Oleh: Ali Makki
Fenomena calon tunggal yang semakin sering terjadi di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Sumenep, mengangkat berbagai masalah mendasar dalam praktik demokrasi lokal.
Sejak kabar tentang calon tunggal di pilkada mendatang mencuat, berbagai kritik telah muncul, menyoroti beberapa kelemahan utama dari situasi ini.
Pertama, minimnya pilihan bagi pemilih, menjadi isu sentral yang harus segera disoroti. Esensi dari pemilihan demokratis adalah memberikan masyarakat kesempatan untuk memilih pemimpin yang mereka percayai mampu membawa perubahan positif.
Namun, dengan hanya satu calon, pemilih hanya memiliki dua opsi yang terbatas: memilih calon tersebut atau tidak memilih sama sekali (GolPut).
Longlongan
Pilihan kotak kosong yang disediakan dalam situasi ini sering kali dipandang tidak efektif dan tidak memberikan solusi nyata untuk mencerminkan keinginan rakyat.
Kedua, potensi berkurangnya partisipasi pemilih tidak bisa diabaikan. Ketika masyarakat dihadapkan pada pilihan yang minim, banyak yang mungkin merasa tidak termotivasi untuk berpartisipasi.
Hal ini sangat mempengaruhi legitimasi hasil pilkada, karena rendahnya partisipasi bisa mencerminkan ketidakpuasan publik dan bahkan mengurangi kepercayaan terhadap sistem pemilu itu sendiri.
Ketiga, demokrasi yang melemah menjadi kekhawatiran utama dalam kondisi calon tunggal. Dominasi politik oleh satu pihak yang terlalu kuat, tanpa adanya pesaing yang berani maju, dapat menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Kabupaten Sumenep hanya dijalankan sebagai formalitas saja.
Demokrasi yang sehat seharusnya memberikan ruang bagi berbagai suara dan pandangan untuk bersaing secara jujur dan adil.
Selain itu, kurangnya kompetisi politik yang sehat juga merugikan masyarakat. Tanpa kompetisi yang cukup, tidak ada tekanan bagi calon tunggal untuk menghadirkan kebijakan yang terbaik, dan tidak ada ruang untuk debat kebijakan yang konstruktif. Ini tentu akan berdampak pada kualitas kepemimpinan dan pemerintahan ke depan.
Maos Jhughân
Masalah calon tunggal ini juga mengindikasikan adanya masalah struktural dalam sistem politik lokal. Kesenjangan dalam akses sumber daya politik atau finansial, serta tekanan yang mungkin dihadapi oleh calon-calon potensial lainnya adalah, tanda-tanda bahwa ada ketidakadilan dalam proses politik yang harus segera diatasi.
Yang paling mengkhawatirkan adalah risiko munculnya otoritarianisme lokal. Jika tren ini berlanjut, ada kemungkinan kekuasaan akan terkonsentrasi pada satu kelompok atau individu tanpa adanya pengawasan yang memadai, yang pada akhirnya bisa membahayakan hak-hak warga dan mengurangi akuntabilitas pemerintah.
Secara keseluruhan, meskipun secara hukum pilkada dengan calon tunggal sah, praktik ini menimbulkan tanda tanya besar tentang kualitas demokrasi, representasi, dan partisipasi politik di Kabupaten Sumenep.
Sebagai aktivis yang berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi, rasanya perlu untuk menyarankan solusi yang bisa membantu memperkuat demokrasi di daerah ini.
Solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah, memperkuat sistem politik lokal dengan mendorong lebih banyak calon independen untuk maju, serta memperbaiki regulasi pemilu untuk memastikan adanya kompetisi yang lebih sehat.
Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan memberikan ruang bagi setiap warga untuk berpartisipasi secara adil dan bermakna dalam menentukan masa depan mereka sendiri.***
*) Ali Makki, Ketua Satu Bidang Internal (Kaderisasi) PC PMII Sumenep.