beliau menjawab, “Ibumu.”
Aku bertanya lagi, “Siapakah lagi?” beliau menjawab, “Ibumu.”
Aku bertanya lagi, “Siapakah lagi?” beliau baru menjawab, “Kemudian barulah bapakmu, kemudian kerabat yang paling terdekat yang terdekat.”
Bagi orang Madura—dan penulis kira bukan hanya orang Madura, tetapi semua umat manusia—restu ibu adalah segalanya dalam segala urusan duniawi.
Bahkan dalam menerjemahkan hadis Nabi “Ummuka, Ummuka… tersebut, masyarakat Madura sangat yakin dirinya akan selamat dari marabahaya apapun jika sebelum bepergian, ia sempat minum air sucian kaki ibu atau berjalan jongkok di bawah selangkangannya pas di pintu keluar rumah.
Selain restu ortu dan sanak-saudara, tentu setiap orang memiliki keilmuan dari sejumlah disiplin ilmu pengetahuan, dan itu juga merupakan modal baginya saat berada di perantauan.
Sekian, sebenarnya masih banyak lagi saloka lain yang memuat pesan filosofis orang Madura perantauan, tetapi itu saja yang dapat penulis bagikan kepada pembaca dimadura.id pada kesempatan ini.
Baca Juga:
- 27 Indikator Wanita Cantik menurut Orang Madura
- Sèmo Bhâsana Orèng Masra’aghi Komantan Lakè’ Bâkto Ghâbây
- 16 Contoh Seloka atau Peribahasa Madura tentang Ayam
- Pagi’ Alas Bakal Daddi Kottha, Kottha Bakal Daddi Alas!
Simak artikel dan berita lainnya di Google News. Mator sakalangkong!